Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Anak-Anak dalam Lorong Nista

Biro Investigasi Federal Amerika membongkar kejahatan pornografi anak-anak terbesar di internet. Mereka menyebut dua dalang dari Indonesia.

12 Agustus 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUSIE Boese tak pernah mengira akan mendapat sekian kejutan menyeramkan dari kenalan lamanya di sebelah rumah, pasangan Thomas Reedy, 37 tahun, dan istrinya, Janice Reedy, 32 tahun. Rumah keluarga Boese dan Reedy bersebelahan di kompleks permukiman mewah Forth Worth, Texas. Anak-anak mereka saling bergaul dan bersahabat. Maka, tatkala polisi menggerebek kediaman keluarga Reedy pada April silam, Nyonya Boese melongo keheranan. Ketika mendengar dakwaan polisi kepada Thomas Reedy—sebagai gembong bisnis pornografi anak-anak melalui internet—Susie Boese kian bengong. Kekagetannya makin lengkap tatkala ia mendengar pengumuman Jaksa Agung Amerika Serikat, John Ashcroft, pada Kamis pekan silam. Muncul di layar televisi dengan wajah gundah, Ashcroft mengatakan bahwa Dinas Pelayanan Pos Amerika Serikat (USPI) bekerja sama dengan anggota Gugus Tugas Kejahatan Internet terhadap Anak-Anak (ICAC) telah menggulung 100 pelanggan materi pornografi anak-anak di internet. Jaksa mendakwa Thomas Reedy telah 89 kali mengadakan per-tunjukan serta mendistribusikan materi pornografi anak-anak kepada para pelanggannya. "Padahal, anak saya setiap hari bermain dengan anak Nyonya Reedy yang berusia 6 tahun," ujar Boese dengan gusar setelah mendengar hal itu. Seperti Susie Boese, jutaan ibu di dunia boleh jadi bukan saja geram, tapi juga dengan senang hati akan "mencincang" Reedy dan antek-anteknya bila melihat materi pornografi yang mereka perdagangkan di internet. Berikut ini sedikit ilustrasi. Cindy adalah seorang bocah perempuan berusia 10 tahun. Wajahnya cantik dengan rambut hitam yang terjurai ke bahu. Foto gadis kecil ini muncul di layar internet. Dan astagfirullah, gambar nona yang muda belia ini terpampang dalam keadaan bugil di sebuah situs porno dengan berbagai posisi yang mengundang syahwat. Reedy memang memanfaatkan gadis-gadis sepolos Cindy untuk menguras duit haram dari bisnis tersebut. Pria ini bahkan nekat memajang "dagangan" yang lebih seram: anak-anak berumur empat tahun. Dengan 250 ribu pelanggan yang tersebar di berbagai negara, Reedy bisa ongkang-ongkang kaki sembari menghitung aliran uang sebesar US$ 1,4 juta (setara dengan sekitar Rp 13 miliar) per bulan. Janice Reedy bertindak sebagai kasir yang mencatat setiap pemasukan tersebut. Tak mengherankan jika keluarga Thomas Reedy, yang tadinya bekerja sebagai perawat, bisa mendiami rumah seharga US$ 425 ribu lengkap dengan kolam renang dan mobil Mercedes-Benz. Namun, putusan hakim pengadilan federal Terry Means pada Senin pekan silam membuat Reedy harus melupakan semua kemewahan hidupnya selama berabad-abad: ia dihukum 1.335 tahun penjara, sedangkan Janice Reedy mesti mendekam di bui selama 14 tahun. Biro Investigasi Federal Amerika (FBI) mulai mengendus bau busuk bisnis pornografi pasangan Reedy pada 1997 lewat perusahaan bernama Landslide Production Inc. Saat itu, Thomas Reedy mengaku hanya menggarap situs pornografi dengan materi orang dewasa. Dua tahun kemudian, bisnis esek-esek itu berkembang. Reedy pun membuka "divisi baru" yang menampilkan materi pornografi anak-anak di situsnya. Saat itulah FBI mulai kebanjiran keluhan dari pengguna internet di seluruh dunia mengenai iklan dan distribusi pornografi anak-anak lewat situs Landslide Production. Laki-laki itu mengiklankan situsnya dengan nama Child Rape atau Cyber Lolita. Ia mematok US$ 29,95 untuk biaya langganan per bulan—pembayaran umumnya dilakukan dengan kartu kredit. Para penyidik federal membentuk sebuah tim investigasi dengan nama sandi Operation Avalanche dan ber-hasil meringkus pasangan Reedy. Dengan situs ini pula penyidik menjebak 100 pelanggan yang tertangkap saat menerima paket kiriman materi pornografi anak. Para pelanggan ini juga segera saja digiring ke pengadilan. Hasil ini dipetik FBI setelah menyisir 144 rumah di 37 negara bagian. Siapa saja pembeli dagangan maksiat ini? Di antaranya pegawai bagian psikiatri di sebuah rumah sakit, konsultan komputer, dan mantan narapidana. Umumnya mereka punya riwayat pelecehan seksual terhadap anak-anak. Temuan ini membuat orang ternganga: ini kasus paling besar dalam sejarah bisnis pornografi anak-anak di Amerika Serikat. "Apa yang kami temukan tak berbeda dengan muncikari yang mengelola rumah pelacuran yang menyediakan anak-anak sebagai pelacur," ujar Letnan Polisi Bill Walsh, yang turut menggerebek rumah Reedy. Di rumah mewah itu, agen FBI menemukan video tape, CD-ROM, dan disket berisi adegan pelecehan seksual terhadap ratusan anak. Sejauh ini, penyidik baru berhasil mengidentifikasi dua anak yang menjadi korban—se-orang anak laki-laki berusia 6 tahun dan saudara perempuannya yang berusia 8 tahun. Foto kedua anak asal Inggris ini dibuat oleh ayah tiri mereka. "Ini bentuk eksploitasi yang paling buruk," ujar Ruben Rondriguez, Direktur Pusat Nasional untuk Anak Eksploitasi dan Anak Hilang. Ada dugaan, jaringan bisnis Reedy lebih luas dari yang sudah ditemukan. "Temuan ini boleh jadi hanya puncak dari gunung es," kata Kenneth Weaver, Kepala Dinas Pelayanan Pos AS. Reedy memang melebarkan jaringannya hingga ke luar AS. Untuk itu, ia bekerja sama dengan para pembuat situs sejenis di beberapa negara. Pihak penyidik menduga ada lima pembuat situs asing yang berkonco bisnis dengan Reedy. Dari tiga yang teridentifikasi, dua berasal dari Indonesia dan seorang dari Rusia. Pembuat situs asal Indonesia itu menggunakan nama R.W. Kusuma dan Hanny Ingganata. Jaksa Agung AS memang menyebutkan bahwa sebagian besar materi pornografi anak itu berasal dari luar AS, termasuk dari Indonesia dan Rusia. Pihak FBI sudah mengeluarkan perintah penangkapan terhadap ketiga orang ini. Repotnya, kepolisian Indonesia tak bisa berbuat apa-apa terhadap dua webmaster Melayu tersebut. "Sepertinya jaksa akan kesulitan membuktikannya karena hukum Indonesia mengenai kriminalitas di internet amat minim," ujar Kepala Pusat Penerangan Markas Besar Kepolisian RI, Mayor Jenderal Didi Widayadi. Pihak AS sudah memiliki cyber-law dan hukum pornografi anak-anak, jadi lebih mudah menanganinya. Sejauh mana kebenaran pasokan materi pornografi anak-anak dari Indonesia itu bisa dibuktikan? Pengamat multimedia Roy Surya tak yakin bahwa bocah-bocah Indonesia mendominasi isi situs porno tersebut. "Kalaupun ada, banyak yang merupakan hasil rekayasa teknologi foto dan video di komputer," kata Roy. Tak aneh, pakar analisis suara dan gambar ini menduga ada udang di balik batu. "Tudingan ini amat politis. Ujung-ujungnya menyangkut soal hak cipta di dunia komputer," ujarnya kepada TEMPO. Kasus Reedy bukanlah kejahatan seksual terhadap anak-anak di internet yang pertama kali terkuak. Pada Januari 2001, polisi Inggris berhasil membongkar jaringan Wonderland Club. Jaringan ini beranggotakan 107 pria dewasa paedofil (orang yang mempunyai selera seksual terhadap anak-anak) yang berlangganan materi pornografi anak-anak melalui jaringan tersebut. Tatkala menggerebek kegiatan mereka, polisi berhasil menyita 750 ribu foto bugil bocah pria dan wanita berusia 5-12 tahun. Perkembangan eksploitasi anak untuk bisnis pornografi kian mengkhawatirkan. Sejak 1997, Dinas Pelayanan Pos telah menangkap 1.022 orang yang terlibat dalam eksploitasi anak. Sebanyak 368 di antaranya adalah penganiaya anak yang gemar melakukan pelecehan seksual terhadap anak-anak. Laporan lain menyebutkan, telah terjadi 48 ribu tindakan eksploitasi seksual terhadap anak-anak dalam dua setengah tahun belakangan ini. Dunia anak-anak kian kelam tatkala para maniak pornografi menemukan betapa bocah-bocah yang tak berdosa ternyata bisa men-jadi "barang dagangan" yang laris di jagat internet. Pertumbuhan situs pornografi anak-anak melesat setinggi 345 persen selama 15 bulan belakangan ini. "Ada lorong-lorong gelap dalam internet, tempat anak kita dapat diekspos sebagai obyek seksual," ujar Jaksa Agung John Ashcroft. Dalam lorong-lorong itu, Cindy dan ribuan anak lain terperangkap dalam kenistaan. Maka, John Ashcroft tidak hanya mengungkapkan "sekadar" berita pornografi yang menghebohkan pada Kamis silam itu. Jaksa Agung AS ini juga menuturkan sebuah ironi yang amat menyakitkan dalam dunia anak-anak: tangan-tangan orang dewasa, yang seharusnya melindungi mereka di saat bertumbuh, dengan mudah bisa mencoret hitam nasib sekian ribu anak-anak. Seperti yang dilakukan Thomas Reedy dan entah siapa lagi. Raihul Fadjri, Setiyardi (Reuters, AP, The Guardian, WP)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus