"AKU benar-benar malu, ketika namaku disebut Bu Guru karena belum membayar uang sekolah," tulis Soon-Mi, dalam catatan hariannya, suatu hari. Dan kemudian gadis di bawah umur itu menjadi berita: ia bersama tiga adiknya mencoba bunuh diri dengan minum racun tikus, Senin dua pekan lalu. Bagaimana bisa, empat anak-anak itu-Yang Soon-Mi (13 tahun), Chung-Mi (11), Un-Mi (9), dan Se-Won (6) -- memutuskan mengakhiri hidupnya? Bagaimana bisa anak-anak di bawah umur itu merelakan hidup mereka untuk meringankan beban orangtuanya? Bagaimana bisa mereka berkorban agar adik bungsu mereka -- yang kebetulan laki-laki, yang kini baru 3 tahun -- bisa terjamin sekolahnya? "Mengapa ada yang begitu kaya dan sangat melarat di dunia ini," tulis Soon-Mi, yang bercita-cita jadi penulis itu. Keluarga Soon-Mi memang miskin. Yang Tae-Bun, ayahnya, sebagai pekerja pabrik isolator di Seoul, hanya menerima gaji 250 ribu won (sekitar Rp 600 ribu). Dengan uang itu, memang mustahil ia mampu mengongkosi biaya sekolah kelima anaknya. Benar, gaji Tae-Bun hampir dua kali lipat dari pendapatan per kapita Korea Selatan yang US$ 2.180 itu. Tapi standar hidup minimal di negeri yang sukses menyelenggarakan pesta Olimpiade tahun lalu itu, untuk sebuah keluarga dengan dua anak, kira-kira tiga kali lipat gaji ayah Soon-Mi. Hitung saja bila uang sekolah tiap anak paling sedikit Rp 30 ribu per bulan. Yang Chung-Mi, adik Soon-Mi, menulis dalam catatan hariannya: "Aku terpaksa pulang untuk makan supermi, karena tak sanggup membawa bekal ke sekolah." Beberapa hari sebelum mereka minum racun, Soon-Mi bilang kepada seorang temannya, "Seandainya kami tak ada, mungkin ayahibuku dapat hidup layak bersama adikku." Yang Tae-Bun anak-beranak menempati sebuah ruangan berukuran 40 meter persegi, di sebuah daerah kumuh. Di rumah sewa itulah, ketika ibu mereka pergi berbelanja, mereka melakukan upacara kematian itu. Sebelum mereka menenggak racun satu per satu, Soon-Mi sempat menuliskan pesan terakhir di sobekan kalender, "Maafkan kami, Ayah-Bunda jangan risaukan kami. Anak gadismu yang merana." Ketiga kakak akhirnya memang tak tewas, meski dalam keadaan mengkhawatirkan. Yang termuda, Yang Se-Won, tak tertolong lagi. Di rumah sakit, di samping peti jenazahnya, diletakkan tas sekolah berwarna merah miliknya. Sementara itu, Soon-Mi tak sanggup mengenali para kerabat yang datang mengunjunginya di rumah sakit. "Ia terus mengigau, 'Maafkan aku, maafkan aku'," tutur Kim Ok-Sun, ibu anak-anak itu. Hampir semua media Korea Selatan menaruh perhatian atas peristiwa ini. Dan terketuklah hati orang-orang. Tak kurang dari 7 juta won mengalir dari para pembaca, termasuk para menteri, politikus, anak-anak sekolah, dan para pengusaha. Di rumah sakit tempat ketiga gadis itu dirawat, ratusan boneka, mainan anak-anak, dan buku-buku berdatangan. Sebuah organisasi sosial menawarkan diri untuk membiayai sekolah keempat anak Yang Tae-Bun. Ibu negara Kim Ok-Sook menulis surat, minta agar anak-anak gadis itu tak putus asa. Sampai-sampai 2 tokoh oposisi Kim Dae-Jung dan Kim Young-Sam menyempatkan diri menengok ke rumah sakit dan memberi dana simpati. Kemudian muncullah perhatian terhadap tradisi sosial Korea Selatan yang selama ini didominasi kaum pria. "Kasus ini mengingatkan kita untuk lebih memperjuangkan hak-hak kaum wanita," ujar Lee Kye-Kyung, pemilik sebuah majalah wanita, seorang pemimpin organisasi hak-hak wanita. Harian The Korea Herald menurunkan tajuknya yang cukup keras. Harian itu mengkritik sikap hidup orang-orang tua yang mengutamakan anak laki-laki. Mereka biasanya belum mau berhenti punya anak sebelum memiliki anak lelaki. Tak diragukan lagi, Soon-Mi dan adik-adiknya pun dirasuki keyakinan akan perbedaan nilai anak perempuan dan lelaki itu. Bila keyakinan ini kemudian bertemu dengan ajaran Confucius yang melekat di setiap warga Korea Selatan -- falsafah hidup yang pantang menanggung malu tak sulit memahami mengapa Soon-Mi memutuskan minum racun beserta adik-adik perempuannya. Terbaca coretan di dinding rumah sempit itu, yang ditulis oleh salah seorang dari empat anak gadis itu: "Kendati miskin, mari kita hidup jujur." Pilihan anak-anak itu memang jelas. Yang belum jelas, apa akibat luka dalam sejarah hidup ketiga anak-anak yang, melihat umurnya, masih akan menempuh perjalanan panjang.Didi Prambadi (Jakarta) & Saiichi Okawa (Tokyo)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini