Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Doa dan Kutukan bagi Si Pengembara

30 Desember 2001 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TIDAK terlalu banyak yang diperlukan Usamah bin Ladin untuk membuat musuh-musuhnya gentar: bukan kehadirannya, bukan pula barisan kapal perang atau pesawat pengebom supercanggih yang membelah langit seperti halilintar. Dia hanya memerlukan namanya. Sejumlah mitos. Dan rekornya sebagai teroris kelas wahid—sebuah julukan yang ditanamkan Amerika Serikat kepadanya sejak satu dasawarsa lalu. Setidaknya itu yang diperlihatkan Usamah dalam pertarungannya melawan Amerika selama 10 pekan belakangan. Mengambil lokasi perang di Afganistan, Usamah bin Ladin memaksa musuh-musuhnya menyuruki gua-gua di pegunungan untuk memastikan apakah tubuhnya masih bernyawa atau telah terserak dalam timbunan salju. Bagi Amerika, operasi pengejaran Usamah—tujuan awal AS berperang—adalah ironi yang menggiriskan. Setelah Kongres Amerika meneken anggaran US$ 40 miliar atau sekitar Rp 400 triliun untuk "biaya mengejar Usamah bin Ladin hidup atau mati," setelah ribuan nyawa penduduk sipil melayang, setelah ribuan tentara Amerika dari divisi paling elite dibantu pejuang Aliansi Utara mengubek-ubek Afganistan, mereka belum juga berhasil untuk sekadar merenggutkan ujung jubahnya. Ada yang bilang, ia lolos karena akses informasi tingkat tinggi. Ada yang berkata, ia selamat oleh doa orang yang mencintainya. "Mudah-mudahan Allah melindungi Usamah bin Ladin, sang Pengembara. Semoga dia terbang melintasi awan tanpa terlihat oleh musuh-musuhnya," Muhammad Salahuddin, 17 tahun, seorang santri di Akhora Khatak, Pakistan, mendoakannya. Jossef Bodansky, dalam bukunya Bin Laden: the Man Who Declared War on America, menulis bahwa buron nomor satu Amerika itu memang pahlawan bagi ribuan anak muda Pakistan dan Afganistan. Koran Islamabad Daily Dophar bahkan menulis dia telah meninggal karena kanker tapi entah di mana. Dengan satu kata, tak ada yang tahu pasti keberadaannya. Satu pertanyaan: mengapa setiap orang yang berhubungan dengannya seperti terseret oleh hanya dua arus perasaan cinta dan benci? Pemujaan dan kutukan? Lahir di Riyadh, Arab Saudi, pada 1957, ia tercatat sebagai anak ketujuh dari 50 bersaudara. Ternama dan kaya raya, pada usia 40-an tahun ia justru memilih hidup bersama keempat istri dan anak-anaknya di tenda-tenda dan gua-gua Afganistan. Afganistan memang memikat hati Usamah: "Satu hari berada di Afganistan sama nilainya dengan seribu hari mendaraskan doa di masjid-masjid," ujarnya. Miliuner Arab ini dikenal sebagai Ketua Al-Qaidah, organisasi Islam militan. Ikut bergabung dengan para mujahidin melawan invasi Uni Soviet pada 1980-an, Usamah membangun "basis militer"-nya di Provinsi Nangarhar pada 1996—antara lain Tora Bora. Di Nangarhar pula ia pernah menerima wartawan Independent Robert Fisk. Kepada Fisk ia mengaku membenci AS karena negara adikuasa itu menjadikan Arab Saudi sebagai koloni Amerika. Ia juga mencatat dosa-dosa AS di Palestina, di Irak, di Afrika. Dosa-dosa itu harus "diingatkan kepada AS." Maka meledaklah sejumlah bom yang menghancurkan Kedutaan Besar AS di Kenya, Nairobi, dan Dar es-Salaam, Tanzania, pada 1998. Ada 250 nyawa melayang dan 5.500 orang luka-luka. "Saya tidak menyatakan perang terhadap Barat atau orang Barat. Ini perang terhadap rezim Amerika yang zalim kepada umat muslim," ia menjawab tatkala dunia menudingnya sebagai dalang peristiwa itu. Tapi tragedi Afrika rupanya tak "seberapa" dibandingkan dengan peristiwa 11 September yang melenyapkan lebih dari 5.000 nyawa warga AS itu—ia juga dituding sebagai otaknya. Orang boleh jadi teringat pada pidato Direktur Badan Intelijen Amerika George Tennet pada 2 Februari 1999: "Usamah bin Ladin dan kaki tangannya tengah merencanakan teror besar kepada AS." Peristiwa 11 September melejitkan nilai kepala Usamah dari US$ 5 juta menjadi US$ 25 juta. Dan tanpa hasil. Jossef Bodansky menuliskan analisisnya, "Untuk memahami Bin Ladin, orang harus menyelami dunianya—dunia seorang dalang besar, pemain sejati dalam bidang terorisme." Bodansky juga melukiskan, Usamah bisa menjentikkan nyawa manusia di ujung jari karena yakin perbuatannya itu demi membela Islam dan Allah—sebuah keyakinan yang tak kunjung bisa dipatahkan oleh AS walaupun mereka sukses meruntuhkan rezim Taliban. Di atas kapal induk Theodore Roosevelt, Jenderal Franks berpidato di hadapan ribuan tentara AS yang "libur perang" pada 25 Desember lalu, "Kita akan menemukan orang ini." Dari buritan kapal, suara John Lennon dan Yoko Ono menjeritkan The War is Over (Happy Christmas) mengiringi matahari yang tenggelam di horizon Teluk Arabia. Perang boleh jadi berakhir. Tapi di manakah Usamah bin Ladin? Hermien Y. Kleden

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum