Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Gara-gara Diaoyu atau Senkaku

Hubungan Cina dan Jepang kembali tegang. Sengketa atas gugusan pulau di Laut Timur Cina diprediksi bisa mengawali perang dunia ketiga.

24 September 2012 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEPUCUK surat tiba di kantor Federasi Bulu Tangkis Internasional (BWF) di Kuala Lumpur, Malaysia, Selasa pekan lalu. Pengirimnya adalah Pusat Organisasi Olahraga Tenis Meja dan Badminton Cina. Isinya cukup mengenyakkan: pemberitahuan soal 22 atlet dari negara juara bulu tangkis itu yang mundur tiba-tiba dari seri kompetisi bergengsi tepok bulu internasional, Jepang Terbuka, pada 18-23 September ini.

”Mempertimbangkan situasi keamanan antara negara kami dan Jepang belakangan ini, kami nyatakan berhenti. Keputusan ini kami ambil Jumat dua pekan lalu,” kata Kepala Operasional BWF Thomas Lund, menirukan sepenggal isi surat tersebut.

Cina memang bereaksi serius terhadap ketegangan antara negaranya dan Jepang. Penarikan olahragawan dari salah satu kejuaraan bergengsi badminton ini hanya satu dari rangkaian unjuk rasa anti-Jepang, yang terpantik gara-gara sengketa Kepulauan Diaoyu di Laut Timur Cina.

Hubungan Cina dan Jepang memanas lagi. Insiden terakhir terjadi 15 Agustus lalu, saat sekelompok aktivis Cina yang sengaja berlabuh di satu dari delapan pulau di Kepulauan Diaoyu ditangkap kepolisian Jepang. Mendadak sontak kejadian ini membuat darah rakyat Cina mendidih. Gelombang unjuk rasa pun tak terbendung. Sentimen terhadap Jepang makin tinggi bersamaan dengan peringatan Insiden Munden atau Manchuria setiap 18 September, yang menandai invasi Jepang ke utara Cina pada 1931.

Di Guangzhou, 10 ribu demonstran turun ke jalan meneriakkan slogan-slogan anti-Jepang. Di Shenzhen, polisi Cina terpaksa memakai gas air mata untuk mengendalikan massa. Kerusuhan paling parah terjadi Senin pekan lalu di kota pelabuhan Qingdao. Pabrik perakitan alat elektronik milik Jepang, Panasonic, dipaksa ditutup. Selain itu, satu toko mobil Toyota dibakar massa. ”Ini akibatnya kalau Jepang terus berkukuh ingin menguasai tanah kami, ” kata seorang demonstran bernama Tong, sambil membangga-banggakan tulisan di kausnya, ”Membela Diaoyu, menggulingkan Jepang”, lalu melemparkan botol plastik tandas ke arah gedung Kedutaan Besar Jepang di Beijing, Ahad pekan lalu.

Jepang, Cina, dan Taiwan sebenarnya telah lama bersengketa atas kedaulatan kedelapan pulau tersebut. Cina dan Taiwan, yang menyebut kepulauan itu Diaoyu, mengaku berdaulat lantaran mengantongi sebuah dokumen yang ditulis pada Dinasti Ming sekitar abad ke-15, yang menyatakan Diaoyu adalah daerah milik kekaisaran mereka. Sedangkan Jepang, yang menyebut kepulauan itu Senkaku, mempunyai dasar kedaulatan mengacu pada tanah jajahan yang mereka rebut dari Cina pada perang Sino-Jepang I 1894.

Namun langkah Jepang lebih maju. Setahun setelah perang, pemerintahnya menyewakan salah satu pulau paling utara, yang secara geografis paling dekat dengan negara mereka, kepada pengusaha perikanan Tatsuhiro Koga. Selama 22 tahun, Koga mengelola pulau itu. Ia memboyong 280 pekerja asal Jepang untuk mendudukinya. Saat Koga wafat pada 1918, bisnis ikan beralih ke putra tertuanya, Zenji Koga. Namun, di tangan putra kesayangannya, bisnis itu terpuruk. Pada 1940, pulau itu kembali tak berpenghuni. Diam-diam Zenji Koga menjualnya kepada keluarga pengusaha Kurihara.

Saat Perang Dunia II usai pada 1945, Amerika Serikat sempat menduduki pulau itu. Mereka memasukkannya ke Prefektur Okinawa. Peristiwa bersejarah lantas terjadi di Cina pada 1949, saat Republik Rakyat Cina yang berhaluan komunis terbentuk dan berpisah dengan Taiwan yang nasionalis. Kedua negara itu lantas memproklamasikan diri berdaulat atas gugusan pulau tersebut pada 1971. Sengketa muncul ke permukaan ketika Amerika mengembalikan Okinawa kepada Jepang pada 1972. Pulau-pulau itu dinyatakan milik Jepang dengan pemilik resmi keluarga Kurihara.

”Tensi mulai memanas pada 1970-an dipicu oleh temuan Komisi Ekonomi Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Asia-Pasifik pada 1969, yang menyatakan gugusan pulau itu menyimpan potensi alam luar biasa, seperti minyak, mineral, dan perikanan,” kata seorang pakar ekonomi Cina, Shana Rein. Sejak saat itu, Diayou alias Senkaku menjadi sengketa internasional yang tak kunjung usai hingga saat ini.

Ihwal sengketa ketiga negara itu, dunia internasional langsung memberi perhatian sangat serius. Abang Sam, sebagai negara yang pernah menguasai kepulauan itu, meminta Cina, Taiwan, dan Jepang segera menghentikan ketegangan. ”Saya khawatir berujung pada konflik yang meluas,” kata Menteri Pertahanan Amerika Serikat Leon Panetta saat melawat ke dua negara yang sedang bersengketa.

Hasil analisis dan penelitian International Crisis Group (ICG) sekitar dua pekan lalu lebih gawat daripada prediksi Panetta. Menurut lembaga ini, sengketa Cina di beberapa perairan, seperti dengan Jepang di Laut Cina Timur dan dengan beberapa negara di Laut Cina Selatan, bisa berakhir dengan konflik bersenjata. Artinya, saat Cina harus berhadapan dengan beberapa negara ASEAN dan Jepang, ini adalah gerbang baru sebagai awal perang dunia ketiga.

Terlebih ketika Cina tiba-tiba menaikkan anggaran militernya sebesar 11,2 persen hingga menyentuh angka Rp 965 triliun. ”Walau beralasan bukan untuk menyerang negara lain, anggaran pertahanan terbesar kedua di dunia setelah Amerika Serikat itu ditujukan untuk sebuah operasi besar,” tulis ICG dalam laporannya.

Pemerintah Jepang pun angkat bicara setelah gelombang unjuk rasa menggila. Perdana Menteri Jepang Yoshihiko Noda meminta pemerintah Cina melindungi 60 ribu lebih warga Jepang yang ada di Negeri Panda. Namun, alih alih merespons permintaan Jepang, Menteri Pertahanan Cina Jenderal Liang Guanglie malah mengancam negara itu. Menurut dia, semua ketegangan ini berawal dari sikap Tokyo yang emoh menghormati kedaulatan negaranya.

Suhu telanjur memanas di antara dua negara. Mereka masih berkukuh belum memiliki rencana berunding. Boikot produk Jepang sudah kompak terjadi di puluhan kota di Cina.

Sandy Indra Pratama (ABC, BBC, Yomiuri Shimbun, China Daily)


Aksi Tegang Dua Seteru

”PERANG” merupakan kata yang tak asing bagi kedua negara ini. Perseteruan di antara mereka sudah dimulai 118 tahun yang lalu. Berikut ini adalah rentetan kejadian perang Jepang dan Cina yang terekam dalam sejarah.

1894-1895
Dua negara berseteru dalam Perang Sino-Jepang I, yang memperebutkan kendali atas Korea. Modernisasi Jepang lewat Restorasi Meiji memenangi perang tersebut dan mengakibatkan Dinasti Qing harus membayar ganti rugi 30 miliar tael kepada Jepang lewat Perjanjian Shimonoseki.

1931
Perseteruan kembali terjadi. Kala itu, Jepang menginvasi Manchuria dan menjadikannya negara boneka di daratan Cina, dikenal dengan insiden Mukden. Pada fase sebelumnya, Jepang memang beberapa kali mencoba menguasai Cina dari berbagai sisi.

1937-1945
Perang besar kembali terjadi. Saat itu, Jepang berhasil menguasai Shanghai, Beijing, dan Nanjing. Namun, karena dibom atom Amerika, Negeri Matahari Terbit akhirnya menyerah kalah.

1949
Mao Tse Tung mendirikan Republik Rakyat Cina.

1963
Revolusi Budaya semakin membuat hubungan diplomatik kedua negara terpuruk.

2001
Gelombang unjuk rasa besar-besaran menyambut kedatangan Perdana Menteri Jepang di Cina. Rakyat Cina memprotes tindakan yang dilakukan Jepang selama perang melawan negara mereka.

2005
Gelombang kemarahan rakyat Cina terjadi atas terbitnya sebuah buku sekolah Jepang berjudul Glossing Over, yang dianggap sebagai cuci tangan sejarah perang Jepang di Cina dan Korea.

2010
Sengketa Pulau Diaoyu (dalam pengakuan pemerintah Cina) atau Senkaku (nama pulau dari pemerintah Jepang) memanas setelah serombongan awak kapal nelayan Cina ditangkap otoritas keamanan Jepang.

2012
Kepolisian Jepang kembali menangkap 14 aktivis pro-Cina dan Taiwan yang melawat ke pulau yang masih dipersengketakan. Demonstrasi lantas menggila di Cina. Taiwan berencana menarik perwakilan mereka yang ada di Negeri Matahari Terbit.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus