Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Melalui alat perekam, Ajun Inspektur Satu Labora Sitorus memberikan kesaksian. Sepanjang 12 menit, dia curhat perihal kasus yang menjeratnya kini. Kalimatnya terpatah-patah. Pria 53 tahun itu mengklaim segala macam bisnisnya selama ini sah karena mendapat restu atasannya di kepolisian. Tapi restu itu tak gratis. "Apa pun permintaan pimpinan, selalu saya dukung. Termasuk membiayai entertainment mereka," kata Labora dalam rekaman yang diperdengarkan kepada Tempo dua pekan lalu.
Rekaman itu dibawa Wolter Sitanggang, saudara sepupu Labora, yang terbang ke Jakarta sekitar tiga pekan lalu. Adapun Labora sejak dua bulan lalu mendekam di rumah tahanan Kepolisian Daerah Papua. Penyidik menetapkannya sebagai tersangka penyelundupan bahan bakar minyak, pembaÂlakan liar, dan tindak pidana pencucian uang. Labora ditangkap pada 18 Juli lalu di kantor Komisi Kepolisian Nasional, Jakarta. Kala itu, ia menghadap ke komisi pengawas polisi itu untuk mengadu karena menganggap dirinya dikorbankan.
Bisnis haram Labora, anggota Kepolisian Resor Raja Ampat, terendus semenjak Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan menemukan ratusan transaksi di rekeningnya sejak lima tahun lalu. Total nilainya, menurut PPATK, sekitar Rp 1,5 triliun.
Labora menampik jika harta yang dimilikinya disebut dari bisnis ilegal. Selama belasan tahun, ia memiliki bisnis sampingan: pengolahan kayu dan perdagangan BBM di Sorong, Raja Ampat, dan Aimas, Papua. Dia memakai PT Rotua dan PT Seno Adhi Wijaya untuk usaha kayu serta PT Petero Energi untuk usaha BBM. Namanya masyhur di dunia perkayuan Papua. Kendati demikian, ada yang menduga sebagian kayu yang diolah perusahaan Labora sebenarnya ilegal.
Roda bisnis Labora mulai terganggu setelah tiga direktur PT Rotua ia pecat karena menilap uang perusahaan. Tiga direktur itu kemudian melaporkan Labora ke Polres Sorong. "Laporan itu yang membuka pintu masuk bagi PPATK," ujar Wolter Sitanggang.
Obrolan Labora bersama dua anggota staf di ruang tamu rumahnya di Sorong terhenti karena bunyi telepon seluler. Labora sigap menerima panggilan telepon yang masuk nyaris tengah malam itu, akhir tahun lalu. "Perintah, Komandan," kata Labora, seperti ditirukan salah seorang anggota staf perusahaan Labora, kepada Tempo.
Awalnya sang komandan di ujung telepon hanya basa-basi menanyakan kabar keluarga masing-masing. Tapi, di ujung pembicaraan, atasan yang berpangkat ajun komisaris besar itu meminta bantuan. Ia akan kedatangan tamu kehormatan dari Markas Besar Kepolisian RI dan butuh duit untuk membuat pesta kecil-kecilan di tempat hiburan. Selebihnya sekadar untuk buah tangan bagi sang tamu. Labora menyangÂgupi. Malam itu juga ia membubuhkan tanda tangan di atas selembar cek Bank BCA dan menuliskan angka "Rp 150 juta".
Esok paginya, Labora mengutus stafnya mengantarkan cek tersebut. Siang hari, sang komandan menghubungi Labora dan mengucapkan terima kasih. Namun, malam harinya, komandan itu kembali menelepon. Dia menyebutkan cek tersebut tak bisa dicairkan. Tanpa mendebat, Labora langsung menuliskan jumlah uang yang sama pada cek dari bank berbeda.
Labora mengira cek yang tak bisa dicairkan akan dikembalikan. Ternyata sang komandan tak bersedia "melepas" cek itu. "Pimpinan pura-pura enggak ingat mengembalikan cek itu," ucap sumber tersebut. Bila cek pertama bisa dicairkan, artinya Rp 300 juta diperoleh sang komandan dari Labora hari itu.
Kepada Tempo, Wolter bercerita, dalam sejumlah kesempatan, dia kerap mengingatkan agar Labora tak terlalu royal kepada rekan dan atasannya di kepolisian. Tapi, kata Wolter, Labora malah tersinggung. "Dia bilang itu bentuk loyalitas kepada pimpinan," ujarnya. Saking seringnya Labora memenuhi permintaan atasan, menurut Wolter, saudara sepupunya bak anjungan tunai mandiri (ATM) berjalan. "Kalau ATM penarikan uangnya terbatas, Labora tidak," ucapnya.
Tiga pekan lalu Wolter menyerahkan semua dokumen transaksi yang disimpan Labora ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Kepada Tempo yang menghubunginya dari Jakarta, Labora membenarkan bahwa dialah yang menyimpan dokumen itu dan menyerahkan salinannya kepada Wolter. "Uang itu saya kirim atas permintaan atasan," kata Labora. "Sekarang saya merasa telah dirampok."
KPK menyatakan akan menindaklanÂjuti pengaduan Labora. "Kami segera menelaahnya," ujar Kepala Pemberitaan KPK Priharsa Nugraha. Segepok fotokopi data yang diserahkan Wolter ke KPK antara lain berisi catatan uang keluar beserta kuitansinya.
Di sana tercatat uang "entertainment" yang dikucurkan Labora sejak 1 Januari 2012 hingga 23 April 2013. Ada sekitar 200 pengiriman uang untuk polisi: dari level kepolisian resor hingga Mabes Polri. SetorÂan terbesar terjadi pada 29 Januari 2012. Labora mengklaim telah mengirim uang tunai Rp 629 juta kepada pimpinan Kepolisian Daerah Papua. "Total seluruh setoran ke atasan Labora selama itu sekitar Rp 10 miliar," kata Wolter.
Penyerahan uang tak selalu tunai. Sekitar 70 kali setoran ditransfer dari rekening Labora ke rekening para polisi itu. Nilai transfer dari Rp 1,5 juta hingga Rp 150 juta. Transfer terbesar ditujukan kepada pimpinan Polres Raja Ampat dan pimpinan Polres Kota Sorong.
Akhir pekan lalu, Tempo menguji nomor-nomor rekening yang tercantum dalam bukti transfer yang disimpan Labora, yakni seolah-olah akan mengirim uang antarbank. Ternyata sebagian besar rekening masih aktif. Rekening yang biasa dipakai Labora mengirim uang, misalnya, masih aktif atas nama dia. Begitu pula rekening sejumlah polisi yang sering dikirimi uang oleh Labora. Hanya satu rekening yang sudah tidak aktif, yakni rekening atas nama seorang pemimpin Polres Raja Ampat.
Penyidik Polda Papua hingga pekan lalu masih memproses tiga kasus yang membelit Labora. Juru bicara Polda Papua, Komisaris Besar I Gede Sumerta Jaya, mengatakan status pemeriksaan Labora sudah hampir rampung. Puluhan rekening milik Labora dan keluarganya yang sudah diblokir masih ditelusuri lewat bantuan PPATK, Direktorat Jenderal Pajak, dan Kejaksaan Agung. Berbagai aset, seperti rumah, mobil, ekskavator, dan gelondongan kayu, milik Labora disita sebagai barang bukti. Soal kucuran uang kepada sejumlah pemimpin polres di Papua, Sumerta membantah. "Benar atau tidak, lihat di pengadilan," ujarnya.
Toh, polisi terlihat kedodoran mengusut perkara Labora ini. Kejaksaan Tinggi Papua dua pekan lalu menyatakan berkas penyidikan Labora belum lengkap. Selasa pekan lalu, Polda Papua kembali mengirimkan berkas penyidikan ke jaksa. "Masih kami teliti kelengkapannya. Bila sudah lengkap, akan segera kami kabari," kata Kepala Seksi Penerangan Hukum Kejaksaan Tinggi Papua Obeth Ansanay pekan lalu kepada Tempo.
Polisi dan jaksa memang berkejaran dengan masa penahanan Labora. Bila berkas penyidikan tak lengkap sampai 19 September pekan ini, dia bisa bebas demi hukum. Jaksa tak bisa melanjutkan penahanan karena kasus Labora belum masuk tahap penuntutan. Padahal, dua pekan lalu, Kepala Badan Reserse Kriminal Komisaris Jenderal Sutarman hakulyakin berkas Labora akan segera dinyatakan lengkap. "Kami terus mendiskusikannya dengan Kejaksaan Agung," kata Sutarman.
Sebaliknya, menurut pihak Labora, tak kunjung lengkapnya berkas penyidikan menunjukkan polisi kesulitan menemukan kesalahan Labora. Pengolahan kayu dan pengiriman BBM oleh dua perusahaan Labora, menurut Wolter, dilakukan dengan izin yang sah. Karena itu, Labora tak rela kayu gelondongan atau harta miliknya disita polisi.
Labora punya pengalaman pahit soal nasib hartanya yang jadi barang bukti. Pada 2007, misalnya, ia ditangkap dengan sangkaan melakukan illegal logging dan penyelundupan BBM. Ketika ia bebas, kayu dan BBM yang disita konon telanjur dilelang. Tapi Labora tak yakin bila uang hasil lelang disetorkan ke kas negara. "Yang jelas, harta dia ludes," ujar Wolter.
Agar Labora tak lepas begitu saja, polisi kini berancang-ancang mengeluarkan surat penahanan baru. "Bisa kami tahan dia dalam kasus pencucian uang," kata Sumerta Jaya. Saat ini, polisi memang baru menahan Labora dalam perkara dugaan pengolahan kayu dan pengiriman BBM ilegal. Berkas yang dikirim polisi ke Kejaksaan baru dua perkara pidana itu. Sedangkan kasus pencucian uang belum "disentuh".
Adapun terhadap sejumlah polisi yang disebut menerima duit Labora, Wakil Kepala Polri Komisaris Jenderal Oegroseno mempersilakan Polda Papua mengusut. "Kalau memang aliran dana mengarah ke pejabat polisi, ya, buka saja," ujar Oegroseno. "Kalau saya bilang tidak, tapi ternyata iya, kan repot."
Mustafa Silalahi, Jajang J., Bobby C., M. Rizki, Tri A. Putri, A. Badudu (Jakarta), Cunding L., Jerry O. (Jayapura)
Janji Palsu demi Fulus
AJUN Inspektur Satu Labora Sitorus merasa tak akan menang bila hanya membela diri dari Papua. Maka, pertengahan bulan lalu, ia pun mengutus orang kepercayaan sekaligus sepupunya, Wolter Sitanggang, ke Jakarta. Ia mengirim Wolter agar bisa menemukan "orang yang tepat" yang bisa membantunya lolos dari kasus yang menjeratnya. "Seluruh data pembelaan saya serahkan kepada Pak Sitanggang," kata Labora di dalam testimoninya yang direkam oleh Wolter saat masih di Papua pada 23 Agustus lalu. Saat itu, menurut Wolter, sejumlah orang penting Markas Besar Kepolisian RI juga mengundangnya untuk membicarakan perkara Labora.
Tiba di Ibu Kota, yang pertama didatangi Wolter adalah kantor Pasukan Pembela Kesatuan Tanah Air (Pekat), lembaga swadaya masyarakat, yang sebelumnya menjadi penasihat hukum Labora. Ia menagih janji Pekat yang berjanji bisa menyelesaikan kasus Labora lewat mekanisme surat perintah penghentian penyidikan dari Mabes Polri. Labora sudah memberikan uang Rp 2 miliar ke Pekat. Kepada Tempo, pihak Pekat menampik cerita Labora. "Emangnya bapak kita itu Kapolri yang bisa mudah diatur?" ujar Markoni Koto, Ketua Pekat, membantah cerita itu.
Menurut Wolter, dia juga mendatangi kantor pengacara Yusril Ihza Mahendra. Di sana, ia bertemu dengan Yusril dan pengacara lain. Setelah ia mempresentasikan dokumen perusahaan milik Labora, kata Wolter, Yusril memberikan pendapatnya. "Yusril mengatakan memenangkan kasus ini mudah seperti membalikkan handphone," ucap Wolter. Yusril, saat dimintai konfirmasi cerita ini, menegaskan tak mengenal Labora dan tak pernah bertemu dengan utusannya. "Ngarang itu," ujarnya.
Di Jakarta, Wolter memenuhi undangan beberapa petinggi Badan Reserse Kriminal Markas Besar Polri. Saat ditemui Tempo dua pekan lalu di Jakarta, Wolter tak mau menyebut nama dan jabatan petinggi kepolisian yang ia temui. Yang pasti, kata dia, pejabat polisi yang ia temui saat itu memberi "angin segar", mengatakan akan membantu Labora. Namun, lantaran mereka meminta ongkos terlalu tinggi, Labora, menurut Wolter, menolak. Kepada wartawan, Kepala Badan Reserse Kriminal Mabes Polri Komisaris Jenderal Sutarman berkali-kali menyatakan pihaknya akan mengusut siapa pun yang menerima duit dari Labora. Dia menyatakan akan menyelidiki laporan Labora.
Kasus Labora sudah telanjur menggelinding. Sudah menjadi sorotan publik. Tiga pekan lalu, Wolter pun mendatangi Komisi Pemberantasan Korupsi, mengadukan nama-nama polisi yang selama ini menurut Labora kerap menerima setoran dari dirinya. Wolter mengatakan ia tahu tugasnya berisiko. Karena itulah, selama di Jakarta, dia selalu berpindah-pindah hotel. Ia mengatakan tak hanya awak Pekat yang mencarinya, tapi juga seorang perwira menengah dari Kepolisian Daerah Papua. "Semuanya mereka mata duitan," ujarnya.
Menurut Wolter, harta Labora kini tak banyak lagi. Mobil, tanah, traktor, dan ekskavator milik perusahaannya, misalnya, berstatus kredit. Berbagai rekening miliknya juga sudah disita penyidik. Sejak kasus ini bergulir pada Juni lalu, uang Labora terkuras tak kurang dari Rp 6 miliar. Termasuk, kata Wolter, mengongkosi pihak yang ternyata hanya memberi janji palsu.
Mustafa Silalahi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo