DIBUKA Wapres Adam Malik, muktamar NU ke 26 di GOR yang resminya
mengundang 26 wilayah dan 350 caban itu -- masing-masing 4
peserta dan 2 peninjau -- nyatanya luber. Panitia daerah
mempersiapkan 40 hotel kelas menengah. Kalau massa masih terus
berdatangan, kata Karmani, Ketua Pelaksana Daerah, "terpaksa
ditampung di madrasah, pondok dan rumah-rumah warga NU."
Tinggal NU memang, satu-satunya parpol yang masih berakar. Ijin
muktamar yang akhirnya lancar turun, sebelumnya sempat hampir
tersendat. Seperti parpol lain, sejak fusi 1973, NU kembali
menjadi organisasi sosial, sedang aspirasi politiknya disalurkan
lewat PPP. Hal itu diputuskan 2 tahun sebelumnya, dalam muktamar
ke 25 di Surabaya. Lahir 11 Juni 1926, NU yang pernah menjadi
"anggota istimewa" partai Masyumi kemudian keluar, secara resmi
jadi parpol sejak 1952 dalam Muktamar ke 20 di Palembang.
Sejak itu terjadi semacam pergeseran peranan dari Syuriah ke
Tanfdziah yang dua-duanya merupakan bagian dari PB NU. Peranan
Syuriah -- dewan pembina, terdiri dari para ulama terkemuka --
praktis digantikan oleh Tanfidziah atau eksekutif. Mengapa?
Menurut Jusuf Hasjim, "itu kecenderungan politik di mana-mana,
eksekutif selalu lebih dekat dengan kekuasaan."
Regenerasi
Itu tak berarti di zaman NU sebagai parpol, Syuriah mandul.
"Dalam hal-hal tertentu, terutama yang menyangkut hukum agama,
Syuriah masih campurtangan. Misalnya dalam pembicaraan tentang
RUU Perkawinan dulu," kata Jusuf Hasjim, salah seorang Ketua PB
NU. Sekarang, dalam muktamar kali ini, peranan Syuriah akan
dipulihkan, "bukan hanya secara teoritis tapi juga operasionil
dengan rumusan redaksionil yang lebih nyata," kata H.A. Sjaichu,
juga salah seorang ketua PB NU.
Meski menurut Imam Sofwan, muktamar kali ini "tidak ada yang
ramai dari segi politik", setidaknya ada hal yang menarik.
Seminggu sebelum muktamar, Pelita, menyiarkan amanat Ketua Umum
PB NU Idham Chalid depan muker NU Jawa Barat. "Saya jangan lagi
dipilih dalam muktamar di Semarang," kata Idham. Benarkah? "No
comment," jawab Idham Jumat siang pekan lalu di teras gedung
Dewan Pertimbangan Agung. Idham sudah 23 tahun sebagai Ketua
Umum PB NU.
Setiap Jumat pulang jam 11, siang itu Idham yang kini jadi Ketua
DPA, amat terlambat. Rupanya sedang berbincang dengan Jusuf
Hasjim di kamar kerjanya. "Ternyata pak Idham tidak mengatakan
begitu. Pak Idham hanya mengharap agar muktamar jangan
dijadikan arena kampanye. Mengenai pribadinya, katanya, kalau
saya terpilih lagi alhamdulillah, kalau tidak ya tidak apa,"
tutur Jusuf mengutip Idham.
Juga ada yang baru di bidang organisasi. Misalnya peningkatan
peranan para Wakil Sekjen. Juga adanya Wakil Ketua Umum yang
sebelumnya tidak dikenal. Selain agar sesuai dengan struktur
syuriah, seperti kata Sekretaris Panitia Muktamar M. Zamroni,
tampaknya lebih tepat alasan Imam Sofwan: "Agar ketua umum lebih
berperan. Tugasnya kan banyak, dus harus didampingi yang muda.
Katakanlah ada kaitannya dengan regenerasi." Suatu hal yang
jarang terjadi dalam tubuh pimpinan NU.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini