RAKYAT Jepang marah. Etika yang konon bersumber pada Shinto dan tradisi samurai dilanggar. Pelanggar itu bernama Shin Kanemaru, wakil ketua Partai Demokratik Liberal, yang juga ketua fraksi Takeshita, fraksi terkuat dalam partai yang berkuasa ini. Kanemaru Agustus lalu mengakui menerima suap senilai 500 juta yen (lebih dari Rp 8 milyar). Karena itu ia bersedia mengundurkan diri dari jabatannya. Sebagaimana selama ini yang terjadi, begitu seorang pejabat tersangkut skandal bersedia mundur, masyarakat Jepang menerimanya sebagai penebusan dosa. Bila Kanemaru kini dikecam habis, ternyata ia membatalkan pengunduran dirinya. Ia, yang sebelumnya menolak keras, pekan lalu memenuhi permintaan anggota fraksinya untuk tetap menduduki jabatan ketua fraksi. "Apakah ia sudah tuli, sehingga tak dapat mendengar kata rakyat tentang skandal penyuapannya?" tulis harian Yomiuri. Lalu, sejak Kamis pekan lalu, sebuah kelompok yang terdiri atas mahasiswa dan ibu rumah tangga serta anggota DPRD melakukan aksi mogok makan di depan stasiun kereta api. Ada juga yang protes dengan unik: menyetel lagu keras keras di depan rumah Kanemaru. Protes keras juga ditujukan pada Kejaksaan Tokyo, yang dianggap takut karena hanya menjatuhkan denda 200 ribu yen -- sama dengan denda parkir di kawasan tertentu Tokyo -- pada Kanemaru. Alasan Kejaksaan, karena uang panas itu dipakai untuk keperluan politik. Kekesalan rakyat Jepang makin bertambah setelah pers mengungkapkan bahwa Kanemaru punya hubungan dengan organisasi kriminal Yakuza. Dana senilai 500 juta yen itu berasal dari bekas pimpinan Sagawa Kyubin, perusahaan transportasi, yang berhubungan erat dengan Susumu Ishii, gembong Yakuza terkenal. Maka kini muncul spekulasi di Jepang: kasus Kanemaru akan menggoyahkan kedudukan Partai Demokratik Liberal sebagai partai berkuasa. Meski beberapa kali digoyang skandal -- antara lain skandal suap Lockheed yang menimpa Perdana Menteri Kakuei Tanaka tahun 1976, kemudian skandal saham yang menjatuhkan Perdana Menteri Noboru Takeshita tahun 1989 -- partai ini tetap bisa tegak kembali. Soalnya, mereka yang terlibat skandal segera mundur. Tapi kini kasusnya agak lain. Tampaknya ini membuka peluang buat partai oposisi, Partai Sosialis Jepang, atau Komeito, yang konservatif umpamanya. Repotnya, Partai Demokratik Liberal yang berkuasa bertahun-tahun ini kini hubungannya dengan para pengusaha Jepang sudah sangat erat. Kata Profesor Michitoshi Takabatake, ahli politik dari Universitas Rikkyo, "Partai Demokratik Liberal itu anak kesayangan para pengusaha Jepang." Para pengusaha memang tak punya pilihan lain. Dunia bisnis Jepang menganggap partai oposisi terlalu ke kiri atau terlalu ke kanan, riskan diajak kerja sama. Akibatnya, bisa ditengok ke belakang, betapa Partai Demokratik Liberal bisa bertindak semaunya bila berhubungan dengan pengusaha. Untuk keperluan pemilihan majelis tinggi di tahun 1989, misalnya, Ichiro Ozawa, sekjen Partai Demokratik Liberal waktu itu, mudah saja minta dana 30 milyar yen, (hampir Rp 500 milyar waktu itu) dari kaum pengusaha. Boleh jadi, karena hubungan antara partai berkuasa dan pengusaha inilah yang menyebabkan politik Jepang tak pernah lepas dari skandal suap, dan tetap selamat. Apalagi partai-partai oposisi selama ini seperti tanpa daya. Kata Shigezo Hayasaka, pengamat politik, yang pernah menjadi sekretaris Kakuei Tanaka selama 23 tahun, "Partai-partai oposisi belum pernah mencalonkan lebih dari 160 orang. Bagaimana mereka bisa menguasai parlemen yang terbentuk dari 512 kursi?" Kalau begitu, sejarah besar itu tak akan terjadi, agaknya. Seiichi Okawa (Tokyo) dan DP (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini