MENARIK sekali pernyataan Presiden Soeharto yang mcngungkapkan bahwa pada 1980 angka kematian bayi sebesar 107 per 1.000 kelahiran hidup, dan pada 1985 menurun menjadi 80 per 1.000 kelahiran hidup. Bahkan ditambahkan oleh Presiden dalam Pidato Kenegaraan di depan DPR, 15 Agustus lalu, pada awal 1980-an usia harapan hidup rakyat Indonesia masih berada di sekitar 52 tahun, tapi pada tahun lalu angka terscbut telah meningkat menjadi 56 tahun, dan diharapkan pada tahun 1990-an nanti bisa mencapai 61 tahun. Angka-angka statistik kehidupan memang berkisar pada angka kematian bayi dan angka harapan hidup pada saat lahir. Ditambahkan dengan angka melek huruf, lengkap sudah apa yang sering disebut sebagai indeks fisik kualitas hidup (physical quality of life index - PQLI). Namun, di beberapa negara, seperti juga Indonesia, tingkat buta huruf telah mengecil -- terlebih-lebih lagi gaung bebas buta huruf yang begitu lantang di sekitar awal 1960-an masih terdengar -- maka sering kali tolok ukur yang satu ini kurang banyak dibicarakan. Kalaupun dipakai, kenyataan yang akan terjadi tidak menggertak. Sementara itu, dalam derap pembangunan diusahakan angka-angka yang mampu menumbuhkan gegap gempita, seperti kedua angka yang disebutkan terdahulu. Angka kematian bayi memang tampak tertinggal di negara-negara yang tergolong miskin, seperti Bangladesh, Nepal, Laos, dan negara-negara di sekitar Gurun Sahara. Sementara itu, di negara-negara industri, yang relatif lebih maju dan kaya, angka kematian bayi ini sudah dapat ditekan di bawah 20 per 1.000 kelahiran hidup. Gambaran yang sama akan didapat untuk angka harapan hidup pada waktu lahir. Sementara negara-negara sedang berkembang masih berjuang dengan angka yang sekitar 50 tahun, angka harapan hidup waktu lahir untuk negara-negara maju tersebut sudah berada di atas 70 tahun. Sungguh suatu perbedaan yang amat menyedihkan. Apalagi kalau diingat kedua angka statistik kehidupan ini mempunyai korelasi yang sangat erat dengan tingkat pertumbuhan ekonomi yang sering dinyatakan baik melalui tolok ukur PDB maupun GNP ataupun pendapatan per kepala. Namun, ada suatu kenyataan yang menyentak. Negara miskin seperti Sri Lanka, atau Negara Bagian Kerala di India, ternyata memiliki angka statistik kehidupan yang setara dengan negara-negara industri, sedangkan pertumbuhan ekonominya lebih rendah daripada sesama negara berkembang. Mengapa bisa begitu ? Mengapa PQLI di Sri Lanka bisa berkisar pada angka 81, sementara Indonesia masih merangkak di antara angka 48-52? Tampaknya, ada faktor lain yang perlu mendapat perhatian. Dan itu menyangkut strategi pembangunan mereka. Pemerataan pembangunan nasional tampak lebih nyata di Sri Lanka maupun di Negara Bagian Kerala. Mereka memilih pembangunan padat karya ketimbang pembangunan padat modal sebagai pola produksi nasional, sementara landasan pembangunan disusun dengan batu pertama yang berlandaskan keadilan sosial. Reformasi pemilikan tanah, program pemerataan pendidikan dan pelayanan kesehatan, serta bantuan pangan bagi rakyat miskin merupakan dasar kebijaksanaan pembangunan nasional. Tak pelak lagi, masalah-masalah yang menyangkut kesejahteraan masyarakat dapat lebih dulu diatasi. Fondasi ini tampaknya yang sangat berperan dalam menunjang peningkatan angka PQLI tersebut. Lalu, bagaimana pelaksanaan, agar fondasi yang kuat tersebut dapat juga menghasilkan tempat berlindung yang nyaman bagi masyarakat luas? Apa akan ditiru cara Kuba, yang hanya dalam dua dasawarsa telah berhasil menekan angka kematian bayi menjadi 25 per 1.000 kelahiran hidup dan memanjangkan usia harapan hidup menjadi 72 tahun? Atau kita menoleh pada sistem Cina, misalnya? Dengan pasukan dokter telanjang kaki (barefoot doctors) ternyata Cina telah berhasil melakukan integrasi pragmatis dari ilmu kesehatan modern dengan tradisional, sehingga sistem upaya kesehatan mereka berkembang dengan derajat kelenturan yang sangat tinggi. Kampanye kesehatan masal, yang dipadukan dengan pemberantasan penyakit menular serta pengembangan ketahanan masyarakat, telah membawa upaya kesehatan di Cina mengajar masyarakat untuk mengerti makna hidup sehat sejak dini. Dalam kondisi semacam ini, setiap usaha alih kelola ataupun alih peran dari program apa pun akan terjadi secara mulus. Sementara itu, pemakaian tanaman obat, yang berasal dari kebun keluarga, juga pada gilirannya mampu membatasi pemakaian kemoterapi dan berbagai obat sitentis lainnya yang mahal dan berbau impor. Dengan demikian, devisa dihemat dan penggunaan produksi dalam negeri dengan sendirinya terlaksana. Terlepas dari bentuk upaya kesehatan yang akan dijalankan, kesadaran akan tolok ukur yang terkait dengan angka-angka statistik kehidupan di luar tolok ukur pembangunan lainnya yang umum dipakai telah melegakan banyak pihak. Sisi lain dari keberhasilan pembangunan yang dahulu agak tercecer, ternyata, kini muncul lewat Pidato Kenegaraan. Babak baru era pembangunan yang lebih manusiawi tampaknya akan dimulai. * Ahli Ekonomi Kesehatan, lulusan Hawaii University
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini