Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DI dalam mobil yang menuju jalan tol Jagorawi, Abdul Qodir Mufti baru saja menandaskan nasi kotaknya. Rasa kantuk perlahan mulai menyerangnya. Di dalam mobil Gran Max bernomor polisi B-1349-TFN itu, kesebelas rekannya hampir semuanya sudah terlelap setelah memakan nasi kotak yang sama.
Menjelang dinihari, Ahad pekan lalu itu, mereka hendak menuju pabrik Astra di Cibinong. Qodir dan rekan-rekannya adalah karyawan Toyota Rent a Car, perusahaan leasing yang berkantor di Sunter, Jakarta Utara. Mereka mendapat tugas mengambil kendaraan dari pabrik Astra untuk dibawa ke Pelabuhan Tanjung Priok.
Para karyawan Toyota itu terbiasa pergi ramai-ramai jika mendapat tugas kantor. Saat itu, Qodir, 27 tahun, duduk di bangku pojok kanan belakang, berhadap-hadapan dengan Agus Wahyudi Hartono. Zulhary Amzah, Agus Komara, Qomaruddin, dan Robby Yassan Afan melengkapi barisan bangku yang sudah dimodifikasi sehingga posisi penumpang berhadapan—bukan menghadap ke depan sebagaimana biasanya. Dua rekan Qodir, Agus Surahman dan Rizky Aditya Santoso, menemani sopir Nugroho Abrury Laksono di bangku depan. Sedangkan di bangku belakang mereka, Nurmansyah, Pardomoan Sinaga, Poejo Widodo, dan Wahyudi juga sudah tertidur lelap.
Masuk pintu jalan tol Jagorawi sekitar pukul 00.30, kendaraan itu melaju santai. Sekitar sepuluh menit berjalan, di Kilometer 8,2, suara dentuman mengejutkan Qodir, yang matanya hampir mengatup. Ia mengaku saat itu hanya mendengar suara keras. "Saya langsung pingsan. Tahu-tahu sudah di rumah sakit," ujarnya kepada Tempo, Rabu pekan lalu. Dokter menyatakan tulang selangkangnya patah.
Qodir selamat, tapi tidak rekan-rekannya. Enam temannya terlempar keluar dari kendaraan dan tewas di tempat. Zulhary Amzah, 42 tahun, kendati selamat, tulang pinggangnya patah serta kepala dan ginjalnya terluka. Kepada istrinya, Sri Rahayu, Zulhary—yang kini juga dirawat di rumah sakit—bercerita, saat itu, sekilas ia melihat sebuah mobil sedan "terbang" menuju mobilnya. "Dia juga sempat melihat sedan itu sebelumnya menabrak Avanza di samping mobilnya. Setelah itu, dia tidak tahu apa-apa lagi, pingsan," kata Sri kepada Tempo.
Sekitar sepuluh menit kemudian, petugas jalan tol dan polisi "menyerbu" lokasi kejadian. Para korban kecelakaan segera dilarikan ke tiga rumah sakit terdekat. Qodir, Zulhary, dan tiga temannya yang lain dibawa ke Rumah Sakit Meilia, Cibubur. Nugroho dan Wahyudi dibawa ke Rumah Sakit Mitra Keluarga, Cibubur.
Adapun enam teman Qodir yang tewas diangkut ke RS Polri Sukanto. Sedangkan pengemudi "mobil terbang", yang ternyata anak musikus Ahmad Dhani, Aki (demikian kita sebut namanya), dilarikan ke Rumah Sakit Meilia. Aki, 13 tahun, tak sendiri dalam mobil sedan Mitsubishi Lancer itu. Ia ditemani karibnya, Pal (juga bukan nama sebenarnya), yang juga berusia 13 tahun. Beberapa jam dirawat di Meilia, Aki dan Pal kemudian dipindahkan ke RS Pondok Indah, Jakarta Selatan.
Polisi memastikan kecelakaan ini disebabkan oleh Aki yang mengendarai mobil Lancernya dengan kecepatan tinggi dan kemudian tak bisa menguasainya. Menurut juru bicara Kepolisian Daerah Metro Jaya, Komisaris Besar Rikwanto, sedan Lancer tersebut menabrak pembatas jalan, "terbang" ke ruas jalan tol seberang, menabrak Avanza dan kemudian Gran Max. "Pengemudi Lancer tak memiliki surat izin mengemudi," ujar Rikwanto.
Polisi sudah menetapkan bocah yang semestinya terlarang mengemudikan mobil tersebut sebagai tersangka dalam kasus kecelakaan ini. Ia dijerat dengan Pasal 310 Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, yang mengatur syarat-syarat mereka yang diizinkan mengemudikan mobil. "Ancaman hukumannya enam tahun penjara dan denda Rp 12 juta," ucapnya.
Soal kecepatan kendaraan mobil yang dikendarai Aki, Rikwanto mengatakan polisi belum bisa memastikan berapa kecepatannya. Polisi Senin ini akan meminta keterangan pihak agen tunggal pemegang merek Mitsubishi "menelisik" kecepatan dan apa yang terjadi dengan mobil Lancer itu. Kepala Unit Kecelakaan Lalu Lintas Kepolisian Resor Jakarta Timur Ajun Komisaris Agung Budi Laksono memperkirakan, saat menghajar pembatas jalan, kecepatan Lancer sekitar 105 kilometer per jam.
Anak tertua Ahmad Dhani, Ahmad Al Gazali, kepada wartawan menyebutkan adiknya pernah mengendarai mobil hingga kecepatan 200 kilometer per jam. Kecelakaan yang terjadi Ahad pekan lalu itu, kata Ahmad, terjadi sepulang sang adik mengantar pacarnya ke rumah di kawasan Cibubur.
Menurut Veni (bukan nama sebenarnya), pacar Aki, sebelum ke Cibubur, ia dan Aki makan malam di Social House Cafe, Grand Indonesia, hingga pukul 23.00. Dia mengaku sempat menolak diantar pulang. Tak juga mendapatkan taksi, ia akhirnya diantar Aki. Gadis berhidung mancung itu menyatakan bukan sekali ini dia diantar Aki.
Sejumlah teman dekat Aki menyatakan menyetir mobil bukan hal baru bagi Aki. "Sejak dua tahun lalu dia sudah bisa bawa mobil," ujar salah satu temannya.
Kecelakaan maut di Kilometer 8,2 merenggut sejumlah nyawa lantaran kegagalan sang pengemudi di bawah umur mengendalikan mobilnya memancing reaksi banyak pihak. "Ini fenomena gunung es," ujar Sekretaris Jenderal Komisi Nasional Perlindungan Anak Arist Merdeka Sirait. Menurut catatan komisinya, sepanjang 2013 saja terjadi 40 kecelakaan lalu lintas yang melibatkan anak di bawah umur. "Namun, dari semua kejadian ini, tak jelas ujungnya," katanya.
Arist menyesalkan penetapan Aki sebagai tersangka oleh polisi dengan menggunakan Undang-Undang Lalu Lintas tanpa lebih dulu mempertimbangkan Undang-Undang Perlindungan Anak dan Undang-Undang Sistem Peradilan Anak. "Itu langkah keliru," ucapnya. Padahal, kata dia, sesuai dengan Pasal 7 Undang-Undang Sistem Peradilan Anak, polisi wajib mengupayakan lebih dulu penyelesaian kasus di luar jalur pidana. Apalagi, menurut dia, keluarga korban juga bersedia berdamai. "Syarat untuk melakukan diversi sebenarnya mencukupi," ujarnya. Batasan "anak", menurut undang-undang, adalah mereka yang berusia di bawah 18 tahun.
Menurut dia, anak yang menjadi pelaku tindak kejahatan—menurut UU Perlindungan Anak—merupakan tanggung jawab orang tuanya. "Seharusnya yang mendapat hukuman dalam kasus ini Ahmad Dhani karena dia membiarkan anaknya membawa kendaraan," ucapnya. Dasar hukumnya: pasal 13 undang-undang tersebut. Di situ dinyatakan anak berhak mendapat perlindungan dari diskriminasi, eksploitasi, penelantaran, kekerasan, dan perlakuan salah lainnya. "Dalam kasus ini, perilaku Dhani bisa dikategorikan penelantaran dan perlakuan salah," ujar Arist.
Guru besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Nurhasan Ismail, menyoroti bolong-bolong Undang-Undang Lalu Lintas yang berkaitan dengan soal pengemudi di bawah umur. Nurhasan adalah pakar hukum yang ikut diminta pendapatnya saat undang-undang itu dibuat.
Menurut dia, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan yang sekarang berlaku memang sudah tak lagi sesuai dengan perkembangan zaman. Undang-undang ini tak bisa "mengatasi" soal kecelakaan yang disebabkan oleh pengemudi di bawah umur. "Karena undang-undang itu memang tidak mengaturnya," ucapnya. Dulu, kata dia, saat merancang undang-undang ini, pihaknya belum berpikir akan ada orang tua yang memberi anaknya kendaraan untuk digunakan sang anak.
Soal pidana terhadap anak Dhani, dia mengatakan, prinsipnya pidana tak bisa dialihkan tanggung jawabnya. Jadi, meskipun Dhani dihukum, tetap tidak bisa menghapus kesalahan sang anak. Dalam soal ini, menurut dia, Dhani bisa dimintai pertanggungjawaban materi atas kerugian yang diderita korban. "Memang orang tua sanksinya hanya sanksi perdata dan moral," katanya.
Soal ganti rugi dan hukuman, Nurhasan menambahkan, sebaiknya keluarga korban dan Ahmad Dhani membuat pernyataan hitam di atas putih. Menurut dia, itu dilakukan, selain untuk membebaskan anaknya dari hukuman pidana, demi menjamin hak korban. "Jadi sebaiknya ada hitam di atas putih."
Ahmad Dhani sudah menyatakan siap menanggung hukuman dan ganti rugi yang disebabkan oleh ulah anaknya itu. "Kalau ada proses hukum, saya siap menjalani," ujar Dhani.
Febriyan, Ilham Tirta, Anindya Legia Putri
Terlempar pada Dinihari
Kecelakaan maut terjadi di Kilometer 8,2 jalan tol Jagorawi, Ahad dinihari pekan lalu. Mitsubishi Lancer yang dikendarai anak Ahmad Dhani yang masih berusia 13 tahun "terbang"—melewati batas pemisah jalan—menabrak Avanza dan Gran Max. Sejumlah penumpang Gran Max terlempar ke luar dan tewas, yang lain luka parah.
Korban Avanza: Hendro Sasongko, pengemudi, luka ringan.
Korban Lancer: 2 orang.
1. Aki, 13 tahun, pengemudi (bukan nama sebenarnya)
2. Pal, 13 tahun (bukan nama sebenarnya). Menderita luka-luka dan patah kaki.
Daihatsu Gran Max
- Sabuk pengaman tiga titik di tempat duduk penumpang depan dan sopir.
- Tidak memiliki pengaman kantong udara.
Gran Max ini telah dimodifikasi sehingga mampu menampung penumpang sebanyak 12 orang plus satu orang sopir. Di bagian belakang kendaraan, para penumpang duduk berhadap-hadapan seperti di angkot.
Luka
1. Abdul Qodir Mufti, 27 tahun, patah di bagian tulang selangka.
2. Pardomoan Sinaga, 35 tahun, luka berat di kepala.
3. Poejo Widodo, luka berat di kepala
4. Zulhary Amzah, 42 tahun, cedera di kepala, tulang pinggang patah, dan kantong kemih serta ginjalnya luka.
5. Robby Yassan Afan, 35 tahun, patah tulang kaki kiri dan tulang rusuk dada.
6. Wahyudi, 35 tahun, luka ringan.
7. Nugroho Laksono, 34 tahun, mata kiri terkena pecahan kaca dan buta, kantong kemih terjepit, serta patah tulang di beberapa bagian.
Meninggal
1. Agus Wahyudi Hartono, 40 tahun.
2. Rizky Aditya Santoso, 20 tahun.
3. Agus Surahman, 31 tahun.
4. Agus Komara, 45 tahun.
5. Qomaruddin, 38 tahun.
6. Nurmansyah, 31 tahun.
Lancer EX 2.0 GT A/T (Jenis Sedan Semi-Sport)
- Memiliki sasis dengan teknologi yang mampu meredam benturan di titik vital kendaraan, seperti bagian depan, belakang, dan pintu kendaraan.
- Memiliki tujuh kantong udara yang terletak di bagian depan, belakang, samping, dan kaki pengemudi serta memiliki sabuk pengaman dengan teknologi yang memungkinkan sabuk mengencang dengan cepat secara otomatis saat terjadi tabrakan.
Ancaman bagi Sang Pengemudi
Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009)
Pasal 281: "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor di Jalan yang tidak memiliki Surat Izin Mengemudi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 77 ayat 1 dipidana dengan pidana kurungan paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah)."
Pasal 310 ayat 3 : "Setiap orang yang mengemudikan Kendaraan Bermotor yang karena kelalaiannya mengakibatkan Kecelakaan Lalu Lintas dengan korban luka berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 229 ayat 4, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 10.000.000,00 (sepuluh juta rupiah)."
Karena "pengemudi maut" masih berusia 13 tahun, Undang-Undang Perlindungan Anak (UU Nomor 23 Tahun 2002) dan Undang-Undang Peradilan Anak (UU Nomor 11 Tahun 2012) mengatur sebagai berikut:
Pasal 13 ayat 1: "Setiap anak selama dalam pengasuhan orang tua, wali, atau pihak lain mana pun yang bertanggung jawab atas pengasuhan berhak mendapat perlindungan dari perlakuan:
a. diskriminasi;
b. eksploitasi, baik ekonomi maupun seksual;
c. penelantaran;
d. kekejaman, kekerasan, dan penganiayaan;
e. ketidakadilan; dan
f. perlakuan salah lainnya."
Pasal 16 ayat 3: " Penangkapan, penahanan, atau tindak pidana penjara anak hanya dilakukan apabila sesuai dengan hukum yang berlaku dan hanya dapat dilakukan sebagai upaya terakhir."
Undang-Undang Sistem Peradilan Anak
Pasal 7 ayat 1: "Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo