Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Tujuh oposisi di pihak rakyat

Kuwait mengadakan pemilu pertama sejak parlemen dibubarkan syaikh jaber al sabah. kubu oposisi kian vokal dan bersatu. dukungan demokratisasi oleh as terhadap kuwait bisa jadi bumerang.

10 Oktober 1992 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEJUMLAH tenda berdiri di tengah jalan raya di Kota City Jumat malam pekan lalu. Beberapa tenda dipadati pengunjung, ada juga yang sepi. Diperkirakan lebih dari 5.000 orang berkerumun di keramaian itu. Ini bukan pasar malam. Ini kampanye pemilu gaya Kuwait. Akhirnya pemilihan parlemen, yang lama dinanti dan dituntut oleh rakyat Kuwait, jadi dilangsungkan Senin pekan ini. Inilah pemilu pertama sejak Syaikh Jaber Al Sabah, penguasa kerajaan kecil kaya minyak yang dua tahun lalu diduduki Irak itu, membubarkan parlemen di tahun 1986. Ada 300 kandidat dari 7 kelompok oposisi bersaing memperebutkan 50 kursi Majlis Ummah, dewan perwakilan rakyat Kuwait. Yang baru dalam sejarah politik Kuwait kini, kubu oposisi kian jelas sosoknya, kian vokal, dan bersatu. Simaklah pidato para kandidat oposisi di dalam tenda di "jalan demokrasi"-- julukan pers Kuwait pada jalan raya yang dipakai untuk mendirikan tenda-tenda kampanye. Omongan yang dijual para calon anggota parlemen itu umumnya senada: menuntut diadakan pengusutan atas kegagalan pemerintah mencegah invasi Irak tahun 1990, dan memperluas anggota kabinet dari kalangan rakyat, bukan cuma dari keluarga raja -- termasuk perdana menteri yang selama ini selalu dijabat oleh putra mahkota. Dua tahun setelah Kuwait dibebaskan pasukan Amerika dan sekutunya, rakyat negara seluas kurang dari setengah luas Jawa Barat ini umumnya masih penasaran, kok begitu mudah Irak menguasai negara mereka: hanya dalam beberapa jam pasukan Irak sudah menguasai seluruh negeri. Dan para pejabatlah yang lebih dulu ngacir mengungsi. Bahkan menteri luar negeri sudah meninggalkan Kuwait sehari sebelum hari penyerbuan. Maka orang menyimpulkan, sebenarnya sudah ada antisipasi tentang kemungkinan Saddam Hussein menduduki Kuwait. Tapi pemerintah Kuwait rupanya tak membicarakan ini dengan serius. Ini, kata para tokoh oposisi, menunjukkan bahwa Kuwait dulu sebuah negara dengan sistem politik dan pemerintahan yang lemah. Setelah invasi Irak rakyat Kuwait memang kian sadar akan arti demokrasi. Amerika, sebagai sang pembebas, bisa menekan para penguasa Kuwait untuk menghormati proses demokratisasi. Pekan lalu, misalnya, sudah ada sentilan dari AS soal pemilu Kuwait: mengapa kaum wanita Kuwait masih belum diberi hak suara. Dari 600.000 warga Kuwait cuma 81.000 (sepertujuhnya) yang punya hak suara. Yakni pria di atas 21 tahun yang bisa menunjukkan leluhurnya tinggal di Kuwait sebelum tahun 1920. Soal penduduk memang salah satu perubahan yang mencolok di Kuwait. Sebelum perang, Kuwait dihuni 2,1 juta orang (700.000 orang Kuwait, 400.000 orang Palestina, dan sisanya orang Mesir, Suriah, Filipina, dan imigran negara lain). Kini penduduk Kuwait tinggal 1,1 juta orang, mayoritas bangsa Kuwait. Dukungan demokratisasi oleh Amerika terhadap Kuwait senarnya bisa menjadi bumerang. Dukungan itu, yang menyebabkan menguatnya kubu oposisi, lebih ber partisipasinya masyarakat dalam politik, bisa menyebabkan kedudukan Amerika dalam posisi tak nyaman. Sebuah Kuwait yang menganut politik bebas bisa menyulut berkobarnya nasionalisme Arab -- satu paham yang begitu populer di dunia Arab. Dan salah satu ciri utama nasionalisme Arab adalah sifatnya yang anti-Amerika. Alasannya sederhana, bermula dari anggapan lama bahwa Amerika Serikat pembela dan pelindung negara Yahudi, Israel. Apakah besar kecilnya dukungan itu berubah-ubah -- tergantung siapa yang duduk di Gedung Putih -- tampaknya orang Arab tak peduli. Tapi tampaknya kasus pendudukan Kuwait oleh Irak dan kemudian dukungan demokratisasi oleh Amerika hanya sebuah kebetulan. Sebenarnya tuntutan kehidupan politik yang lebih demokratis di Kuwait sudah muncul sebelum negeri Teluk ini dijarah Irak. Sejumlah aksi unjuk rasa sempat digelar di tahun 1988, 1989, dan 1990. Karena serbuan Irak, gerakan menuntut demokrasi itu terhenti. Dan sebelum itu, tahun 1986, ada anggota parlemen yang mempersoalkan kekayaan keluarga Syaikh Al Sabah. Soalnya, devisa penjulan minyak di luar negeri sebagian besar jatuh ke kantong keluarga kerajaan. Karena itulah parlemen dibubarkan Al Sabah tahun itu. Kubu oposisi Kuwait yang makin menguat kini terdiri dari tujuh kelompok: Kubu Islam Nasionalis, merupakan kelompok budayawan, dan merupakan satu-satunya kelompok yang berpengalaman di parlemen. Kelompok ini didukung oleh kalangan teknokrat dan intelektual liberal. Kelompok Islam populer, yang berniat menciptakan negara berdasarkan syariat Islam. Gerakan Konstitusi Islam, kelompok ini dikenal sebagai reformis yang terdiri atas kaum Ihkwanul Mus limin. Kelompok Konstitusi, merupakan kumpulan kalangan nasionalis moderat yang bertujuan melancarkan perbaikan ekonomi dan politik Kuwait. Sebelumnya kelompok ini intim bekerja sama dengan pemerintah. Tapi kini kelompok ini gencar mengkritik penguasa yang tak peduli dengan perbaikan politik dalam negeri. Banyak pengusaha besar Kuwait bergabung dalam kelompok ini. Kelompok Independen, merupakan kubu yang amat liberal, yang mengusulkan pengembangan sistem parlemen lebih terbuka dan demokratis. Anggotanya terdiri atas para akademisi dan para profesional. Mimbar Demokrasi, merupakan kelompok yang paling punya program partai politik ketimbang kelompok lainnya. Kelompok Perwakilan, terdiri dari sebagian bekas anggota parlemen lama. Setidaknya 20 anggotanya pernah menduduki kursi parlemen. Sebelum hari pemilu Senin pekan ini kubu oposisi menuding pemerintah berusaha membeli suara rakyat dengan pemberian hadiah. Di antaranya, menaikkan gaji pegawai negeri dan menghapus utang masyarakat kepada bank. Selain itu pemerintah juga dituduh berupaya merangkul suara Islam dengan mengumumkan rencana penerapan hukum Islam Desember silam. Rencana ini ditentang keras oleh kaum hawa Kuwait, yang khawatir penerapan hukum Islam bakal lebih banyak mengekang langkah mereka. Bagaimanapun, pemilu sebagai proses mewujudkan demokrasi sudah dijalankan. Bagaimana perkembangannya, itu soal lain. DB (Kairo) & FS (Jakarta)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus