Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Catatan harian seorang presiden

Profil presiden prancis francois mitterrand. ia bukan saja sebagai politikus ulung, tetapi juga seorang sosialis sejati, dan penulis esei, otobiografi dan novel. (ln)

20 September 1986 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TUBUHNYA tak jangkung melengkung, tapi pendek tegap. Bicaranya tak cepat. Terutama dalam wawancara, ia berpikir keras sebelum menjawab dan, pendengarnya memerlukan banyak kesabaran. Wajahnya tak riang dan senyumnya pun serius. Agak malu-malu, formal, tak terbiasa berbukan-bukan. Meskipun dia bisa jadi orator cemerlang, Presiden Mitterrand memang agak aneh buat jadi seorang politikus. Mungkin dia tak akan pernah terpilih sebagai presiden di Amerika Serikat, tempat orang seperti Reagan bisa terpilih karena sikapnya yang riang memikat, tapi miskin ide. Mitterrand sebaliknya seorang intelektual, dalam tradisi Prancis: ia membaca puisi, novel, dan kritik sastra seperti orang lapar dapat makanan. Ia sendiri sudah menulis 10 buku yang berisi esei sastra dan politik. Juga sebuah otobiografi. Bahkan ia sedang menulis novel. Ia karena itu senang berada di antara para penulis. Para penulis, sebaliknya, menghargainya karena prosa Mitterrand yang indah. Tapi ia juga bekas prajurit. Di tahun 1939 ia masuk infanteri dan Juni 1940 ia terluka pada dada dalam pertempuran di dekat Verdun. Ia ditangkap Jerman. Tapi Desember 1941 ia berhasil melarikan diri dari penjara, setelah ketiga kalinya mencoba. Ia kembali ke tanah airnya dan bergabung dengan gerakan Perlawanan (Resistance) di bawah tanah. Karena jasa-jasanya ini, ia mendapat bintang La Croix de Guerre dan La Rosette de la Resistance. Aktivitasnya dalam gerakan Perlawanan tak saja menyebabkan ia kenal dengan Danielle Gouze, juga seorang pejuang, yang kemudian jadi istrinya hingga kini. Masa lampau itu juga mengukuhkan pandangan politiknya: Mitterrand mengikatkan hatinya dengan rakyat kecil -- dan sebab itu ia seorang sosialis tulen -- tapi juga ia mengutamakan kebebasan. Ketika 21 Mei 1981, ia dilantik jadi kepala negara (dan jadi presiden sosialis pertama dalam konstitusi "Republik ke-5" yang dibentuk Mendiang Presiden De Gaulle), ia berpidato, "Di dunia hari ini, adakah tugas yang lebih luhur dibandingkan dengan tugas mencapai suatu persekutuan baru antara sosialisme dan kebebasan ?" Karena itu, Mitterrand bukanlah jenis "orang kiri" yang sikapnya tegar alias kaku, dan terlalu bersemangat mengulang kaji. "Sosialisme tak mewakili nilai-nilai yang lebih unggul ketimbang kebenaran bersahaja fakta-fakta," tulis Mitterrand. "Juga belum berarti ia merupakan kebenaran itu sendiri." Sosialisme, sebaliknya, beradu pendapat, mencari, memperkirakan, merontokkan patung yang disembah dan semua tabu. Di bawah ini kutipan dari coretan-coretan yang ditulisnya, semacam catatan harian, yang kemudian dihimpun dalam dua buku, La Paille et le Grain (Sekam dan Bulir, 1975) dan L'Abeille et L'Architecte (Lebah dan sang Arsitek, 1978). Jumat, 15 Februari 1974 Pada suatu senja di Wina Perdana Menteri (Austria) Kreisky menceritakan kisah berikut ini mengenai pemain akrobat di atas tali yang terentang tinggi bernama Karl. Karl, seorang profesional tulen, bisa menghabiskan pagi harinya duduk atau berdiri pada tali yang terentang beberapa meter di atas tanah. Suatu hari temannya Johann menantangnya untuk berada di atas kawat yang terentang tinggi sepanjang hari. Merasa tertantang, Karl bukan cuma bersedia, tapi uga memutuskan untuk berada di atas kawat dengan sebelah kaki. "Dan kau juga harus memainkan biola," kata Johann pula. "Mozart," sambut Karl. Di hari berikutnya Karl naik ke kawat yang terentang tinggi, berdiri dengan satu kaki, menyiapkan biola, dan memainkan ciptaan Mozart. Di atas sana Karl bukan cuma sehari, melainkan sepekan penuh. Tatkala Karl akhirnya turun, setelah kemenangan besar, Johann yang mestinya memberikan pengakuan, ternyata cuma diam. "Lalu," kata Karl yang menanti pengakuan temannya, "apa komentarmu?" "Jika kau mau dengar pendapatku yang sebenarnya," kata Johann, "permainanmu tidak sebagus (pemain biola terkenal) Menuhin." Saya amat menikmati parabel yang mengisahkan bahaya dan perankap kekuasaan ini. Senin, 18 Maret 1975 Saya lebih senang membaca dan bercakap-cakap -- kesenangan yang dilecehkan daripada menonton televisi. Tapi saya tidak fanatik terhadap keduanya. Menengok ke masa silam dan menyesalkan masa kini bukanlah kesenangan senggang saya. Sesungguhnya kebiasaan demikian menunjukkan ketidakmampuan menghayati hidup sebagaimana mestinya, dengan rasa dan cinta bagi apa yang terus menjelang. Syair sendu Alfred de Vigny, tentang akibat ditemukannya kereta api, sulit saya mengerti dan sama sekali tidak memancing keharuan saya. Tidak lagi akan kita dengar derap di jalanan, Pecahan batu diterpa kuku kuda juga akan hilang. Selamat tinggal perjalanan panjang, keindahan dari suara yang jauh, Ketawa orang asing dan poros kebosanan nan lamban. Bait ini, diambil dari La Maison du Berger (Rumah Penggembala), tampaknya ditulis di La Maine Giraud, rumah Vigny di Charente, dekat dengan rumah masa kecil sava. Bait ini amat mengingatkan saya pada kuda-kuda Kakek yang dulu setia membawa kami dari Petit Barsac ke rumah peristirahatan keluarga di Touvent. Itu berlangsung di seputar tahun 1925. Abad ke-20 memang masih remaja kala itu. Dan dari perjalanan liburan yang diseret kuda tua di atas jalanan yang lusuh, saya menyimpan banyak kenangan. Tapi ini semua tidak menyebabkan saya membenci kereta api dan pesawat terbang serta segala kendaraan berkecepatan tinggi sebelum pada akhirnya kita bepergian dengan roket. "Ilmu pengetahuan menapak tangkas di bumi sembari meninggalkan jejak sedih . . . garis khatulistiwa mengkerut jadi cincin sempit," tangis Vigny. Kenapa menyalahkan ilmu? Ia toh memberi cuma yang kita pinta darinya. Dan tatkala bumi beranjak sempit, manusia pun siap menaklukkan dunia lain. Untuk apa? Kadang saya berharap, kala lain saya cemas. Tapi saya memberi tekanan pada perbedaan antara alat dan tangan yang memanfaatkan alat tersebut. Kebohongan telah dihunjamkan kepada Hawa, pemula lugu ilmu pengetahuan. Sekiranya klsah Ini bakal terulang, saya sendm akan mengunyah buah apel itu. Alangkah berlingkar-lingkarnya jalan untuk tiba pada yang ingin saya sampaikan. Di Paris saya jauhi radio dan televisi. Tapi begitu berada di mobil, dengan segera saya mendengarkan radio. Sabtu, 26 April 1975 Saya telah jumpa dua jenis orang Rusia, atau tepatnya Uni Soviet. Yang satu adalah mereka yang kaku dan beku, yakni para kesatria dari sebuah sistem yang aparatnya membuat mereka tegak kendati mereka lagi tergeletak. Yang lain, hidup penuh spontanitas dan beralih dari air mata dan kemarahan ketawa tanpa perlu masa peralihan. Hanya dalam renungan orang bisa mengerti bahwa semua ini sudah diatur oleh hukum dialektika. Khruschev masuk kategori kedua. Pada tahun 1963, Gerard Jacquet, anggota delegasi Kelas Pekerja Interna- sional Prancis, mengunjungi Moskow sebagai tamu Uni Soviet. Orang ini ingat bagaimana Khruschev, selepas jamuan makan siang yang panjang dengan makanan yang berlimpah ruah, tampil dengan kisah terinci tentang kesulitannya setelah ia mengutuk kejahatan Stalin. "Kendati semua upaya saya, pengagum Stalin, masih tetap beredar dalam partai, bahkan pada tingkat tertinggi." Sembari menggerakkan telunjuknya ke arah sejumlah pembesar negerinya yang hadir -- di antara mereka sekitar sepuluh anggota politbiro dan sejumlah anggota komite sentral, termasuk Kosyigin, Podgorny, dan Ponomarev -- Khruschev berseru, 'Stalinis? Bisa anda temukan di manamana.' Diam dan merasa dipermalukan, yang hadir cuma memperhatikan. Beberapa waktu kemudian kisah ini saya ceritakan kepada Carlos Rafel Rodriguez. Orang ini ternyata juga punya cerita. "Pada suatu acara yang sama, selepas makan siang dengan hidangan berlimpah ruah, Khruschev tiba-tiba terjun ke kolam renang di rumah peristirahatannya. Ia mengajak kita semua menyertainya. Seorang diplomat yang tidak becus berenang ikut masuk kolam --hanya untuk diselamatkan setelah ternyata kelelep. Yang lain tampak bagai orang-orang dungu, berputar-putar di tepi kolam. Saya terpaksa ikut orang banyak meski benci berenang selepas mengisi perut. Mengenang kembali hidup yang telah saya lampaui, saya pernah selamat melewati pemerintahan diktator, revolusi, penahanan, penyiksaan, dan penembakan. Maka, perasaan gundah melanda ketika tiba-tiba saya bayangkan obituari saya begini: 'Mati tenggelam di kolam renang.' Khruschev membangkitkan saya dari khayalan sedih dengan teriakan gelak: 'Tengok mereka semua. Beku ketakutan. Stalin telah mendidik mereka dengan baik'." Senin, 1 Desember 1975 Saya jumpa dengan [komponis terkenal Yunani] Mikis Theodorakis untuk pertama kalinya di Continental, sebuah hotel di Paris. Waktu itu ia mengadakan sebuah konperensi pers. Ia baru saja datang dari Athena, setelah dibebaskan dari tahanan yang dideritanya selama tiga tahun, di penjara dan di rumah .... Mikis Theodorakis adalah anggota Partai Komunis Yunani ketika partai itu terpecah dua. Mikis kemudian mencari jalannya sendiri untuk menemukan "suatu gerakan kiri yang bebas dari birokrasi yang dogmatis, dan yang sesuai dengan persoalan dan kebutuhan gerakan kemajuan di Yunani." Saya melihat dia seperti adanya melangkah dengan langkah-langkah raksasa. "Kebebasan itu pahit," katanya kepada para wartawan Prancis yang menyambutnya di lapangan terbang Le Bourget pada suatu senja musim semi 1970. Pahit dan perlu, Mikis tercinta. Pahit dan lezat. Senin, 15 September 1975 Dua tahun silam -- rasanya seperti seabad silam -- Salvador Allende terbunuh di Santiago, Cili. Musuhnya, juga musuh rakyat, belum lagi tersingkir. Untuk membunuh Allende, pesawat terbang militer harus menukik, mengebom, sementara tank-tank menembaki dari jarak dekat pintu bergaya barok yang indah dari istana La Moneda. Senapan mesin menyelesaikan pekerjaan. "Terkepung oleh asap dan api, Salvador Allende menanti mereka di kantornya tanpa dikawal oleh siapa pun kecuali hatinya yang mulia," begitu tulis Pablo Neruda pada lembaran terakhir memoarnya. "Mayatnya dikuburkan secara rahasia di tempat yang tak jelas," tulis penyair itu pula. Tempat yang tak jelas itu menghantui mimpi-mimpi saya. Adapun Pablo Neruda, ia meninggal belasan hari kemudian pada tanggal 23 September, 1973. Ia korban kanker serta penyakit-penyakit lain yang membunuh Cili. Tentara meneror hari-hari terakhirnya dan mengawasinya dengan ketat di seputar rumah seorang teman yang menyertainya hingga ke kuburan dengan perintah tidak meneteskan air mata. Dengan uang muka dari bukunya Canto General ia membeli rumah di tahun 1939. ("Saya perlu rumah untuk tempat bekerja. Saya menemukan sebuah rumah batu di tepi laut, di Isla Negra yang tidak terkenal.") Rumah ini sudah bobrok, mebel-mebelnya berantakan, buku-buku habis terbakar, dan manuskrip yang ada di sana berserakan dan tersobek-sobek. "Daun-daun berwarna kuning segera gugur dan pokok-pokok anggur yang akan menghidupi kami dalam bentuk anggur suci akan tegak di atas segala yang saya tulis pada halaman-halaman ini," tulis Neruda pada kata pengantarnya. Tak lama sebelum kematiannya, saya jumpa Neruda di Paris. Waktu itu ia duta besar Cili di Prancis. Lebih tepat dikatakan berbaring daripada duduk di dipan suaranya, selalu bernada rendah, sudah mulai melemah tatkala berkata kepada saya, "Sudahkah membaca Seratus Tahun Kesendirian. Ini novel terbaik dari Amerika Latin dalam 25 tahun terakhir ini." Maka, saya baca Seratus Tahun Kesendirian, dan sejak itu Macondo menghantui saya. Desa tanah liat dan air itu muncul dan tenggelam bersama keluarga Buendias: Dari Aureliano pertama, yang berperang dan kalah dalam 32 perang saudara, hingga ke Aureliano terakhir, yang melupakan kematian dan kesedihannya, dan mengunci diri di kamarnya. Dia menutup pintu dan jendela hingga gangguan dari dunia luar terhindarkan, termasuk godaan untuk hidup. Penulisnya, Gabriel Garcia Marquez bercerita tentang salah seorang tokohnya, Alvaro, yang meninggalkan Macondo tanpa harapan untuk balik, tapi setia menulis kartu pos ke teman-temannya di desa dari tiap tempat persinggahannya dan berkata bahwa ini baginya "seperti merobek-robek puisi perjalanan sebelum membuangnya." Puisi panjang perjalanan: Adakah sejarah yang lain bagi manusia? Untuk ulang tahun kedua masuknya Cili dalam kesenyapan, televisi maupun radio Prancis tidak mengirimkan kartu pos ke alamat yang mati kepada mereka yang telah jadi korban penyiksaan. Senyap. Sepi juga untuk Neruda dan belantara tanda-tanda serta kata-kata yang telah ditanamnya di seputar muka bumi. ("Betapa indah bahasa yang kita warisi dari kaum penakluk yang bermata sayu. Mereka membawa pergi emas, mereka meninggalkan emas, mereka melarikan semuanya dan meninggalkan kita semuanya ... mereka meninggalkan kita kata-kata."). Sepi bagi Allende. Sepi untuk gerak sederhana yang tidak pernah goyah dalam memegang kepercayaan yang bersumber pada rakyat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus