Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Ghetto Di Tanah Impian

Diskriminasi melahirkan generasi muda imigran yang frustrasi dan pemarah. Satu fenomena yang mencerminkan sulitnya kaum pendatang menjadi orang Prancis.

14 November 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Gedung pengadilan Bobigny dekat kota Paris penuh dengan pemuda tanggung. Mereka tengah antre untuk menghadap hakim yang hari itu trengginas bukan main menjalankan tugasnya. Pak Hakim hanya butuh 30 menit untuk meneliti setiap kasus sebelum mengetuk palu serta memutuskan besaran hukuman bagi para calon pesakitan. Sidi Brahim, 19 tahun, adalah salah satu remaja yang terkena vonis pada Selasa pekan lalu. Dia menggelengkan kepala dengan penuh amarah ketika hakim menghukumnya enam bulan penjara dengan empat bulan penangguhan. ”Artinya, kamu dipenjara dua bulan. Sisanya akan kamu jalani jika berbuat onar lagi,” ujar sang hakim.

Seorang polisi bergerak cepat memborgol tangan Brahim dari belakang, lalu menggiringnya ke penjara. Berikutnya giliran Ait Mochrane dan Amou Jaffer, keduanya 18 tahun. Tanpa berbelit-belit, jatuhlah ”tok”. Keduanya menyusul Brahim ke bui. Hari itu hakim memvonis bersalah 15 pemuda. Sehari sebelumnya, 41 orang dihukum. Menteri Kehakiman Pascal Clément mengirim lima hakim ke Bobigny untuk mengadili ratusan pemuda itu. Hasilnya, mereka berbondong-bondong penjara atau ke pusat-pusat tahanan.

Brahim berasal dari Bondy, pinggiran utara Paris. Dia tertangkap polisi saat membawa tas berisi lima liter bensin tatkala kerusuhan bergolak. Polisi telah membekuk sekitar 1.500 orang—umumnya pemuda seusia Brahim—sejak kerusuhan meledak pada 27 Oktober lalu di Clichy-sous-Bois di utara Paris. Huru-hara mulai mereda pada pekan lalu, namun korban sudah jatuh di mana-mana.

Para perusuh membakar mobil dan bangunan dengan bom molotov. Hasilnya, 4.700 mobil hangus dilahap api; restoran, toko swalayan, dan sekolah berubah menjadi bunga api raksasa; satu orang tewas; 108 polisi dan petugas kebakaran terluka.

Inilah kerusuhan paling parah di Prancis sejak 1968, yang melanda 21 wilayah permukiman imigran di seluruh negeri. Dari Lille di utara hingga Marseille di tepi Laut Mediterania. Huru-hara besar ini bermula dari tewasnya dua remaja imigran karena tersengat listrik tatkala mencoba bersembunyi dari kejaran polisi di Clichy-sous-Bois (lihat tulisan Les Miserable pada Tempo 7 November).

Kabar kematian mereka merebak di berbagai wilayah imigran. Kerusuhan menjalar cepat seperti api disiram bensin. Perdana Menteri Dominique de Villepin memberlakukan jam malam dengan mengerahkan ribuan polisi. Belum cukup, Villepin mengizinkan pemerintah di wilayah kerusuhan untuk menerapkan UU Darurat setelah 11 hari huru-hara pecah. Ironisnya, jam malam dan UU Darurat adalah produk kolonial saat Prancis menjajah sejumlah wilayah di Afrika sebelum Perang Dunia II.

Dari bekas wilayah jajahannya itulah Prancis mendapat pil pahit. Perusuh umumnya anak kaum imigran dari Afrika Utara dan Sub-Sahara Afrika. Pada 1950-an, gelombang imigran mengalir dari Aljazair, Maroko, dan Tunisia ke Prancis. Ada yang berdarah Arab, ada yang berdarah ”hitam” Afrika—rata-rata mereka pemeluk Islam. Tujuan para perantau adalah mencari kehidupan yang lebih baik.

Pemerintah Prancis menyambut kedatangan mereka karena negeri itu butuh tenaga kerja kasar yang sudah ditinggalkan ”pribumi putih”. Mereka bekerja sebagai buruh pabrik hingga sopir taksi. Jadilah mereka warga negara Republik Prancis—negeri yang tersohor dengan semboyan tentang kebebasan, persamaan, dan persaudaraan. Liberte, egalite, fraternite.

Kaum imigran itu bak mendapat kemewahan di tanah air mereka yang baru. Pemerintah mendirikan permukiman apartemen bertingkat dengan sewa murah meriah di wilayah pinggir kota. Apartemen itu dilengkapi fasilitas pemanas sentral, sistem sanitasi yang sehat, dan listrik selama 24 jam penuh. Satu fasilitas hidup yang tak mereka peroleh di negara asal. ”Begitu modern dan maju,” kenang Sonia Imloul, 30 tahun, saat ia dan kedua orang tuanya dari Aljazair pertama kali memasuki apartemen dengan tiga kamar. ”Saya saat itu berusia tujuh tahun. Itulah kali pertamanya saya melihat keran pancuran di kamar mandi,” katanya.

Kini semuanya berubah. Permukiman imigran yang umumnya berupa apartemen berlantai 17 berubah menjadi ghetto kumuh. Dinding penuh coretan grafiti, jendela dikerangkeng dengan jalinan kawat besi. Tikus besar berkeliaran di lorong-lorong memburu kucing, dan polisi ogah mampir ke permukiman imigran yang sebagian telah berubah menjadi sarang narkotik dan preman.

Pertumbuhan jumlah imigran kini menumbuk angka 5 juta jiwa, menambah sesak kawasan pinggiran kota—Paris terutama. Tak ada statistik resmi pemerintah tentang jumlah imigran berdasarkan kebangsaan dan agama, karena bertentangan dengan prinsip sekularisme. Namun, diperkirakan populasi terbesar berasal dari Aljazair (35 persen) disusul Maroko (25 persen), dan Tunisia (10 persen). Semula para pendatang ini bertetangga dengan pribumi Prancis, tapi kaum putih lebih beruntung karena bisa menjadi profesional seperti dokter atau guru. Mereka pindah ke daerah yang lebih mapan dan kehidupan sosial mereka meningkat.

Sementara itu, generasi muda imigran lahir dalam kondisi orang tua mereka yang masih tetap miskin. Akibatnya, tingkat pendidikan rendah, jumlah pengangguran tinggi. ”Ada pelajar berusia 15 tahun yang tak bisa menulis,” ujar Sonia Imloul. Pengangguran juga melanda kalangan imigran yang berpendidikan tinggi, sekitar 26,5 persen. ”Pintu (pekerjaan) tertutup jika Anda seorang Arab,” ujar Yazid Sabeg, seorang pengusaha.

Hanya sedikit imigran asal Afrika Utara yang berhasil seperti Sabeg. Sebagian besar dari mereka sulit berintegrasi secara sosial dan ekonomi dengan masyarakat putih Prancis. ”Bagaimana saya bisa merasa sebagai orang Prancis ketika mereka mendeskripsikan saya sebagai Prancis keturunan Aljazair? Berapa banyak generasi yang harus mengingatkan darah asli saya?” kata Nadir Dendoune, yang dikenal sebagai seorang penulis.

Pertumbuhan global militansi Islam menyebabkan ketakutan pada masyarakat putih Prancis. Negeri ini memiliki komunitas muslim terbesar di Eropa Barat. Identitas Islam kemudian menjadi salah satu kesulitan dalam pembauran. Padahal, Islam menjadi identitas pribadi sebagian besar imigran, termasuk penggunaan kerudung bagi perempuan muslim, misalnya. Persoalan identitas Islam memuncak ketika parlemen, atas nama sekularisme, pada 2004 mengesahkan larangan penggunaan simbol keagamaan, termasuk kerudung bagi pelajar di sekolah negeri.

Larangan ini tak sekadar berlaku di sekolah, tapi juga merambat ke dunia kerja. ”Ibu saya seorang doktor filsafat. Dia mempertahankan kerudungnya. Akibatnya, dia tak memperoleh pekerjaan di mana pun,” ujar Sonia Benyahia. Mahasiswi itu ragu kelak bisa menjadi guru bila terus berkerudung, tapi dia juga tak mau mencopotnya. Dia mengambil jalan tengah: ”Saya akan jadi ibu rumah tangga saja.”

Sebagai imigran, Benyahia rupanya belum menyandarkan diri pada janji Presiden Jaques Chirac berikut ini: ”Apa pun asal kita, kita semua adalah anak Republik dan kita bisa berharap memperoleh hak yang sama.”

Raihul Fadjri (BBC, AP, The Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus