"GEORGE, saya tidak yakin, Anda akan mendarat di tanah kami sebagai wilayah di bawah satu suara bulat. Tapi, bagaimanapun, selamat datang." Kalimat itu diucapkan Menteri Luar Negeri Israel, Shimon Peres, ketika menyambut rekannya, George Shultz, di bandar udara internasional Ben Gurion Tel Aviv Kamis pekan lalu. Misi damai Menlu Amerika Serikat Shultz untuk menyelesaikan kemelut di kawasan pendudukan Israel, di Gaza dan Tepi Barat, memang tak disambut dengan suara sepakat. Perdana Menteri Israel, Yitzhak Shamir, bahkan secara blak-blakan mengatakan, "Kehendak damai untuk wilayah ini tidak saya terima." Ketegangan di hari-hari menjelang kedatangan Shultz memang meningkat. Warga Arab Palestina yang bermukim di Jalur Gaza dan Tepi Barat melakukan pemogokan umum. Mereka yang berdagang menutup kedainya, sementara yang menjadi buruh pada perkebunan atau perusahaan milik orang-orang Israel menolak melakukan pekerjaan rutinnya. Kemelut makin memuncak ketika sejumlah orang Arab Palestina menggerebek rumah Mohamed ai-Ayad, Rabu subuh, sehari sebelum kedatangan Shultz. Ayad, warga Palestina yang dituduh sebagai kolaborator tentara pendudukan, dan diketahui memiliki senapan Uzi buatan Israel, kemudian dikeroyok ratusan warga Khabatiyeh, Tepi Barat, dan mayatnya digantung di tiang listrik. Esoknya, sekitar 200 tentara Israel, dengan membawa daftar nama orang-orang yang dicurigai, mendobrak sejumlah rumah, lalu menyeret penghuninya. Jumlah yang disekap, sekitar 100 orang. Di hari kedatangan Shultz itu, selain terjadi penahanan tercatat dua lagi orang Palestina tewas di tangan tentara Israel - total sejak kerusuhan meletus awal Desember lalu, korban yang terbunuh menjadi 68 orang. Gagal meyakinkan Israel, setelah lima hari di Yerusalem, Shultz pulang melalui Amman, Damaskus, dan Kairo. Ia ingin mengukur sejauh mana usul damai Amerika Serikat ditanggapi ketiga negara Arab, yang menjadi kunci penyelesaian konflik di Timur Tengah itu. Bekal Shultz cuma keyakinan bahwa "Kemandekan dan status quo dalam usaha penyelesaian konflik ini akan merugikan semua pihak." Pintu damai di hati orang Palestina belum tentu bisa dibuka dengan mudah. Masalahnya, seperti diakui Shultz, "Sejumlah besar warga di wilayah pendudukan tidak sedikit pun memiliki hak minimal untuk menegakkan kehendak mereka." Maka, pemimpin orang-orang Palestina di daerah pendudukan, sesuai dengan Imbauan markas Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) di Tunis, menampik bertemu dengan Shultz. Boikot adalah jawaban mereka terhadap langkah damai Amerika Serikat. "Yang dibawa Shultz adalah gagasan mati untuk menghadapi kenyataan yang masih hidup," kata Bassam Abu Sherif, juru bicara Ketua PLO Yasser Arafat. Mereka bahkan menyangsikan usaha damai Amerika Serikat itu. Seperti kata Wali Kota Betlehem Elias Freij, "Amerika Serikat harus berpijak pada kenyataan. Sesudah gerakan kebangkitan di kawasan pendudukan ini, membungkam PLO adalah mustahil. Gagasan untuk membuka alternatif kepemimpinan oleh orang-orang Palestina pun tak lebih hanya impian."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini