RAKYAT Korea Selatan telah menutup sebuah lembaran hitam sejarah mereka - lembaran yang penuh kudeta dan demonstrasi. Kamis pekan lalu, ribuan tamu negara, yang memadati halaman depan gedung Dewan Perwakilan Rakyat, menjadi saksi mata pelantikan kepala negara baru Korea Selatan, yang masuk Gedung Biru tanpa menumpahkan darah pendahulunya. Begitu pentingnya upacara pelantikan Roh Tae-Woo, yang menerima kunci istana kepresidenan dari Chun Doo-Hwan, sampai-sampai utusan resmi dari luar negeri saja tercatat 300 orang. Mereka, antara lain Perdana Menteri Jepang Noboru Takeshita, Perdana Menteri Taiwan Yu Kuo-hwa, dan Menteri Keuangan Amerika Serikat James Baker III. Selain itu, Roh juga menerima telegram ucapan selamat dari hampir seluruh kepala negara di dunia. Bahkan, Kaisar Hirohito mengirimkan karangan bunga khusus untuk kepala negara baru Korea Selatan itu. Mengapa pelantikan Roh mendapat perhatian khusus kepala-kepala pemerintahan di dunia? Sejak Korea Selatan diproklamasikan, 40 tahun silam, hampir semua mereka yang masuk ke Gedung Biru melakukannya dengan kudeta millter yang menelan korban jiwa. Bahkan, Chun, ketika menguasai kursi kepresidenan, setelah Presiden Park ChungHee ditembak mati kepala dinas intelijen Korea Selatan, lebih dari delapan tahun silam, harus bertempur melawan sejumlah jenderal yang menjadi saingannya. Tapi, Roh tidak melakukannya dengan bedil. Jenderal yang seangkatan dengan Chun ini memenangkan kursi kepresidenan lewat pemilihan umum. Maka, Roh, di hari pelantikannya, berjanji akan memelihara prinsip-prinsip demokrasi di Korea Selatan. "Hari-hari ketika kebebasan dan hak-hak asasi manusia biasa diselewengkan atas nama pertumbuhan ekonomi dan keamanan nasional sudah berakhir," kata Roh. Ia mengajak rakyat Korea Selatan melupakan luka-luka lama akibat penumbangan rezim-rezim militer terdahuhJ. Diperkirakan ribuan mahasiswa yang melakukan unjuk rasa melawan kekejaman pemerintahan militer terbunuh baik di jalanan maupun di kamar tahanan. "Kekuatan represif dan penyiksaan di kamar rahasia sudah lewat," kata Roh. Hadirin kontan bertepuk tangan meriah. Roh ternyata bukan melontarkan janji kosong. Sehari setelah pelantikannya, ia langsung mengumumkan amnesti bagi 7.234 tahanan politik, termasuk mereka yang dlciduk berdasarkan perintah bekas Presiden Chun Doo-Hwan. Di antara tahanan politik yang dibebaskan terdapat 1.732 tokoh pembangkang dan aktivis buruh, yang sering dikaitkan dengan gerakan komunis. Kini, tokoh pembangkang yang masih mendekam di penjara tinggal Kim Kun-Tae dan Chang Ki-Pyo, tertuduh penyulut bentrokan fisik antara para demonstran dan pasukan keamanan, pada unjuk rasa 1984 sampai 1985, yang mengakibatkan puluhan jiwa melayang di jalanan. Tahun 1986, Kementerian Luar Negeri AS mengecam keras penyiksaan terhadap Kim Kun-Tae, dan Amnesti Internasional menuntut pembebasan dirinya, tapi imbauan itu tak ditanggapi Chun Doo-Hwan. Sementara, Roh, tanpa menyebutkan alasannya, juga tak menyinggung soal Kim dan Chang. Keputusan Roh membebaskan sejumlah tahanan politik itu tampak bertolak belakang sekali dengan sikapnya sewaktu menjadi pejabat militer. Betapa tidak. Pada 1980, ketika menjabat sebagai komandan Komando Keamanan Dalam Negeri, adalah Roh yang memberi perintah "tembak di tempat" untuk meredam demonstrasi mahasiswa di Kota Kwangju, yang menyebabkan terbunuhnya 2.000 demonstran di ujung peluru pasukan keamanan. Keputusan lain yang menarik dari Roh bahwa ia tak menghendaki fotonya dipajang di kantor-kantor pemerintah, dan tak akan memakai mobil kepresidenan untuk pergi ke kantor. Dan, adalah Roh pula yang mengusulkan kepada Presiden Chun untuk membentuk panitia penyelidik kasu Kwangju. Komite Promosi Demokrasi dan Rekonsiliasi Nasional, penyidik kasus Kwangju, yang mengumumkan keputusan dua hari sebelum pelantikan Roh, mengimbau pemerintah minta maaf dan memberi ganti rugi kepada para korban. Selain itu, Komite juga minta pemerintah tidak menganggap segala bentuk demonstrasi sebagai pemberontakan. Dari dua saran Komite, saran terakhir sudah dapat lampu hijau dari Roh. Dalam pidato pada sidang umum Partai Keadilan Demokrasi (DJP), Senin pekan lalu, Roh secara blak-blakan mengatakan, "Demokrasi berarti masyarakat majemuk, yang di dalamnya setiap orang bebas untuk berpikir dan mengekspresikan pandangan dan tuntutan masing-masing secara bebas." Kampanye demokrasi Roh, yang juga menjabat ketua DJP, agaknya tepat ke sasaran. Gelombang demonstrasi besar menentang pelantikan Roh, seperti diharapkan kaum oposisi, tak terjadi. Sejumlah unjuk rasa memang sempat muncul, tapi hanya diikuti oleh puluhan demonstran. Tak heran bila pengamat politik di Seoul mengatakan Roh sudah makin dekat untuk memperoleh dukungan mayoritas rakyat, kendati dalam suara. Kunci keberhasilan Roh, kata mereka, tuntutan utama rakyat Korea Selatan persis seperti yang dilakukan dan diucapkan presiden baru itu dalam pidato pelantikannya. Tak aneh bila para pemimpin kelompok oposisi kini bekerja keras untuk bersekutu kembali. Apalagi, April depan, mereka harus menghadapi pemilihan umum untuk anggota parlemen - yang mereka harapkan bisa mengontrol presiden. Maka, Selasa pekan lalu, Kim Dae-Jung, Ketua Partai untuk Perdamaian dan Demokrasi (PPD), bertemu dengan Kim Young-Sam, Ketua Partai Reunifikasi Demokrasi (RDP), untuk membicarakan strategi mereka dalam pemilihan anggota parlemen nanti. Dalam pertemuan itu, kedua Kim membicarakan lagi kemungkinan penyatuan kedua partai sebagai jalan keluar dalam menghadapi DJP. Tampaknya, antara kedua tokoh oposisi sudah tak ada masalah. Entah kalau di lapisan bawah mereka. Bahkan, begitu berambisinya mereka mengalahkan DJP Kim Young-Sam, awal bulan lalu, mengundurkan diri sebagai ketua RDP, dan menyatakan akan memberi kesempatan kepada Kim Dae Jung memimpin partai gabungan. Mungkinkah dengan kesepakatan baru ini kelompok oposisi bisa mengimbangi kekuasaan Roh sebagai presiden? Siapa tahu. Praginanto (Jakarta), Chung Ji-Sub (Seoul)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini