Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hukum

<font size=2 color=#CC0000>Korupsi</font><br />Pikun yang Membebaskan

Pertama kalinya Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghentikan proses persidangan kasus korupsi lantaran tersangkanya mengalami kelupaan berat alias pikun.

2 Maret 2009 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Selasa pekan lalu, pukul 14.05, pesawat Garuda 430 yang ditumpangi bekas peja­bat itu mendarat di Bandara Selaparang. Ya, sore yang cerah di Mataram untuk menyambut sosok yang baru saja dibebaskan dari pemeriksaan pengadilan di Jakarta.

Tapi hati puluhan penyambut, teman dekat dan keluarga, rupanya tak secerah itu. Menuruni tangga pesawat, tubuh bekas Bupati Lombok Barat, Nusa Tenggara Barat, itu harus dipa­pah oleh dua orang lelaki. Tokoh yang dikenal sebagai H. Iskandar itu tak berdaya manakala mereka mendudukkannya di kursi roda.

Kamis dua pekan lalu, majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi menghentikan sidang H. Iskandar. Lelaki ini adalah tersangka korupsi dalam kasus tukar guling aset Pemerintah Kabupaten Lombok Barat yang merugikan negara Rp 36,8 miliar. Sejak Oktober tahun lalu ia dinonaktifkan dari jabatannya. Menurut Gusrizal, ketua majelis hakim sidang pengadilan itu, sidang dihentikan lantaran kesehatan Iskandar memburuk. Dan inilah pertama kalinya pengadilan itu menghentikan kasus yang sedang disidangkan.

Iskandar pertama kali disidangkan pada 22 September 2008. Namun kesehatan lelaki 68 tahun itu terus menurun. Dalam satu persidangan, misalnya, dia pernah mengompol dan mau membuka celana. ”Keterangan saksi yang memberatkan justru dikatakannya benar,” tutur Gusrizal.

Menurut Zaenal Ayudin, ajudan yang ikut serta bosnya ke Jakarta, sebulan setelah masuk tahanan, Iskandar mengalami stres dan depresi. Satu per satu penyakitnya kambuh. Begitu diketahui sakit, Iskandar yang hobi me­ngkoleksi cincin permata dan batu akik ini dibantarkan dari ruang tahanan Badan Re­serse Kriminal Markas Besar Kepolisian RI ke Rumah Sakit Polisi Kramat Jati. Dari laporan dokter, penggemar makanan enak ini menderi­ta komplikasi diabetes, darah tinggi, kolesterol tinggi, gangguan ginjal, jantung, empedu, dan prostat. Iskandar juga pernah terserang stroke yang berakibat pada penyusutan otak dan ber­ujung pada kepikunan.

Laporan dokter itu, menurut Gusrizal, tidak begitu saja diterima majelis hakim. ”Kami butuh pembanding,” ucapnya. Iskandar lantas dikirim ke Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo untuk diobservasi kembali oleh dokter spesialis penyakit dalam, Arya Govinda, dan dokter spesialis jiwa, Charles Evert Damping.

Kepada Tempo, Arya menuturkan bahwa Iskandar memiliki faktor risiko stroke teramat besar lantaran aneka penyakit yang diidapnya. Melihat fisiknya, kata dia, Iskandar men­derita cividi stroke, yakni penyumbatan pembuluh darah di otak yang mengakibatkan sel-sel di otaknya mati karena kekurangan oksigen.

Charles juga membenarkan. Menurut dia, dari hasil pemindaian kepala Iskandar, diketahui telah terjadi penyusutan otak yang diikuti infal—daerah yang mati di otak. Penyusutan otak merupakan salah satu penyebab orang menjadi mendadak pikun. Kelupaan yang dialami Iskandar itu bukan dipicu oleh faktor traumatik (amnesia) tapi Iskandar lupa segalanya (dimensia). ”Banyak sekali lupanya.”

Iskandar lupa nama bahkan tak me­ngenali istri-istrinya. Bupati dua kali masa jabatan ini memiliki tiga istri dari empat kali perkawinan, yakni Rawiyah, Marniati, dan Azizah. Ketika salah satu istrinya datang menjenguk, dia minta di­kenalkan. Dia juga tak ingat nama anak-anaknya kecuali jumlahnya, ”Banyak,” kata Charles menirukan Iskandar.

Ketika disinggung soal korupsi di pemerintahan, tutur Charles, dengan tegas Iskandar berkata, ”Wah, saya paling benci sama korupsi, kalau ada anak buah saya.... Kalau saya tahu korupsi, saya tempeleng.” Dia tak ingat akan kasus dan statusnya sebagai tersangka koruptor. Tapi dia tak lupa dirinya bupati. Itu sebabnya, kata Charles, dia tidak terganggu dengan polisi atau pegawai Komisi Pemberantasan yang selalu menguntitnya.

Dari hasil pemeriksaan itu, Charles mendiagnosis pasiennya, ”Lebih ke arah dimensia dibandingkan amnesia disasosiatif.”

Menurut Isnanto Karyawan, putra ketiga Iskandar dari istri pertama, kesehatan dan daya ingat ayahnya tidak mendadak drop. Sebelum diperiksa dan ditahan Komisi Pemberantasan, kata dia, ”Bapak sudah sakit lama.”

Arya dan Charles sama-sama yakin, dimensia Iskandar tidak bisa disembuhkan. ”Justru akan turun terus secara progresif, apalagi kalau obatnya tidak diminum,” kata Arya.

Pendapat kedua dokter yang juga telah disampaikan dalam persidangan 12 Februari lalu itu menjadi pertimbangan hakim untuk memutuskan tidak melanjutkan persidangan. ”Kami memutuskan, penuntutan tidak bisa diterima, mengembalikan berkas perkara, mencabut pembantaran karena terdakwa ditahan, dan mengeluarkan terdakwa dari tahanan,” papar Gusrizal.

Iskandar disidangkan atas dugaan korupsi dalam tukar guling aset Pemerintah Kabupaten Lombok Barat—berupa tanah dan bangunan eks kantor Bupati Lombok Barat—dengan 13 bangunan kantor baru di Jalan Sriwijaya, Mataram, pada 2005. Dalam proyek ini, Direktur Utama PT Varindo Lombok Inti Izzat Hussein mengajukan proposal tukar guling aset senilai Rp 32,9 miliar. Menurut Izzat di persidangan, angka itu diajukan atas perintah Iskandar.

Komisi Pemberantasan menilai, har­ga tukar guling itu terlalu murah karena harga tanah dan bangunan yang dipertukarkan mencapai Rp 55,7 miliar. Komisi lantas menghitung negara dirugikan Rp 36,8 miliar untuk keuntungan PT Varindo sebanyak Rp 35 miliar dan Rp 1,8 miliar tunai untuk sang Bupati.

Pengadilan Tindak Pidana Korupsi telah menjatuhkan hukuman kepada Izzat empat tahun penjara dan wajib membayar denda Rp 200 juta serta uang pengganti Rp 13,8 miliar. Adapun Iskandar didakwa melanggar Pasal 2 Ayat 1 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dengan ancaman maksimal 20 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar.

Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, persidangan tak dapat dilakukan apabila terdakwa sakit. Tapi, dalam kasus korupsi, Za­inal Ari­fin Mochtar menegaskan, kerugian negara tidak boleh dibiarkan. ”Korupsinya kan sudah terjadi, cuma tidak mampu lagi dipertanggungjawabkan,” ujar Direktur Pusat Kajian Anti-Korupsi Universitas Gadjah Mada ini. Artinya, pengembalian kerugian akibat korupsi itu, ”Harus terus dikejar.”

Gusrizal menegaskan berkas perkara dikembalikan tidak berarti Iskandar bebas. Sebab, majelis hakim belum memutus pokok perkara. Dikembalikan itu pun, menurut dia, dengan pe­rintah. ”Kalau nanti terdakwa sembuh, dia bisa diajukan kembali.”

Dalam kasus Iskandar, menurut Zaenal, gugatan perdata bisa diupayakan agar duit negara kembali. Yang patut dipegang aparat hukum adalah bahwa dalam menangani kasus korupsi bukan cuma pelaku utama yang harus disasar. Pihak-pihak yang ikut membantu, menyediakan, membiarkan harus ada pertanggungjawabannya. ”Prinsipnya, dibongkar sampai ke akar-akarnya.”

Anne L. Handayani, Iqbal Muhtarom, Supriyanto Khafid (Mataram)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus