GURUN pasir di Jazirah Arab tak cuma ada angin dan sepi, tapi juga ada potensi konflik. Pekan lalu konflik itu pecah di perbatasan antara Qatar dan Arab Saudi. Dalam dua hari baku tembak, akhirnya tentara Saudi menduduki sebuah pos yang semula dikuasai oleh tentara Qatar. Yakni pos yang disebut Al Khofous. Sejauh ini dinyatakan dua tentara Qatar tewas, seorang lagi ditawan tentara Saudi. Protes resmi akhirnya dilayangkan pemerintah Qatar, Sabtu pekan lalu: agar Saudi segera menarik kembali pasukannya dari Al Khofous. Selain itu, Qatar mengajak Arab Saudi merundingkan kembali perjanjian perbatasan. Pada pertengahan 1960 memang ada perjanjian perbatasan antara dua kerajaan, tapi kemudian Qatar menuduh Saudi sering melanggar perbatasan, dan kemudian membatalkan perjanjian secara sepihak. Pihak Qatar memang memerlukan daerah perbatasan itu. Di situlah terdapat jalan sepanjang 25 km yang merupakan jalan perdagangan antara Qatar dan Uni Emirat Arab. Bila ini dikuasai Saudi, Qatar mesti membangun jalan lagi, atau semata berdagang dengan Uni Emirat Arab lewat laut. Qatar menuduh Saudi sengaja menguasai kawasan itu dengan mengerahkan pasukan. Pihak Saudi tentu saja membantah. Insiden itu, kata pemerintah Saudi, terjadi gara-gara konflik antarsuku Badui yang banyak berdiam di perbatasan. Konon, seorang pemimpin salah satu suku Badui tewas tertembak karena mempertahankan wilayahnya yang hendak dicaplok tentara perbatasan Qatar. Maka, kata pemerintah Saudi, insiden di perbatasan seperti itu bisa terjadi di mana pun. "Sangat disayangkan bila hal itu dibesar-besarkan Qatar. Sebab, kasus demikian akan mengundang pihak lain yang akan mengadu domba kami," lanjut pernyataan Pemerintah Riyadh. Akan halnya tawaran dari Qatar untuk merundingkan kembali soal perbatasan, hal itu belum dijawab oleh Saudi. Benarkah itu hanya sebuah insiden seperti kata Saudi? Yang jelas, Qatar dan Saudi menyimpan konflik. Dulu, ketika terjadi dalam persengketaan perbatasan Bahrain Qatar awal 1980-an, Arab Saudi mendukung Bahrain. Ketika itu Qatar mendapat dukungan dari Iran. Tapi memang belum jelas adakah konflik yang sekarang ini ada kaitannya dengan masa lalu. Bila hanya disimak dari pernyataan-pernyataan Saudi tentang konflik pekan lalu itu, memang sulit dicari kepentingan Saudi menguasai perbatasan tersebut. Saudi, negeri seluas 2.240.000 km2, punya 67.500 personel tentara, belum termasuk tentara cadangan 55.000. Qatar negeri seluas 11.500 km2, dan cuma punya 7.500 tentara. Bila memang ada niat agresi dari pihak Saudi, mestinya tak sulit. Jadi, kemungkinan itu memang 'insiden perbatasan yang bisa terjadi di mana pun', seperti kata pemerintah Saudi yang sudah dikutip di atas. Menurut para ahli Timur Tengah, kawasan ini memang menyimpan potensi konflik perbatasan. Sebabnya mudah saja: di gurun yang luas dan sepi dan hanya ada pasir dan angin itu, garis batas bisa sangat tak jelas. Selain konflik perbatasan Qatar-Bahrain, pernah juga terjadi sengketa perbatasan Saudi-Yaman. Belum lama ini Yaman dan Oman meneken perjanjian perbatasan, setelah bersengketa 10 tahun. Dan sebenarnya ini adalah sengketa yang terbawa dari zaman silam. Suku-suku pengembara di Arab yang berpindah-pindah biasanya mengklaim begitu saja gurun yang baru dipijaknya sebagai wilayahnya. Dan suku pengembara ini ada di tiap negara. Didi Prambadi (Jakarta) dan Dja'far Bushiri (Kairo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini