HARTA bekas pejabat agaknya baru terungkap bila terjadi sengketa keluarga di pengadilan. Bekas kepala Biro Keuangan Sekjen Departemen Keuangan, Abdoelkodir, misalnya, hari-hari ini dituntut bekas istrinya, Hajjah Fatimah, untuk membagi harta bersama mereka: berupa belasan tumpak tanah, rumah dengan harga ratusan juta rupiah, dan rekening Rp 547 juta di Bank Rakyat Indonesia Cabang Khusus Jakarta. Persoalan keluarga itu menjadi serius karena sekjen Departemen Keuangan, Ely Soengkono, turun tangan. Dalam sepucuk surat ke ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, Mei lalu, Ely meminta pengadilan mencabut kembali sita jaminan atas rekening Abdoelkodir tersebut dengan alasan uang itu milik instansinya. Sebab itu, Mahkamah Agung, yang mendapat tembusan surat, memerintahkan pengadilan memanggil Ely untuk didengar sebagai saksi dalam perkara itu. Kamis pekan ini, menurut rencana, Ely akan memberikan kesaksiannya tentang simpanan bekas bawahannya itu di pengadilan. Simpanan teka-teki itu tidak akan tersiar luas bila Abdoelkodir, 63, tidak menceraikan istrinya, Hajjah Fatimah, 60, Maret lalu. Padahal, Fatimah, yang dikawininya puluhan tahun lalu, telah memberinya delapan anak dan 14 orang cucu. Di usia tuanya, Abdoelkodir - yang sudah delapan tahun pensiun dari Departemen Keuangan - menyadari bahwa istrinya yang hanya berpendidikan SD itu tidak bisa mengimbangi dirinya yang kini berstatus salah seorang pejabat di Perum Taspen (Tabungan Asuransi Pensiun). "Selama ini saya terlalu banyak memberikan toleransi kepada Fatimah," ujar Abdoelkodir, yang masih kelihatan gagah dengan dasi birunya. Hajjah Fatimah membenarkan bahwa ia sering cekcok dengan suaminya, yang pernah mengenyam pendidikan sampai universitas itu. Tapi, selain tidak ada kecocokan di antara mereka, menurut nenek tua itu, ada seorang janda berusia 35 tahun yang punya andil dalam perceraian itu. Hajjah Fatimah mengetahui benar bahwa janda itu berhubungan erat dengan suaminya. "Walau sudah bercerai, Abdoelkodir masih serumah dengan saya," ujar Hajjah Fatimah sambil memperbaiki kerudungnya. Perceraian di pengadilan agama itu nyatanya dianggap Hajjah Fatimah tidak tuntas. Sebab, ia hanya mendapatkan nafkah selama tiga bulan dari bekas suaminya sekitar Rp 300 ribu. Padahal, selain mengetahui bahwa bekas suaminya memiliki belasan tumpak tanah dan rumah, nenek itu juga tahu persis Abdoelkodir memiliki simpanan di BRI. "Semula rekening itu mempunyai dana sebesar Rp 570 juta, tapi setelah saya gugat, saldonya menyusut jadi Rp 480 juta," ujar Hajjah Fatimah, yang mengaku setiap bulan mendapat laporan dari BRI tentang perkembangan rekening Abdoelkodir. Melalui pengacaranya, M. Rum dan Budi Mulya, dari Fakultas Hukum Universitas Islam, Jakarta, Hajjah Fatimah menuntut simpanan itu dibagi dua. Selain itu ia juga meminta bagian dari kekayaan bekas suaminya berupa tanah dan rumah di berbagai tempat di Jakarta dan daerah-daerah lainnya yang seluruhnya ditaksir berharga Rp 400 juta lebih. Hakim Muhammad Hatta dari Pengadilan Negeri Jakarta Pusat yang memeriksa perkara itu lalu menetapkan sita jaminan atas rekening Abdoelkodir tadi. Sita jaminan itu kemudian dibantah Sekjen Ely Soengkono. Menurut dia, uang yang disita pengadilan itu merupakan dana khusus instansinya yang dikelola Abdoelkodir. Dana khusus yang konon dipakai untuk operasi-operasi anti penyelundupan, manipulasi pajak, dan korupsi itu, menurut Ely, sengaja tidak diatasnamakan instansi, agar tidak diketahui pihak-pihak tertentu. Ketika ditemui TEMPO, Ely tidak bersedia menjelaskan dari mana sumber dana itu, soal pertanggungjawabannya, dan kenapa masih di tangan Abdoelkodir, yang telah lama pensiun. "Semuanya itu sekarang sudah diteruskan ke atasan. Bukan masalah saya lagi," ujar Ely. Abdoelkodir pun menganggap tidak ada yang istimewa dari rekening atas nama pribadinya itu. "Karena saya dipercaya, maka rekeningnya atas nama saya," ujar Abdoelkodir. Karena itu, ia menilai gugatan bekas istrinya sebagai sia-sia. "Dia hanya mencari kesulitan saja. Toh, uang itu bukan milik saya," katanya. Hajjah Fatimah, yang mengaku pernah ditelepon Sekjen Ely untuk mencabut gugatannya, tidak percaya bahwa uang yang dituntutnya itu milik Departemen Keuangan. Sebab, menurut nenek itu, ia sudah mengecek kebenaran rekening itu milik pribadi Abdoelkodir ke BRI. "Jadi, dia hanya mencari dukungan dari Sekjen," ujar Hajjah Fatimah. Milik siapa sebenarnya dana rahasia itu agaknya wewenang pengadilan untuk menelusurinya. "Pihak Departemen Keuangan akan kami minta membuktikan di sidang bahwa rekening itu benar-benar milik instansi itu," ujar Hakim Muhammad Hatta. Mirip dengan kasus rekening Abdoelkodir adalah kasus rekening bekas pejabat Pertamina Almarhum Haji Thahir di Bank Sumitomo Singapura sebesar US$ 35 juta. Simpanan raksasa itu menjadi sengketa antara istri muda Almarhum, Kartika Ratna, dan anak Thahir dari istri tuanya. Pemerintah Indonesia belakangan ikut campur tangan menuntut harta karun itu dengan tuduhan bahwa Almarhum telah korupsi ketika menjadi pejabat perusahaan minyak negara itu. Akibatnya, sampai kini uang itu masih diblokir Pengadilan Tinggi Singapura di Bank Sumitomo (TEMPO, 1 Oktober 1983). Tuduhan bahwa pejabat yang sudah meninggal melakukan korupsi juga terjadi dalam kasus rekening bekas bendaharawan Sekwilda DKI, Almarhum Drs. Arfanie. Pihak DKI, tanpa putusan pengadilan, meminta BNI 46 dan BDN memblokir rekening Almarhum sebesar Rp 1 milyar, setelah bendaharawan itu meninggal. Seperti juga dalam kasus Haji Thahir, pemerintah DKI menganggap simpanan almarhum berasal dari korupsi (TEMPO, 18 Agustus 1984). Bedanya dengan kasus Abdoelkodir, bekas pejabat ini masih hidup dan tidak dituduh korupsi. Karni Ilyas
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini