Di Iran, kekuasaan datang dari langit. Langit itu bernama Dewan Garda. Dan jika ”tangan langit” ini bersabda, bahkan parlemen atau presiden pun bisa kalah suara. Siapakah ang-gota dewan ini? Dewan Garda, sebuah lembaga pengawal konstitusi beranggotakan 12 orang itu, boleh jadi adalah institusi khas Iran. Anggotanya terdiri dari enam orang ulama fikih tingkat tinggi yang dipilih oleh pemimpin spiritual Ayatullah Ali Khamenei dan enam orang lainnya adalah ahli hukum yang diajukan oleh parlemen. Pemilihan separuh anggota Dewan Garda—terutama para ahli hukum itu—diperbarui setiap tiga tahun.
Munculnya lembaga ini adalah bagian dari konsep pemerintahan keilahian (Velayat-I-faqih) yang dimulai oleh Imam Khomeini. Setelah Revolusi 1979, Khomeini menginginkan Iran tumbuh sebagai negara yang dijaga oleh hukum-hukum ketuhanan. Peran Dewan Garda adalah semacam penjaga konstitusi yang menguji apakah produk hukum yang dihasilkan parlemen sesuai dengan hukum Islam atau tidak. Karena otoritas ilahiahnya itu Dewan Garda memiliki hak veto untuk menggagalkan keputusan parlemen. Khomeini sendiri di masa hidupnya menjadi Ketua Dewan Garda sampai akhir hayatnya.
Pada awalnya, menurut pengamat politik, konsep pemerintahan keilahian demikian bisa diterima oleh seluruh lapisan di Iran karena memang masyarakatnya adalah masyarakat Syiah, yang memiliki pandangan spesifik terhadap spiritualitas. Mereka percaya pada datangnya Imam Mahdi, dan mempercayai pemimpin spiritual seperti Khomeini adalah imam ke-12, ahli waris kepemimpinan Sayiddina Ali. Adanya dewan yang memiliki otoritas transendental di antara lembaga eksekutif dan legislatif terlihat diterima sebagai revisi dari unsur sekuler trias politika dalam pengertian negara modern.
Buktinya, hasil pemilu pertama 1980 mencengangkan: calon presiden yang muncul 108 orang. Di antara negara Islam lain—atau di negara demokratis mana pun di dunia—tampaknya Iran memiliki calon presiden terbanyak. Tapi, soalnya, perlahan-lahan campur tangan Dewan Garda terhadap politik makin luas, dan semakin lama arah Dewan Garda makin konservatif. Pada Pemilu 1997, dewan ini turut memilih para kandidat presiden, dan menggugurkan banyak calon yang reformis. Sebanyak 238 calon yang mendaftar yang berhasil lolos hanyalah empat orang kandidat. Pada pemilu baru lalu, dari 814 calon yang mengajukan diri, hanya ada 10 orang kandidat yang meluncur dengan mulus.
Tahun-tahun belakangan ini, Dewan Garda, yang menguasai radio dan televisi Iran serta memiliki akar kuat dengan intelijen, telah membredel 22 koran dan menangkapi banyak jurnalis. Keputusan mereka yang terakhir adalah menolak wanita lajang bersekolah ke luar negeri. Semula parlemen mengajukan rancangan amandemen undang-undang yang memperluas hak-hak wanita menerima pendidikan di luar negeri. Tapi itu ditolak. Rancangan undang-undang untuk menarik investor asing juga dikuburkan oleh Dewan Garda. Sekretaris Jenderal Ayatullah Ahmad Jannati mengatakan, modal asing akan melahirkan kecemburuan sosial dan dominasi Barat.
Parlemen Iran yang mayoritas diisi kubu reformis tak bisa berkutik setiap kali Dewan Garda menggunakan hak veto. Tak mengherankan jika parlemen dan Dewan Garda selalu dalam keadaan berseteru. Menurut sejumlah pengamat politik internasional, Iran saat ini seolah kembali pada suasana tahun-tahun awal sesudah Revolusi 1979. Ketika itu antara kubu reformis dan garis keras berdebat tentang bagaimana terselenggaranya sebuah Republik Islam. Kini Khatami tetap menjadi presiden. Tapi, bila Dewan Garda memainkan kartu hak veto, wajah Iran bisa semakin jauh melangkah dari ukuran demokrasi universal.
Seno Joko Suyono (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini