Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Dulu Shah, Kini Khomeini

Pemberontakan kaum minoritas arab berlangsung dipropinsi Khuzastan. Mereka minta otonomi & penghapusan diskriminasi mendapatkan pekerjaan. Laksamana Ahmad Madari & gub. Militer menolak tuntutan tersebut.(ln)

9 Juni 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

AWAN tebal menutupi Khuzastan propinsi yang kaya minyak di Iran. Di sana sedang berlangsung pertumpahan darah antara kaum minoritas Arab dengan pasukan Pengawal Revolusi Iran. Orang Arab yang berjumlah dua juta -- mayoritas di Propinsi Khuzastan -- sejak masa pemerintahan Shah mendesak agar diberi otonomi. Shah bukan cuma menindas dengan memenjarakan sejumlah pemimpin mereka, melainkan suatu politik diskriminasi dijalankan terdapat kaum minoritas itu. Tatkala Khomeini angkat senjata menggulingkan shah, minoritas Arab itu pun ikut berjuang. Kini ternyata Khomeini meneruskan kebijaksanaan Shah. Dan orang Arab itu bukan cuma meminta otonomi dan penghapusan diskriminasi dalam mendapatkan pekerjaan. Mereka sekarang bahkan juga meminta pembagian yang adil dari hasil tambang minyak. Abadan merupakan kota penyulingan minyak yang terpenting di Iran. Kota itu terletak di Propinsi Khuzastan yang kebetulan berbatasan dengan Irak. Perjuangan bersenjata kaum minoritas Arab melawan pasukan Pengawal Revolusi pun melanda Abadan. Huru-hara yang bermula pertengahan pekan silam kabarnya telah menelan korban sekitar seratus jiwa. Yang luka-luka lebih banyak lagi. Laksamana Ahmad Madani, Panglima Angkatan Laut Iran dan Gubernur Militer Khuzastan, bersikap keras terhadap tuntutan kaum minoritas itu. "Mereka itu kaum komunis yang dibantu oleh bekas agen Shah," kata Madani. Di Teheran tersiar kabar tentang adanya bantuan Irak terhadap kaum minoritas itu. Bahkan meluas kabar tentang siap-siaga pasukan Irak di perbatasan kedua negara. Irak membantah kabar itu. Tapi ketegangan antara kedua negara nampaknya tidak mudah disembunyikan sekarang. Ketika masalah minoritas Arab itu meledak, di Teheran juga berlangsung suatu pergolakan politik penting. Pada mulanya koran Ayandaghan melancarkan kritik terhadap pemerintahan Khomeini. Kritik itu ditanggapi pemimpin Islam Iran itu dengan berang. "Pemberitaan koran itu tidak sesuai dengan cita-cita Islam," katanya. Koran itu lalu ditutup. Para wartawan suratkabar besar lainnya, Kayhan, bersepakat menyiarkan kembali pada koran mereka berita Ayandaghan yang ditutup itu. Tapi para pekerja di percetakan yang mencetak Kayhan melakukan aksi boikot. Maka terjadilah kekacauan. Para pekerja percetakan nampaknya memang kuat, mendapat dukungan pasukan Pengawal Revolusi. Posisi mereka kuat, sedang pemilik percetakan dan penerbit Kayhan sudah melarikan diri keluar Iran sebelum Shah terguling. Tindakan keras Khomeini dan pengikutnya itu ternyata tidak mengurangi keberanian kaum cendekiawan dalam melancarkan kritik mereka. Di bawah pimpinan cucu bekas Perdana Menteri Mosadeq, misalnya, Front Demokrasi Nasional Iran menyebut Khomeini telah melanggar janjinya sendiri yang diumumkannya sebelum kembali ke Iran. Lebih berani lagi adalah Hassan Nazih, Direktur Perusahaan Minyak Nasional Iran. Dalam sebuah ceramahnya akhir pekan silam, Nazih -- yang juga ketua persatuan pengacara Iran -- berkata: "Kalau kita berfikir bahwa kita bisa membereskan semua masalah politik, ekonomi dan peradilan secara Islam, maka bahkan para pemimpin Islam kita pun menyadari bahwa hal itu tidak mungkin dan tidak menguntungkan pada saat sekarang ini." Semua anggota Direksi Perusahaan Minyak Nasional Iran, termasuk Nazih, rupanya sudah jengkel. Mereka mengundurkan diri, dengan alasan tidak mungkin bisa bekerja lagi. Kurang jelas reaksi Khomeini. Tapi pasukan pengawal Revolusi serta kepolisian dikabarkan memperketat penjagaan terhadap para pemimpin Islam di Teheran dan kota lainnya. Ini tentu ada hubungannya dengan usaha pembunuhan terhadap beberapa pembantu Khomeini. Tapi dari tempat peristirahatannya, pekan silam Khomeini akhirnya setuju dengan desakan Perdana Menteri Bazargan untuk menghentikan sementara pengadilan revolusi setelah menghukum mati 252 orang sejak pertengahan Pebruari yang lalu. "Banyak sudah hakim yang menyalah-gunakan kedudukannya," sebuah sumber di kalangan Khomeini mengakui.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus