INI sebuah teori. Bila saja Presiden Jenderal Mohammad Ershad mengharapkan dukungan rakyat Bangladesh dengan cara menyatakan negeri ini menjadi negeri Islam, kemungkinan besar justru hal sebaliknya yang akan terjadi. Benar. Selasa malam pekan lalu, setelah parlemen mengesahkan UU baru bahwa Islam menjadi a~gama ne~gara, di Dhaka dan beberapa kota lain ribuan orang menghambur ke jalan. Mereka memprotes UU itu. Padahal, 90% dari 105 juta warga negeri itu pemeluk Islam - te~besar ketiga, setelah Indonesia dan Pakistan. Dalam beberapa menit, di Ibu Kota Dhaka, puluhan mobil ringsek, sejumlah gedung rusak, dan beberapa toko hangus dibakar. Jelas, inilah demonstrasi yang dimotori partai-partai oposisi, yan~g melibatkan mahasiswa, para profesional, buruh, dan organisasi-organisasi wanita. Ini bukan aksi mendadak. Sebelumnya, 30 anggota parlemen dari partai-partai oposisi - Liga Awami dan Partai Nasionalis Bangladesh - melancarkan aksi ~walk out, saat dilakukan pemungutan suara di dewan perwakilan rakyat. Partai oposisi memang sudah pasti kalah dalam parlemen yang dikuasai Jatiya Dal, partainya Ershad. Pemungutan suara membuktikannya: 254 suara dari 300 anggota parlemen menyetujui UU baru. "UU baru merupakan langkah politik Ershad untuk mengalihkan perhatian rakyat dari keadaan ekonomi yang kian memburuk," kata Begum Khaleda Zia, pemimpin koalisi pihak oposisi. Yang juga dicemaskan oleh banyak pihak - pihak oposisi dan kelompok minoritas non-Islam - bila hukum Islam diterapkan di Bangladesh, adalah munculnya kelompok fundamentalis, yang merasa lebih Islam daripada yang lain, yang bisa menimbulkan kerusuhan berkepanjangan . Maka, pihak oposisi bertekad akan terus melakukan aksi unjuk rasa sampai UU baru itu ditarik kembali. Jenderal Ershad langsung membantah. "Islam menjamin stabilitas, keamanan, dan kebebasan beragama," katanya. Lalu tambahnya, bahwa kaum wanitatak perlu takut berada di bawah hukum Islam karena, "dalam Islam, wanita dan pria diperlakukan setara, lebih baik ketimbang agama. Adapun tentang kelompok non-lslam, kata PM Moudud Akhmad, "UU baru bertujuan memberikan identitas pada bangsa Bangladesh, bukan menghapuskan hak pemeluk Kristen, Hindu, atau Budha." Sesun~gguhnya reaksi terhadap UU baru sangat bisa dimengerti. Soalnya, gaya hidup kelas menengah Bangladesh boleh dikata Barat. Sebagai konsekuensi Bangladesh dinyatakan menjadi negeri Islam, tak bisa lain, tentunya, selain diberlakukannya hukum Islam. Maka, sekadar contoh kecil, tempat hiburan macam bar~ tentulah~~ akan olehkan. Padahal, di Dhaka, puluhan bar, lengkap dengan ciri-cirinya sebagai hiburan malam, tersebar diseluruh kota. Memang ada yang berharap, perubahan itu hanya bersifat politis, tak mempengaruhi kehidupan sehari-hari. Mungkin, dalam masa transisi kini memang itu yang terjadi. Hingga akhir pekan lalu bar-bar masih dibiarkan buka seperti biasa, tak ada tindakan apa pun. Tapi konsekuensi sebuah negeri Islam tentulah tak terbatas secara politis. Terkecuali bila itu memang sekadar taktik Ershad untuk memperoleh popularitasnya kembali, setelah anjlok Maret lalu karena mengadakan pemilu parlemen sepihak. Bila begitu, wajar sekali pihak oposisi berupaya keras menentang kebijaksanaan presidennya. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini