Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Gerimis jatuh tak berkesudahan sejak pagi. Sa'i duduk mencangkung di pematang sawah. Sesekali, bibir petani berusia 70 tahun ini mengepulkan asap rokok. Ia tampak murung. Bersama petani lain di Kampung Sukamulya, Desa Cilangkap, Kecamatan Babakan Cikao, Purwakarta, Jawa Barat, Sa'i tanpa daya menyaksikan sawahnya digenangi limbah hitam berbau menyengat.
Larutan jahanam itu mengalir dari areal pabrik PT Indo Bharat Rayon, perusahaan serat rayon yang pipa-pipanya harus melewati persawahan penduduk untuk dapat menggelontorkan limbahnya ke Sungai Citarum. Sa'i sudah merasakan dampaknya dua tahun terakhir ini.
Sawah garapan Sa'i yang cuma empat petak terus-menerus gagal panen. Dulu, sebelum sawahnya tersiram limbah, ia bisa memetik enam kuintal padi. "Kini bisa mendapat separuhnya saja sudah bagus," kata Sa'i.
Limbah yang biasa disebut air lindi itu punya "dosa" lain. Kulit para petani, yang sudah terkenal kebal terhadap lumpur bergelimang kotoran, tak mampu menahan gatal-gatal akibat terkucur limbah. Kulit kaki Sa'i menjadi gosong dengan rasa perih mencucuk.
Air limbah juga pelan-pelan membunuhi biota air di wilayah itu, mulai dari ikan hingga keong dan kijing. Kondisi ini bahkan belum beranjak membaik. Dalam dua minggu terakhir, limbah padat (sludge) yang berubah menjadi lumpur berair makin rajin menerjang sawah dan mengguyur Sungai Citarum.
Semestinya perusahaan PMA India itu membuang sludge ke tempat penampungan limbah bahan beracun berbahaya (B3) miliknya di Kampung Conggeang dan Kampung Narogtog. Tapi warga sudah menutup tempat penampungan yang berjarak 2 kilometer dari pabrik ini sejak 10 Februari lalu. Sekitar 250 kepala keluarga yang ada di dua kampung ini menutup bak raksasa pembuangan limbah (landfill) dengan cara memblokir jalan.
Aksi itu buntut dari meluapnya sludge di landfill akibat hujan deras yang mengguyur Purwakarta. Air limbah terjun bebas ke lahan pertanian, menebarkan aroma busuk, merusak lahan pertanian, dan menyebarkan penyakit kulit sebelum mengalir ke Sungai Cisedeng lalu turun lagi ke Sungai Citarum.
Penutupan tempat penampungan limbah itu membuat Indo Bharat kebingungan membuang limbah padat. Soalnya, pabrik tetap berjalan dan limbah selalu dikeluarkan. Bayangkan, pabrik ini mengeluarkan 4 hingga 14 ton limbah padat setiap harinya. Untuk memprosesnya ke Pusat Pemusnah Limbah Industri Cileungsi, Bogor, perusahaan yang berdiri sejak 1981 ini mesti merogoh kocek US$ 20 (sekitar Rp 180 ribu) tiap satu drum sludge yang banyak mengandung seng (Zn).
Menurut Asisten Deputi Penegakan Hukum Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup, Sudarsono, pihaknya mendapat laporan bahwa limbah padat itu kini ditampung di areal perusahaan dan laporan ini tengah diselidiki.
Lain lagi temuan Rakhmat Herlanto, Ketua Volunteer, sebuah lembaga swadaya masyarakat bidang lingkungan di Purwakarta. Menurut dia, Indo Bharat mengambil cara lancung dengan membuang limbah padat ke perairan.
Dari hasil penelisikannya, diketahui bahwa Indo Bharat memiliki dua saluran pembuangan limbah. Saluran pertama berasal dari saluran resmi yang keluar dari bak instalasi pengolah air limbah (IPAL). Saluran ini pun hanya sepanjang lima meter dari bak Ipal. Padahal, menurut aturan, semestinya berjarak 100 meter.
Saluran kedua berada persis di belakang bangunan tempat solidifikasi limbah B3. Pipa paralon berdiameter 34 sentimeter dengan panjang 30 meter ini keluar dari tembok pabrik, dikubur dengan tanah urukan sedalam tujuh meter. Ujungnya bermuara di sebuah anak sungai yang menuju rawa-rawa dan Sungai Citarum.
Saluran "siluman" itu, menurut Rakhmat, digunakan untuk membuang limbah yang semestinya melalui instalasi pengolah lebih dulu. Ketika TEMPO mengunjungi pabrik seminggu lalu, tak ada aliran limbah keluar dari saluran resmi. Tapi dari saluran "siluman" mengucur deras limbah hitam pekat berbau menyengat dan mengeluarkan uap panas.
Pihak Indo Bharat sendiri menolak semua tuduhan Volunteer. Menurut Manajer Pengembangan Sumber Daya Manusia, Hendra Iskandar, pihaknya tak pernah membuang limbah lewat saluran "siluman". "Volunteer cuma ngarang," katanya ketus. Ia kemudian menyebut bahwa perusahaannya senantiasa membuang limbah melalui saluran yang keluar dari bak IPAL. Sedangkan saluran "siluman" yang disebut Volunteer, menurut Hendra, tak lain dari saluran pembuangan air hujan.
Pembelaan itu bertabrakan dengan keterangan Kepala Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Kabupaten Purwakarta, Didin Syahidin, yang tengah menguji sampel limbah dari dua pipa pembuangan ini. Menurut Didin, berdasarkan temuan awal, sudah ada indikasi ke arah pembuangan sludge yang belum diolah. Bila ini terbukti, Indo Bharat bisa terjerat undang-undang lingkungan hidup.
Waktu dan kesungguhan yang akan membuktikannya.
Agus Hidayat, Nanang Sutisna (Purwakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo