Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIA muncul dari sebuah lorong ruang tahanan penjara Pondok Bambu, Jakarta Timur. Mengenakan rompi tahanan bernomor E-58—menunjukkan nama blok dan selnya—perempuan itu, Jat Lie Chandra alias Cece, mengaku sedang stres. Wajahnya muram. Rambutnya yang agak kemerahan diikat ala kadarnya dengan sepotong gelang rambut merah muda. ”Monas itu jahat. Cuma kita tidak bisa membuktikannya karena tidak punya bukti,” kata perempuan 42 tahun itu, menyebut nama suaminya, Rabu dua pekan lalu. Menurut Cece, suaminya itu juga kenal dengan sejumlah orang penting di Badan Narkotika.
Cece ditangkap aparat pada 26 November 2007 di rumah penyanyi rock Ahmad Albar. Penangkapan perempuan kelahiran Jakarta ini merupakan pengembangan penggerebekan polisi terhadap jaringan narkoba Malaysia di apartemen Mediterania dan apartemen Mal Taman Anggrek, Jakarta Barat. Cece dianggap sebagai salah satu orang terpenting jaringan barang haram ini. Barang bukti yang didakwakan ke ibu dua anak itu, kepemilikan sekitar 500 ribu pil ekstasi yang ditemukan di Taman Anggrek. Jumlah barang bukti yang mencengangkan inilah yang membuat media massa menjulukinya ”Ratu Ekstasi Taman Anggrek”. ”Berkasnya lewat meja saya. Perbuatan seperti ini memang dituntut hukuman mati,” kata Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum, Abdul Hakim Ritonga, kepada Tempo, Rabu pekan lalu.
Pada 18 September 2008 Pengadilan Negeri Jakarta Barat memvonis Cece hukuman mati. Saat vonis itu dijatuhkan, Cece langsung berteriak histeris. Menurut hakim, peran Cece dalam kejahatan narkoba ini adalah koordinator lapangan, yang mengatur pengiriman ekstasi melalui telepon. Adapun Monas alias Lim Piek Kiong, sang suami, menjadi pengendali peredaran ekstasi di lapangan. Tiga bulan kemudian Pengadilan Tinggi Jakarta menguatkan putusan pengadilan negeri tersebut.
Cece menuding ia dikorbankan dalam kasus ini. Pada mulanya, ujarnya, polisi memintanya jadi saksi, belakangan ia jadi tersangka. ”Polisi minta saya menandatangani berita acara, katanya ini jadi saksi saja,” ujarnya.
Monas juga berjanji akan menyelamatkan nasibnya. Karena itu pula, ia tidak keberatan saat Monas meminta persetujuannya menjual apartemen dan rumah mereka berdua di Sunter, Jakarta Utara. ”Katanya uang itu untuk mengurus proses hukum kami berdua,” ujar Cece. Namun uang itu tak pernah mampir ke tangan Cece. Bahkan Monas kemudian menghilang, tak pernah menjenguknya.
Lelaki yang menikahinya empat tahun silam itu juga tak menggubris nasib dua anak lelaki mereka yang kini berumur 5 dan 2 tahun. Kedua anaknya itu kini diasuh adiknya. ”Mereka tahunya saya sedang bekerja,” ujar Cece.
Dihubungi pekan lalu, Daniel Panjaitan, pengacara Cece, menyatakan pihaknya kini tengah menunggu putusan kasasi dari Mahkamah Agung. Menurut Daniel, tak ada barang bukti yang diperoleh polisi saat menangkap Cece. ”Ia dituduh mengatur pengiriman ekstasi lewat telepon, tapi di pengadilan soal ini sama sekali tak pernah disinggung,” ujar Daniel.
Semua nyanyian Cece ini memang tak ada gunanya lagi. Monas sudah bebas dan sekarang entah ke mana. Yang tersisa kini, antara lain, nasib getir sejumlah polisi yang dinilai tidak tuntas mengusut kasus ini, dan harus berhadapan dengan Divisi Profesi dan Pengamanan Markas Besar Kepolisian RI. ”Kenapa keterlibatan suaminya dulu tidak ia ungkap saat kami memeriksanya? Kenapa baru sekarang?” kata Indradi Thanos, mantan Direktur Narkoba dan Kejahatan Terorganisasi, yang dulu memegang kasus ini, dan sekarang ”diparkir” sebagai perwira tinggi di Markas Besar Polri.
L.R. Baskoro dan Agung Sedayu
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo