AWAN tebal menutupi Khuzastan propinsi yang kaya minyak di Iran.
Di sana sedang berlangsung pertumpahan darah antara kaum
minoritas Arab dengan pasukan Pengawal Revolusi Iran.
Orang Arab yang berjumlah dua juta -- mayoritas di Propinsi
Khuzastan -- sejak masa pemerintahan Shah mendesak agar diberi
otonomi. Shah bukan cuma menindas dengan memenjarakan sejumlah
pemimpin mereka, melainkan suatu politik diskriminasi
dijalankan terdapat kaum minoritas itu. Tatkala Khomeini angkat
senjata menggulingkan shah, minoritas Arab itu pun ikut
berjuang.
Kini ternyata Khomeini meneruskan kebijaksanaan Shah. Dan orang
Arab itu bukan cuma meminta otonomi dan penghapusan diskriminasi
dalam mendapatkan pekerjaan. Mereka sekarang bahkan juga meminta
pembagian yang adil dari hasil tambang minyak.
Abadan merupakan kota penyulingan minyak yang terpenting di
Iran. Kota itu terletak di Propinsi Khuzastan yang kebetulan
berbatasan dengan Irak. Perjuangan bersenjata kaum minoritas
Arab melawan pasukan Pengawal Revolusi pun melanda Abadan.
Huru-hara yang bermula pertengahan pekan silam kabarnya telah
menelan korban sekitar seratus jiwa. Yang luka-luka lebih banyak
lagi.
Laksamana Ahmad Madani, Panglima Angkatan Laut Iran dan
Gubernur Militer Khuzastan, bersikap keras terhadap tuntutan
kaum minoritas itu. "Mereka itu kaum komunis yang dibantu oleh
bekas agen Shah," kata Madani.
Di Teheran tersiar kabar tentang adanya bantuan Irak terhadap
kaum minoritas itu. Bahkan meluas kabar tentang siap-siaga
pasukan Irak di perbatasan kedua negara. Irak membantah kabar
itu. Tapi ketegangan antara kedua negara nampaknya tidak mudah
disembunyikan sekarang.
Ketika masalah minoritas Arab itu meledak, di Teheran juga
berlangsung suatu pergolakan politik penting. Pada mulanya koran
Ayandaghan melancarkan kritik terhadap pemerintahan Khomeini.
Kritik itu ditanggapi pemimpin Islam Iran itu dengan berang.
"Pemberitaan koran itu tidak sesuai dengan cita-cita Islam,"
katanya. Koran itu lalu ditutup.
Para wartawan suratkabar besar lainnya, Kayhan, bersepakat
menyiarkan kembali pada koran mereka berita Ayandaghan yang
ditutup itu. Tapi para pekerja di percetakan yang mencetak
Kayhan melakukan aksi boikot. Maka terjadilah kekacauan. Para
pekerja percetakan nampaknya memang kuat, mendapat dukungan
pasukan Pengawal Revolusi. Posisi mereka kuat, sedang pemilik
percetakan dan penerbit Kayhan sudah melarikan diri keluar Iran
sebelum Shah terguling.
Tindakan keras Khomeini dan pengikutnya itu ternyata tidak
mengurangi keberanian kaum cendekiawan dalam melancarkan kritik
mereka. Di bawah pimpinan cucu bekas Perdana Menteri Mosadeq,
misalnya, Front Demokrasi Nasional Iran menyebut Khomeini telah
melanggar janjinya sendiri yang diumumkannya sebelum kembali ke
Iran.
Lebih berani lagi adalah Hassan Nazih, Direktur Perusahaan
Minyak Nasional Iran. Dalam sebuah ceramahnya akhir pekan silam,
Nazih -- yang juga ketua persatuan pengacara Iran -- berkata:
"Kalau kita berfikir bahwa kita bisa membereskan semua masalah
politik, ekonomi dan peradilan secara Islam, maka bahkan para
pemimpin Islam kita pun menyadari bahwa hal itu tidak mungkin
dan tidak menguntungkan pada saat sekarang ini."
Semua anggota Direksi Perusahaan Minyak Nasional Iran, termasuk
Nazih, rupanya sudah jengkel. Mereka mengundurkan diri, dengan
alasan tidak mungkin bisa bekerja lagi.
Kurang jelas reaksi Khomeini. Tapi pasukan pengawal Revolusi
serta kepolisian dikabarkan memperketat penjagaan terhadap para
pemimpin Islam di Teheran dan kota lainnya. Ini tentu ada
hubungannya dengan usaha pembunuhan terhadap beberapa pembantu
Khomeini. Tapi dari tempat peristirahatannya, pekan silam
Khomeini akhirnya setuju dengan desakan Perdana Menteri Bazargan
untuk menghentikan sementara pengadilan revolusi setelah
menghukum mati 252 orang sejak pertengahan Pebruari yang lalu.
"Banyak sudah hakim yang menyalah-gunakan kedudukannya," sebuah
sumber di kalangan Khomeini mengakui.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini