PRANCIS tidak sama dengan Amerika Serikat. Dalam kata lain, skandal Rainbow Warrior tidak akan menjatuhkan Mitterrand, walaupun di AS kasus watergate bisa meremukkan Nixon. Tapi wartawan Prancis tidak mau menyerah begitu saja. Setahun lalu, tiga media harian berpengaruh Le Monde, majalah L'Express, dan Le Canard Enchaine beramai-ramai memojokkan Menhan Charles Hernu seraya menghantam Laksamana Pierre Lacoste, Kepala DGSE (Direktorat Umum Keamanan Luar Negeri Prancis). Wartawan ternyata menang, kedua tokoh yang terlibat skandal penenggelaman kapal Rainbow Warrior itu terpental. Masalahnya tidak berhenti sampai di sini. Dua wartawan L'Express membongkar terus seluk-beluk skandal itu dalam buku berjudul Penyidikan terhadap Tiga Rahasia Negara yang terbit belum lama berseLang. Kedua wartawan, Jaqcues Derogy dan Jean-Marie Pontaut, sampai pada kesimpulan mengejutkan Presiden Mitterrand ternyata sejak mula mengetahui operasi penenggelaman kapal Rainbow Warrior itu. Peristiwanya terjadi Juli 1985, tapi rencananya, yang dimatangkan sejak Februari 1985, sudah dilaporkan pada Mitterrand. Tidak terinci memang, hanya dalam garis besar. Mitterrand ternyata bisa menerima rencana tersebut, terutama karena Menhan Charles ernu waktu itu menjamin tidak akan ada korban, tidak meninggalkan jejak, dan tidak akan melibat Prancis. Apa yang terjadi justru mengguncangkan bumi. Seorang juru potret, Fernando Pererira, yang bertugas di Rainbow tewas, dua tentara Prancis Dominique Prieur dan Alain Mafart (semula dikenal sebagai pasangan Turenge) tertangkap, kapal Rainbow meledak lalu tenggelam. Yang terakhir ini tidak menyimpang dari target Hernu, tapi lain-lainnya meleset. Seluruh dunia membicarakan kematian Pererira, sementara PM Selandia Baru David Lange menyerang Prancis habis-habisan. Pemerintah Swiss juga menyatakan kegusarannya karena tersangka pasangan Turenge terbukti menggunakan paspor Swiss. Sampai di sini Mitterrand tidak mungkin lagi menyembunyikan arang yang tercoreng di wajah Prancis. Tapi pemerintahnya tidak tergoyahkan karena ia diakui pintar memanfaatkan tradisi politik Prancis yang sampai batas tertentu menghormati rahasia pemerintah. Tapi Derogy dan Pontaut tidak membiarkan hal itu terjadi. Dalam bukunya mereka menimpakan kesalahan terbesar pada Menhan Charles Hernu, disusul Laksamana Henri Fages, yang memimpin Direction des Centres Nucleaires. Fages konon menyodorkan dokumen tiga halaman berisi rincian data tentang trawler Rainbow. Laksamana ini yakin, dokumen dan gagasannya itu bisa menggoda pikiran Mitterand. Adalah pengamanan percobaan nuklir Prancis di Mururoa yang dipentingkan Fages, tapi dalam pelaksanaannya kemudian setting berpindah ke Selandia Baru. Mengapa? Kepala DGSE Pierre Lacoste yang dilibat dalam pengamanan itu mengusulkan agar digunakan cara klasik untuk menggarap kegiatan kelompok ekologis Greenpeace dengan "mencegat Rainbow". Tapi Hernu menolak. Alasannya: terlalu pamer, bisa memancing publisitas besar-besaran. Lagi pula, pasti ada kesulitan teknis, karena bobot kapal cukup besar. Sebagai alternatif, Hernu mengusulkan supaya Rainbo ditenggelamkan saja, dengan syarat tidak boleh jatuh korban. Lacoste keberatan karena dianggapnya terlalu berbahaya dan tidak berguna. Sekadar untuk mematahkan kegiatan Rainbow, perusakan mesin saja dianggapnya sudah cukup. Tapi tekad Hernu rupanya tidak bisa ditawar-tawar. Rainbow dapat ditenggelamkan di perairan Auckland, Selandia Baru, pada 10 Juli 1985, dan enam hari kemudian PM Prancis Laurent Fabius marah besar di kantornya. "Siapa pun yang terlibat kasus ini, jangan harap akan saya lindungi," ujarnya tegas. Menhan Hernu bersumpah tidak memberi perintah sedangkan Presiden Mitterrand berkata, "Biarkan Hernu dan Fabius yang menyelesaikannya." Sebagai dalang skandal Rainbow Hernu mati-matian menolak tuduhan. Tapi akhirnya ia terpaksa mundur. Sekalipun begitu, Hernu tetap populer. Ketika ditanya komentarnya tentang buku tu, ia berkata, "Saya bukan penulis kritik." Mitterrand lebih suka berdiam diri. Demikian pula PM Jaques Chirac.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini