Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Di tengah hilir mudik orang di sekitar pintu barat stasiun JR Shinjuku di Tokyo , sulit membayangkan di sini pernah ada "Desa Kardus” yang memberi pesan tentang kemiskinan nyata di Jepang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di sebut "Desa kardus" karena kardus menjadi tempat tinggal sekitar 200 orang gelandangan yang di-PHK akibat ledakan gelembung ekonomi . “Desa Kardus” ini kemudian dihancurkan secara paksa oleh penjaga keamanan pada suatu pagi yang dingin pada tahun 1996.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
”Ada orang yang mati kedinginan atau kelaparan. Gara-gara penampilannya, mereka ditolak berkali-kali oleh rumah sakit”, ujar Tsuyoshi Inaba, seorang aktivis yang sering pergi ke "Desa Kardus" untuk memberikan bantuan pada saat itu.
Di Jepang, kata dia, pada waktu itu masyarakat percaya bahwa tidak ada kemiskinan. "Sekarang, kita tahu ini masalah biasa.”
Ibukota negeri Sakura ini terlihat kaya dari luar. Tapi, setelah dicermati lebih dekat, Anda akan menemukan bahwa kelas menengah di Jepang sedang tenggelam, dan kemiskinan relatif telah menyebar ke seluruh generasi usia produktif.
Dalam beberapa tahun terakhir, Shinzo Abe, Perdana Menteri Jepang terus bangga dengan pencapaian Abenomics, salah satu strategi ekonomi yang digagasnya.
Sebenarnya, negara ini telah menikmati periode booming ekonomi terpanjang sejak Perang Dunia II. Tingkat pengangguran di bawah 3 persen dalam tiga tahun terakhir. Perusahaan-perusahaan terkenal juga mengakumulasi saldo besar-besaran.
Namun, lebih dari 80 persen responden menyatakan tidak merasakan dampak pemulihan ekonomi, menurut jajak pendapat Kyodo News tahun lalu. Bukan hanya itu, dalam survei kesadaran hidup triwulanan yang dilakukan oleh Komite Pusat Humas Keuangan dengan latar belakang bank sentral Jepang, ditemukan bahwa selama periode Abenomics dari 2013 hingga 2019, responden yang merasa lebih baik dibandingkan satu tahun yang lalu stagnan di angka 3,2% sampai 13,5%.
Jumlah-jumlah itu, bahkan selalu lebih sedikit daripada responden yang menjawab terjadi kemunduran, yaitu antara 18,0% dan 38,8%.
Mengenai kontradiksi tersebut, statistik dalam jangka lebih panjang dapat memberikan petunjuk. Setelah pendapatan rumah tangga rata-rata di negara ini mencapai puncaknya di angka 6,642 juta yen (Rp 885 juta) pada tahun 1994, saat ini telah mengalami penurunan sebesar hampir 20%.
Dalam tren upah sejak tahun 2000, Jepang adalah satu-satunya negara di antara 35 anggota Organisasi Kerja sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) yang telah mengalami pengecilan.
Survei Bank of Japan juga menunjukkan, dalam beberapa tahun terakhir, persentase rumah tangga tanpa tabungan telah meningkat menjadi lebih dari 30%. Khususnya, persentase rumah tangga individu tanpa tabungan di usia 20-an pada tahun 2017 setinggi 61%.
Pada saat yang sama, jumlah keluarga yang menerima bantuan kesejahteraan (diberikan langsung kepada orang miskin) di Jepang telah meningkat selama 25 tahun berturut-turut, mencapai puncaknya sejumlah 1,64 juta rumah tangga pada 2017.
Sepanjang tahun 2010-an, jumlah penerima bamtuan kesejahteraan untuk mengatasi kemiskinan di Jepang secara konsisten naik hingga melebihi 2 juta orang. Angka ini lebih buruk daripada pada masa kekacauan pasca-perang tahun 1950-an.
TAKEHIRO MASUTOMO, TOKYO