AS berubah sikap. Sesudah melancarkan kampanye pemboikotan bandar udara Beirut dengan sengit, Washington seperti gagu. Dan tiba-tiba juru bicara Gedung Putih Larry Speakes, Kamis lalu, bicara tentang usaha bersama pemerintah AS dan Libanon dalam merumuskan beberapa tindakan pengamanan terhadap bandar udara itu. Washington, antara lain, menggariskan tiga ketentuan: laskar mana pun tidak dibolehkan berada di sana, senjata apa saja tidak boleh dibawa masuk ke sana, dan pelabuhan udara itu harus dijamin keamanannya oleh pasukan tertentu. Untuk itu, AS cenderung memanfaatkan tentara PBB. Usul itu ditolak Libanon. Namun, para pemimpin di Beirut berjanji meningkatkan pengamanan - upaya yang tidak kunjung berhasil sampai awal pekan ini. Mengapa? Bentrokan laskar Muslim dan milisi sayap kanan Kristen, yang sudah berkobar sepanjang pekan silam, tiba-tiba berlanjut lagi awal pekan ini. Pertempuran berkecamuk sepanjang garis hijau, pemisah daerah permukiman Kristen (Beirut Timur) dan Islam (Beirut Barat). Kedua pihak saling menembakkan roket ke daerah lawan, tanpa bisa dicegah komite perdamaian yang dipimpin tokoh nasional Rashid Karami. Kehadiran tim pengawas dari Syria, yang dipimpin Kolonel Abdel-Salam Daghestani, juga tidak dihiraukan. Padahal, sesuai dengan perundingan antara belasan pemimpin Libanon dan wapres Syria Abdel-Halim Khaddam, komite bertugas memberlakukan gencatan senjata, diikuti pembubaran laskar dan perlucutan senjata yang kemudian diserahkan kepada tentara Libanon. Dalam rencana itu Juga tercakup penutupan semua markas milisi, pembersihan semua jalan raya dari oknum-oknum laskar, dan sebagai gantinya dikerahkan polisi yang diperkuat 300 tentara. Tiga rencana itu mestinya sudah diterapkan 10 tahun lalu, manakala perang saudara Libanon baru meletup kecil-kecilan. Kini rencana sederhana itu kedengarannya muluk, bukan saja karena pemerintah pusat yang dipimpin Amien Gemayel tidak punya wibawa, tapi lantaran beberapa laskar sudah telanjur kuat. Kalau bentrokan terjadi di sana-sini, hal itu menunjukkan bahwa mereka berusaha saling mengungguli. Di Tripoli, misalnya, berkecamuk pertempuran antara kaum Suni melawan pengikut Partai Demokratik Arab Syria. Di selatan, tentara Libanon Selatan yang pro-Israel berhadap-hadapan dengan massa Partai Nasional Sosial Syria. Kecamuk perang merata dari utara ke selatan. Dan itu masih dipertajam oleh orang-orang Druze, yang tiba-tiba mengangkat senjata terhadap pasukan Amal Syiah. Sia-sia saja PM Rashid Karami berbicara tentang Libanon sebagai sebuah negara, satu tanah air, dengan rakyat yang mesti tunduk pada satu UU. Seruan itu bagaikan setitik air yang jatuh di pasir. Apalagi pemimpin Druze Walid Jumblatt - dulu sekutu Syria - belakangan ini tiba-tiba membangkang terhadap Damaskus. Ada apa? Presiden Syria Hafez Assad, tokoh paling menentukan di Libanon kini, sejak lama mengusahakan stabilitas politik di negeri itu dengan pemerintahan koalisi Islam-Kristen Falangis. Jumblatt rupanya tidak sependapat. Katanya. di Libanon tidak pernah ada perdamaian selama Falangis masih berkuasa. "Semestinya, orang Muslim memanfaatkan suatu perjanjian untuk memperkuat diri mereka. Soalnya, kita tidak akan mundur kepada kondisi masa lalu, yang selalu tanpa jagoan dan tanpa ada yang dikalahkan. Sekarang ini, atau Falangis yang membunuh kita atau kita yang membunuh mereka," kata Jumblatt, menantang. Jelas, ia lagi-lagi memancing pertumpahan darah. Tidak heran bila pemimpin kaum Suni Sheik Saeed Shaaban, mengingatkan agar, "Syria harus segera menguasai situasi di Libanon sebelum terlambat." Dan situasi gawat ini bukan tidak disadari Presiden Assad. Bagaimanapun, ia belum kehabisan akal dan siasat mengatasi masa-masa gawat, khususnya di Libanon. Assad kabarnya secara bertahap akan menjinakkan anarki militer di negeri ini, dan ia Juga mengusahakan pembebasan 13 orang asing, termasuk tujuh orang Amerika yang diculik serta lenyap tak tentu rimbanya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini