Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tanggal 18 Juni 2004. Nek Mohammed sedang duduk di sebuah perumahan di Waziristan Selatan, Pakistan. Saat itu, komandan senior Taliban ini sedang berbicara melalui telepon satelit dengan wartawan yang rutin mewawancarainya tentang pertempuran kelompoknya melawan militer Pakistan di kawasan pegunungan di barat negara itu.
Pria yang dikenal dekat dengan pemimpin Taliban di Afganistan, Mullah Umar, dan pemimpin Al-Qaidah, Usamah bin Ladin, ini sempat bertanya keheranan kepada salah satu pengikutnya karena ia mendengar seperti ada "burung besi" yang membayanginya. Kurang dari 24 jam kemudian, sebuah peluru kendali menghantam perumahan itu, yang menewaskannya serta beberapa orang lain.
Nek Mohammed merupakan korban serangan pertama pesawat tanpa awak (drone) Amerika Serikat di Pemerintahan Kesukuan Federal Pakistan (FATA), yang terdiri atas tujuh wilayah, termasuk Waziristan Utara dan Waziristan Selatan. Hingga akhir Agustus lalu, setidaknya ada 345 serangan drone di Pakistan, yang menewaskan 2.695 orang.
Serangan terbaru di Pakistan terjadi Kamis pekan lalu, yang menewaskan Sangeen Zadran, komandan senior Haqqani, kelompok pro-Taliban. Amerika menuding Zadran berada di balik serangan terhadap pasukan Abang Sam di Afganistan. Amerika menempatkan Zadran dalam daftar teroris global sejak Agustus 2011.
Selain di Pakistan, Amerika mengoperasikan drone di Yaman, Somalia, Irak, dan Afganistan. Di Irak dan Afganistan, drone dikendalikan militer Amerika dan operasinya diakui di depan publik; selebihnya dijalankan dinas intelijen Amerika, CIA. Operasi CIA tersebut bersifat rahasia, termasuk soal lokasi, cara memilih target, siapa yang bertanggung jawab, dan jumlah korban tewas.
Pakistan sebenarnya sudah menentang aksi drone sejak awal. Demonstrasi besar pertama menolak drone terjadi pada 7 Oktober 2012, dipimpin bekas pemain kriket yang kemudian jadi politikus, Imran Khan. Ketua partai Tehreek-e-Insaf Pakistan itu menyebutkan serangan drone melanggar kedaulatan Pakistan dan membunuh warga tak berdosa.
Setelah Nawaz Sharif memenangi pemilihan Perdana Menteri Pakistan pada Mei lalu, ia memanggil utusan Amerika di Islamabad dan menyampaikan protes soal itu. Sharif minta serangan itu dihentikan. Hingga akhir 2010, serangan drone di Pakistan menewaskan 2.288 jiwa—138 orang di antaranya warga sipil.
Protes itu tak digubris. Serangan berikutnya, termasuk yang menewaskan Zadran pada 6 September lalu, merupakan jawaban pemerintah Amerika terhadap legitimasi serangan drone.
Pakistan akhirnya memutuskan membawa kasus ini ke Perserikatan Bangsa-Bangsa pada Oktober nanti. "Pakistan telah siap mengangkat isu serangan pesawat tak berawak di PBB sesuai dengan rekomendasi dari partai-partai politik di negara ini," kata juru bicara Kementerian Luar Negeri Pakistan, Aizaz Ahmad Chaudhry, Kamis pekan lalu.
PBB pun sudah mengirimkan tim yang dipimpin pelapor khusus PBB di bidang hak asasi, Ben Emmerson, yang mengunjungi Pakistan pada 11-13 Maret lalu. Kesimpulannya, serangan drone melanggar kedaulatan Pakistan. Emmerson akan menyampaikan laporan akhir soal drone dalam sidang Majelis Umum PBB, Oktober mendatang.
Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon pernah mengungkapkan kritik yang sama. "Seperti yang sering dan secara konsisten saya katakan, penggunaan pesawat bersenjata, seperti senjata lainnya, harus tunduk pada hukum internasional, termasuk hukum kemanusiaan internasional," kata Ban saat di Islamabad, 13 Agustus lalu.
Menurut laporan berjudul "Living Under Drones: Death, Injury, and Trauma to Civilians from US Drone Practices in Pakistan", salah satu kritik terhadap serangan drone adalah kaitannya dengan dugaan pelanggaran Pasal 2 (4) Piagam PBB, yang melarang ancaman atau penggunaan kekerasan oleh satu negara terhadap negara lain. Laporan yang dipublikasikan pada September 2012 itu disusun International Human Rights and Conflict Resolution Clinic dan Stanford Law School.
Perang rahasia menggunakan drone merupakan bagian war on terror yang digelar pemerintah Amerika pasca-serangan 11 September 2001 yang menewaskan sekitar 3.000 orang. Abang Sam menuding Al-Qaidah sebagai otak serangan itu. George W. Bush, sebagai Presiden Amerika ketika itu, memulai perang dengan "pembunuhan yang ditargetkan" menggunakan drone terhadap anggota Al-Qaidah dan afiliasinya.
Serangan drone pertama pada era Bush terjadi pada Februari 2002 di Afganistan, yang menewaskan tiga orang, di dekat markas mujahidin di Zhawar Kili. Beberapa bulan kemudian, tepatnya 3 November 2002, serangan berikutnya terjadi di Yaman. Dari sebuah pangkalan di Djibouti, Afrika, drone menyasar enam orang yang sedang berkendaraan di daerah permukiman di Yaman. Salah satu yang diincar adalah Qaed Sinan Harithi, orang yang diyakini sebagai salah satu perencana serangan terhadap kapal perang Amerika, USS Cole, saat bersandar di Pelabuhan Aden, Yaman, pada 12 Oktober 2000.
Serangan di Yaman menjadi preseden program pembunuhan menggunakan drone. Berbeda dengan Yaman dan Somalia, Pakistan menjadi sasaran khusus karena di sana banyak milisi Taliban, juga Al-Qaidah. Mereka bersembunyi di FATA setelah Amerika menginvasi Afganistan, Oktober 2001.
Sejak 2002 sampai 2004, Amerika menggunakan drone MQ-1B Predator untuk memburu anggota Al-Qaidah, Taliban, dan afiliasinya. Generasi drone terbaru adalah MQ-9 Reaper. Keduanya sama-sama dilengkapi AGM-114 rudal Hellfire, yang bisa menghabiskan 24 jam di udara dan terbang di ketinggian hingga 26 ribu kaki.
Sampai Bush hengkang dari Gedung Putih pada Januari 2009, menurut data New America Foundation, Amerika telah melakukan setidaknya 45 serangan drone di Pakistan. Di bawah kepemimpinan Barack Obama dalam periode tiga setengah tahun, setidaknya ada 292 serangan drone.
Peningkatan frekuensi serangan drone sejalan dengan intensitas protes di Pakistan. Penentangan terhadap drone pada 2011 makin kuat karena tiga peristiwa terpisah: penembakan dua warga Pakistan oleh agen CIA, Raymond Davis, pada Januari; penyerbuan ke perumahan di Abbotabad pada 2 Mei, yang berujung pada tewasnya Usamah bin Ladin; dan terbunuhnya 24 tentara Pakistan dalam serangan udara salah sasaran oleh Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO).
Selama bertahun-tahun, Pakistan mengizinkan drone lepas landas dari pangkalan-pangkalan di dalam negeri. Dokumen yang dirilis WikiLeaks pada 2010 menunjukkan para pejabat senior Pakistan menyetujui serangan secara pribadi kepada diplomat Amerika, sementara pada saat yang sama mengutuknya di depan umum. Saat hubungan Pakistan dan Amerika memburuk pada 2011, Pakistan mengusir drone dari pangkalan udaranya. Namun pejabat Washington mengatakan kerja sama itu belum berakhir.
Pakistan, seperti dikatakan Chaudhry, menolak program drone bukan hanya karena operasi itu melanggar kedaulatan. Efektivitasnya menumpas sasaran yang dianggap teroris juga dipertanyakan. Operasi drone malah memicu serangan balik kelompok garis keras. Selama 2013, serangan kelompok militan di Pakistan menyebabkan sekitar 800 orang tewas. "Serangan pesawat tak berawak Amerika kontraproduktif terhadap perang melawan terorisme dan ekstremisme," ujar Chaudhry.
Syed Akhunzada Chittan, anggota parlemen Waziristan Utara—salah satu wilayah sasaran drone—setuju. "Untuk setiap milisi yang tewas, banyak lainnya yang dilahirkan." Seorang pekerja profesional Pakistan mengisahkan hal serupa. Ia mengaku memiliki teman sekolah yang akhirnya memilih bergabung dengan Taliban setelah serangan drone menewaskan koleganya.
Pemimpin para kepala staf gabungan, Laksamana Mike Mullen, dalam sebuah ceramah di Kansas State University, 3 Maret 2010, secara implisit mengakui efek samping itu. "Terlepas dari kenyataan bahwa Taliban membunuh dan melukai lebih dari yang kita lakukan, insiden korban sipil seperti di Afganistan akan lebih melukai kita dalam jangka panjang daripada keberhasilan taktis kita melawan musuh."
Abdul Manan (New York Times, Xinhua, CBC, CNN, tribune.com.pk)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo