Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Pengumuman besar pada selembar kertas putih itu terpampang di depan kampus Columbia College di Chicago, Illinois. Isinya, kelas-kelas akan ditiadakan setelah pukul tiga sore. Dan kampus tutup pada pukul enam petang, Selasa, 4 November.
Loop, sebutan warga Chicago untuk kawasan pusat kota, juga akan ringkas-ringkas lebih cepat. ”Kantor-kantor dan pusat bisnis tutup pada pukul tiga sore, pegawai akan pulang lebih cepat,” kata Jennifer Martinez, juru bicara Jawatan Komunikasi dan Manajemen Darurat Chicago.
Nun di taman kota Grand Park, pekerja mulai memasang lampu-lampu tambahan. Kerlipnya berpendar ke penjuru taman yang dibangun pada 1844 itu. ”Kami hendak berpesta,” kata Wali Kota Chicago Richard Dale pada akhir pekan lalu. ”Siapa pun boleh datang dan larut dalam kemeriahan.”
Hawa perhelatan mulai menghangatkan udara Chicago yang dingin. Inilah kota kediaman Barack Obama. Dan Chicago memang layak berpesta. Jajak pendapat terakhir menunjukkan Obama masih unggul lima hingga delapan poin ketimbang McCain, dengan perbandingan 51 : 43 persen, dengan selisih kesalahan kira-kira tiga poin. Dukungan bagi Obama kian meluas di wilayah yang menjadi basis kekuatan Republik. Ini berarti mimpi Chicago untuk masuk sejarah sebagai kota kediaman Presiden Amerika tinggal selangkah lagi.
Di Ohio, wilayah penentu nasib Obama, sang senator Illinois unggul tujuh poin menurut National Journal dan empat poin menurut CNN. Di Pennsylvania, Obama unggul 12 poin menurut CNN dan 13 poin menurut Muhlenberg. Begitu pula di negara bagian yang menjadi kantong kekuatan Republik, yaitu North Carolina, Virginia, Colorado, Indiana, dan Nevada. Di sejumlah daerah ini, Obama unggul tiga hingga enam poin.
Majalah The Economist menilai faktor pemikat utama Obama adalah pidato-pidatonya yang meyakinkan—terutama menyangkut krisis ekonomi. Kelihaiannya mengemas inteligensi dan gaya menjadi paket yang berhasil mendongkrak perolehan dukungan dalam jajak pendapat.
Adapun McCain terpuruk dalam serangkaian jajak pendapat. ”Mungkin hanya Efek Bradley yang akan menyelamatkan McCain,” kata Daniel Hopkins, peneliti Harvard. Inilah kondisi yang paling ditakuti para kandidat kulit hitam, yaitu calon yang tadinya unggul terempas karena suara pemilih kulit putih mendadak pindah kepada sang lawan di saat-saat akhir.
Efek Bradley pertama kali dipopulerkan pada 1983 oleh Charles Henry, profesor kajian Afrika-Amerika. Istilah ini berasal dari nama Wali Kota Los Angeles Tom Bradley, yang maju dalam pemilihan gubernur pada 1982. Dalam jajak pendapat, Bradley unggul dengan selisih signifikan. Namun belakangan terbukti Bradley kalah oleh lawannya, George Deukmejian, dari kubu Republik.
Menurut Henry, kekalahan itu gara-gara pemilih kulit putih yang awalnya mengaku mendukung Bradley—agar mereka tidak dicap rasis—berbalik memindahkan suara ke kandidat kulit putih. ”Orang tidak akan menyebut siapa sebenarnya yang akan mereka pilih,” kata Henry lebih lanjut tentang Efek Bradley.
Brenda Girton-Mitchell, 60 tahun, pendeta Baptis yang mendukung Obama, dengan tepat menggambarkan bagaimana menduanya sikap pemilih kulit putih. ”Saya yakin ada beberapa orang yang mengatakan ’saya bisa memilih seorang kulit hitam’ di depan publik, tapi kemudian masuk ke bilik suara dan berubah pikiran,” katanya.
Korban Efek Bradley tidak sedikit. Douglas Wilder, mantan Gubernur Virginia, pernah ditimpa efek ini—walau masih berhasil lolos. Dia hanya menang tipis 0,1 persen meski jajak pendapat menunjukkan ia unggul dua digit dari lawannya.
Jika kondisi ini terjadi pada Obama—yang dalam jajak pendapat terakhir unggul rata-rata delapan persen atas McCain—Efek Bradley bisa-bisa jadi hantu belau yang meruntuhkan perjuangan panjang Obama.
Henry mengatakan Obama harus unggul dua digit atas McCain agar selamat dari Efek Bradley. Sedangkan David Gergen, pengamat politik senior, memperkirakan Obama hanya akan menang sangat tipis jika Efek Bradley muncul pada pemilu ini. Gergen juga menyebutkan Efek Bradley setidaknya akan mengurangi lima hingga enam persen suara bagi kandidat Afro-Amerika.
Namun, ia menambahkan, kebalikannya juga bisa terjadi: pendukung Republik yang awalnya memilih McCain justru memberikan suara bagi Obama. ”Bisa saja faktor ekonomi menjadi penentu pilihan mereka,” kata Gergen.
Mantan Wali Kota San Francisco Willie Brown memperkirakan Obama bakal kehilangan suara di sejumlah negara bagian penting. Ia bahkan meramalkan Efek Bradley bisa-bisa membuat Obama tumbang di akhir duelnya dengan McCain.
Toh, yang optimistis juga tak kurang jumlahnya. Mereka menyebutkan Efek Bradley sudah tidak relevan lagi dengan kondisi saat ini. Calon ibu negara, Michelle Obama, dalam satu wawancaranya di acara televisi Larry King Show menyebut efek Bradley sebagai soal usang. ”Itu terjadi puluhan tahun lalu,” katanya. Meski begitu, Michelle mengakui isu rasial pasti akan menghantui sebagian pemilih.
Pengamat politik senior lainnya, Bill Schneider, juga mementahkan kemungkinan jatuhnya Obama akibat Efek Bradley. ”Amerika belum pernah mengalami masa ketika kandidat kulit hitam menjadi calon utama, jadi jajak pendapat untuk pemilu kali ini tidak bisa mencatat apakah isu rasial menjadi faktor penentu,” dia memberikan alasan.
Faktor lain yang banyak dibahas media massa Amerika adalah ”kejutan Oktober” yang mengiringi perjalanan pemilu presiden kali ini. Disebut begitu karena banyak kejadian pada bulan itu yang membalik keberuntungan pada kandidat. Penghentian pengeboman Vietnam, teori konspirasi soal sandera Amerika di Iran, dan video pemimpin kelompok Al-Qaidah, Usamah bin Ladin, muncul pada bulan Oktober dan mengguncang Amerika.
Sejumlah analis yakin hari-hari terakhir menjelang pemilu memang serba rawan. Sedikit saja gangguan datang, para pemilih bisa berubah pikiran dan berganti pilihan.
Keberuntungan yang memihak George W. Bush adalah contohnya. Pada 24 Oktober 2004, muncul tayangan video Usamah bin Ladin yang menyerukan agar rakyat Amerika kembali kepada yang benar, bukan kepada pembohong di Gedung Putih. Caci-maki Usamah justru mendongkrak dukungan bagi Bush. Dia menang hanya dengan 120 ribu suara dan mengempaskan John Kerry dari kubu Demokrat.
Jauh sebelumnya, ada kejutan Oktober lain yang menghancurkan kubu Demokrat pada 1968. Presiden Lyndon Johnson mengumumkan penghentian pengeboman Vietnam Utara lima hari menjelang pemilu. Ia hendak meyakinkan bahwa negosiasi dengan Hanoi membuahkan hasil. Celakanya, negosiasi tidak berhasil. Kandidat Demokrat, Hubert Humphrey, kalah dengan selisih 0,5 juta suara dari Richard Nixon, kandidat Republik.
Ronald Reagan termasuk yang diuntungkan oleh kejutan Oktober. Pemerintah Jimmy Carter dari kubu Demokrat kala itu berhadapan dengan kasus penyanderaan warga Amerika di Iran. Harian Washington Post membeberkan berita bahwa pemerintah Carter tengah menyiapkan operasi penyelamatan. Ini taktik agar ia terpilih kembali. Sebaliknya, kandidat Republik, Ronald Reagan, dituding menghalangi pembebasan para sandera.
Persoalan ini menjadi polemik bertahun-tahun dan diselidiki Kongres. Kesimpulannya, tidak ada upaya apa pun untuk membebaskan para sandera. Akhirnya, Reagan menang dalam pemilu 1980.
Faktor yang juga membuat pemilu menjadi lebih berwarna adalah jumlah suara mengambang yang cukup berarti, yaitu 14 persen dari total 538 electoral college. Dua pekan lalu, ada jajak pendapat yang dilakukan kantor berita Associated Press yang bekerja sama dengan Yahoo! News terhadap 1.040 orang. Hasilnya, setidaknya satu di antara tujuh orang belum memastikan apakah akan memilih kandidat kulit hitam atau kulit putih. Mereka disebut sebagai ”pihak yang masih bisa dibujuk”.
Sebutlah misalnya Patrick Campbell, 50 tahun, teknisi Air Force Reserve. Penduduk Amherst, New York, ini masih ragu siapa yang akan ia pilih. Ia khawatir terhadap tingginya pajak jika Obama memerintah, tapi tidak sudi jika McCain nanti mengirim kian banyak putra Amerika ke medan perang. ”Rasanya terkepung di tengah-tengah,” katanya.
Contoh lain Pastor Jeff Wofford dari Montana, yang juga mengaku bingung. ”Kita punya kandidat yang belum pernah makan asam garam hidup dan belum merasakan kegagalan,” katanya menunjuk Obama. ”Namun kita juga punya kandidat yang tahu banyak tentang sistem politik tapi tidak ingin mengubahnya,” katanya lagi tentang McCain.
Orang seperti Campbell atau Pastor Wofford ini ragu siapa yang akan mereka pilih. Alasannya, kedua kandidat menunjukkan keunggulan dan kelemahan yang setara sehingga menyulitkan mereka dalam memilih. Michael McDonald, profesor ilmu politik George Mason University, memperkirakan orang-orang seperti ini bisa jadi tidak memilih sama sekali.
Jajak pendapat itu juga mencatat bahwa separuh responden adalah mereka yang belum menentukan pilihan sama sekali. Ada pula yang kecewa karena Hillary Clinton kalah dalam konvensi. ”Saya kira Hillary dicurangi,” kata Chris Markle, warga New York berusia 25 tahun, yang kini memutuskan memilih McCain.
Para pemilih yang masih ragu ini bisa naik derajatnya menjadi ”faktor penentu”. Terutama bila suara konstituen yang sudah tegas menentukan pilihan kian seimbang menjelang hari-hari terakhir sebelum pencoblosan.
Angela Dewi (AP, AFP, BBC, Chicago Tribune, CNN, New York Times)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo