Sinar bulan yang pucat memantul dari air. Kabut belum lagi naik, karena jam baru menunjuk pukul 05.00 pagi. Di sebuah desa tak bernama di tepian Sungai Kelian, Sondang, 40 tahun, sudah berendam. Bukan untuk mandi, tapi ngerebo--mendulang emas. Ia memenuhi ayakannya dengan lumpur sungai sembari berharap 1-2 gram bijih emas tersangkut di dalamnya. Sondang mengaku tak pernah memakai merkuri, karena sepenuhnya berharap dari kepingan logam mulia yang nyangkut di dulangnya.
Sondang tak sendiri di anak Sungai Mahakam, Kalimantan Timur itu. Puluhan temannya sudah berendam hingga menjelang siang, Selasa pekan lalu, sebagaimana hari-hari yang lain. Tapi, buat yang punya modal, mereka tak harus berendam. Dengan membeli pompa penyedot lumpur, mereka bisa manyaringnya dari atas rakit. Saat ini sekitar 70 pompa—milik 500-an orang penambang—berderet di sungai itu. Selama 12 jam kerja sehari, alat penggerus lumpur itu membutuhkan 1-2 kilogram merkuri (air raksa) untuk memisahkan bijih emas dari batuan pengotor lainnya.
Tak mengherankan jika pada akhir 1999 lalu, sempat muncul isu sungai ini mengalami pencemaran hebat sehingga penduduk di muara sungai bisa menyaksikan mengapungnya ikan-ikan dalam keadaan mati. Kelian Equatorial Mining (KEM), perusahaan tambang emas milik Rio Tinto, yang berada di hulu Kelian, dituduh mencemari dengan membuang reja atau limbah berupa merkuri. Tentu saja perusahaan yang akan habis produksinya tahun 2004 itu menolak. Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Daerah (Bapedalda) Kalimantan Timur ikut dalam pengujian air sungai itu, dan reja dari KEM terbukti masih di bawah ambang batas kandungan logam berat dalam air.
Rupanya, penambangan liar di Sungai Kelian itulah yang menjadi salah satu penyebabnya. Setiap hari 40 mesin penguras tanah itu membutuhkan satu ons merkuri sekali pakai, dan sisanya langsung dibuang ke sungai. Sayangnya, Bapedalda Kal-Tim tidak punya data berkala mengenai tingkat pencemaran merkuri di sungai-sungai di Kal-Tim. Data terakhir mereka ambil tahun 1997, yang menyebut kandungan merkuri Mahakam sekitar 2,38 miligram per liter, lebih tinggi dari baku mutu untuk air golongan B (air mandi) sekitar 1 miligram per liter.
Di Kal-Teng, penambangan emas liar dilakukan di 11 aliran sungai besar, antara lain Kahayan. Kepada Tempo, beberapa pen-duduk Palangkaraya mengaku mulai cemas karena ditemukannya kandungan metil-merkuri dalam tubuh ikan baung, yang populer disantap di kota itu. Meskipun kandungannya masih seperseratus di bawah batasnya, penduduk ikut khawatir karena maraknya pemberitaan bahaya merkuri. Tapi, lagi-lagi Bapedalda setempat sama sekali tidak menyediakan data terbaru mengenai pencemaran merkuri ini, meskipun awal tahun ini dilaporkan seorang penambang liar meninggal saat tidur, dengan tubuh membiru dan kehitaman, mirip ciri orang keracunan merkuri di Minamata, Jepang.
Badrun, penambang berusia 34 tahun, sepertinya tak peduli dengan isu merkuri. Bersama tiga temannya ia tenang-tenang saja menyedot pasir Sungai Kahayan dan membuang limbah merkuri ke sungai. Pasir yang disedot dengan mesin diesel ditampung dalam wadah dari kayu. Dengan seksama butiran pasir atau tanah itu disaring dengan karpet. Butiran-butiran emas yang jatuh disatukan dengan menggunakan merkuri. "Sehabis digunakan, air raksa ini dibuang ke sungai," katanya.
Sementara itu, Sabran, 40 tahun, membuat lubang-lubang di darat, di sekitar perusahaan tambang emas PT Ampalit Mas Perdana di Desa Kerengpangi, Kabupaten Kotawaringin Timur. Sabran membuat lubang dengan "menembak" melalui mesin pompa. Satu buah lubang bisa mencapai kedalaman 12 meter. Lalu air bercampur lumpur dan pasir ini disaring. Untuk mengikat butiran emas, dipakai air raksa, terkadang hingga 1 ons sekali pakai. Sisanya, ya, dibuang saja ke tanah.
Peringatan lebih jelas datang dari Desa Tatelu dan Telawaan, Dimembe, Sulawesi Utara. Konsultan lingkungan Dames and Moore menemukan bahwa dalam setiap drum pengolahan emas, terdapat campuran 10 kilogram air dengan 1 kilogram merkuri. Campuran itu sudah 100 kali melewati ambang batas merkuri yang diizinkan. Menurut laporan investigasi itu, dampak keracunan merkuri akan dirasakan hingga 15 kilometer dari lokasi penambangan. Di Telawaan saja, diperkirakan 1.400 orang—sebagian besar penambang liar—terkena dampak keracunan merkuri langsung, dan 4.000 orang lainnya potensial terpapar logam berat itu.
Lantas, apa yang dilakukan Bapedalda? Belum ada. Malah, Ujang Rahmat, Kepala Seksi Pengendalian Pencemaran Air dan Laut Bapedalda Kal-Tim mengaku tak berdaya menghadapi para penambang liar ini. "Ini masalah perut, Mas," ujarnya kepada Tempo. Akibatnya, sampai hari ini tak satu pun penambang yang ditindak, apalagi dibawa ke pengadilan.
I G.G. Maha Adi, Bambang K.W. (Kal-Teng), Redy M.Z. (Kal-Tim)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini