Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Dua pekan belakangan, Desa Panmunjom di perbatasan Korea Utara-Korea Selatan menjadi sibuk luar biasa. Dibanding hari-hari sebelumnya, patroli tentara Korea Selatan meningkat berlipat kali di sekitar zona demiliterisasi itu. Kegiatan pihak Utara tampak di Kaesong, sepuluh kilometer di sebelah timur Panmunjom. Di sanalah tentara Korea Utara mendirikan tenda-tenda.
Dua Korea di ambang perang? Ketakutan itu meruyak di tengah kian tegangnya hubungan dua negara ini. Dua pekan belakangan, Pyongyang terus mempergencar ancaman dan tekanannya kepada sang tetangga. Dari pernyataan Pyongyang yang mementahkan seluruh perjanjian damai dan rencana pelucutan reaktor pembuat plutonium yang diteken pada 2007, hingga ancaman untuk menggencarkan aksi militer di wilayah perbatasan.
”Semua poin perjanjian yang mengacu pada upaya untuk mengakhiri konfrontasi militer dan politik antara Korea Utara dan Selatan akan dinulifikasi,” demikian pengumuman yang dibuat Komite Reunifikasi Damai Korea di Pyongyang.
Pyongyang tidak main-main dengan ancamannya. Pertengahan pekan lalu, pemerintah Korea Utara mengumumkan persiapan peluncuran roket yang mengangkut satelit komunikasi. Kantor berita resmi pemerintah Korea Utara, Korean Central News Agency, menyebutkan roket Unha-2—yang bertugas mengorbitkan satelit komunikasi Kwangmyongsong—akan diluncurkan.
”Jika peluncuran satelit ini sukses, teknologi luar angkasa kami akan selangkah lebih maju dan dapat memperkuat ekonomi negara,” demikian pernyataan kantor berita itu.
Tidak ada informasi resmi kapan roket itu akan diluncurkan, tapi para tetangga Pyongyang, terutama Seoul, khawatir itu hanya ancang-ancang Pyongyang untuk menggelar uji coba nuklir yang lebih besar. Tatkala meluncurkan misil Taepodong-1 pada 1998, Pyongyang juga menyebutkan tengah meluncurkan satelit ke orbit. Pada Juli 2006, Pyongyang menguji coba misil jarak jauh Taepodong-2 dari lokasi peluncuran di Musudan, tapi jatuh ke laut sesaat setelah diluncurkan.
Taepodong bak monster yang menakutkan. Daya jelajah misil tiga tingkat ini mencapai 4.000 kilometer dengan kecepatan tempuh 7.900-9.000 ICBM. Satu skala ICBM setara dengan 5.500 kilometer. Dengan kecepatan dan kekuatan seperti itu, tidak aneh jika Amerika ikut ketar-ketir. Alaska bisa saja jadi sasaran.
Tidak cukup menggertak dengan misil, Pyongyang juga mengumumkan telah mengangkat Jenderal O Kuk-ryol sebagai Wakil Ketua Komisi Pertahanan Nasional. Ini lembaga digdaya yang berkuasa mengatur strategi militer Korea Utara. Jenderal bintang empat berusia 78 tahun ini adalah konco akrab penguasa Korea Utara, Kim Jong-il. Jenderal Kuk-ryol dikenal sebagai tentara garis keras.
Pengangkatan jenderal garis keras ini dipandang sebagai pendongkrak daya tawar Pyongyang di hadapan Seoul dan pemerintah baru Amerika Serikat. Dua pekan lalu, dalam kunjungannya ke Seoul, Menteri Luar Negeri Amerika Hillary Clinton menyebutkan sikap keras kepala Pyongyang hanya akan membuat pembicaraan enam pihak sia-sia. Pembicaraan enam pihak—yang melibatkan Korea Utara, Korea Selatan, Cina, Jepang, Rusia, dan Amerika—bertujuan mencari kesepakatan dan penyelesaian senjata nuklir Korea. Dimulai pada 2003, pembicaraan ini tidak jelas ujungnya karena Korea Utara terus menunjukkan taktik tarik-ulur.
Sikap Pyongyang yang ngotot itu meresahkan Seoul. Dalam pernyataan resmi Kementerian Reunifikasi Korea yang dikeluarkan pekan lalu, Seoul menyebutkan sikap Pyongyang itu kontraproduktif dan bisa menghancurkan bangunan perdamaian yang sedang ditegakkan.
Tapi Pyongyang punya alasan sendiri mengapa mereka bersikap demikian. Pejabat militer Pyongyang menyebutkan sikap Presiden Korea Selatan Lee Myung-bak yang keras—dibandingkan dengan para pendahulunya—menjadi pemicu. Sementara presiden-presiden Korea Selatan sebelumnya memperlihatkan sikap bersahabat dengan mencairkan bantuan pangan atau membuka jalur kereta api ke dan dari Stasiun Dorasan di Demilitary Zone, Presiden Lee justru menekan Korea Utara. Dalam sebuah kesempatan, Lee juga pernah mengancam akan menarik semua bantuan bila Pyongyang terus menggenjot uji coba nuklirnya.
Api permusuhan dengan Lee terus berkobar. Pertengahan tahun lalu, ketika Lee mengulurkan tawaran untuk bertemu langsung, Pyongyang serta-merta menolaknya. Selain itu, Pyongyang mengusir keluar ratusan warga Korea Selatan yang bekerja di wilayah industri gabungan di Kaesong.
Saling ngotot di antara dua jiran ini membuat dunia khawatir perang akan pecah lagi di Semenanjung Korea. Dua negara serumpun ini pernah terlibat perang pada 1950-an. Perserikatan Bangsa-Bangsa kemudian mempertemukan keduanya di Panmunjom pada 1951 untuk pembicaraan damai. Perundingan selama dua tahun itu menghasilkan sejumlah poin penting soal tawanan perang dan gencatan senjata. Perjanjian itu juga membelah dua wilayah ini menjadi dua negara terpisah. Korea Selatan kemudian membangun zona demiliterisasi sejauh empat kilometer di perbatasan Korea.
Sejak itu, konflik kecil-kecilan meletup di antara keduanya. Tapi, pada awal 2000-an, gagasan reunifikasi yang diluncurkan Korea Selatan membuat hubungan keduanya mesra kembali. Ratusan keluarga yang terpisah jarak kembali berkumpul berkat kebijakan reunifikasi ini. Sebuah jembatan di luar wilayah demiliterisasi juga dibangun. Jembatan itu menghubungkan Korea Selatan dan Utara. Sebuah jalur kereta yang melayani kota-kota di perbatasan kedua negara juga dibangun pada pertengahan 2000-an. Bahkan pemimpin kedua negara berjalan bersama melintasi jembatan reunifikasi itu. Jika ketegangan di antara keduanya terus berlangsung, mimpi reunifikasi yang dibangun bertahun-tahun dan proses damai yang langgeng di Korea kembali hanya tinggal mimpi.
Angela Dewi (AFP, AP, BBC, Chosunilbo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo