Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Golok di Ransel Guru Madrasah

Bangladesh dihantam gelombang pembunuhan anggota kelompok minoritas. Kali ini polisi berhasil mengorek keterangan tentang modus dan ciri kelompok-kelompok radikal pembunuh itu.

20 Juni 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dia bukan pemuda yang senang menghabiskan waktu dengan mengobrol dan merokok sampai larut malam. Dia Saiful Islam, guru madrasah, usianya 23 tahun. Tatkala polisi menangkapnya di dekat pos penjagaan di Dhaka, ibu kota Bangladesh, awal bulan ini, ditemukan sebilah golok dan sepucuk pistol dengan enam peluru di dalam ranselnya. Melihat penampilannya-dengan jenggot dibiarkan panjang tak terurus, berikut celana komprang Punjab-polisi menaruh curiga.

Tentu itu merupakan stereotip. Namun gambaran pemuda yang irit bicara di depan polisi itu semakin lengkap pekan lalu, ketika dua kawannya tertangkap tak lama setelah menjalankan misi "suci"-nya: menghabisi seorang blogger sekuler di Dhaka. Setelah golok diayunkan ke bagian belakang leher korbannya, dan sang blogger tersungkur bersimbah darah, mereka memacu kencang sepeda motornya. Kali ini polisi sigap menangkap kedua pemuda itu.

Sejak Februari 2013, Bangladesh tak berdaya menghadapi serangkaian pembunuhan misterius, dengan kelompok-kelompok minoritas sebagai sasaran. Sedikitnya 39 orang telah jadi korban keganasan ini, dari orang-orang sekuler sampai guru tarekat. Harian The New York Times menuliskan asal-muasal dan reportase mendalam mengenai hal ini, dimulai dari pengakuan Saiful Islam.

Saiful Islam dan kawan-kawan mengidamkan masyarakat Bangladesh yang taat mengikuti syariat Islam, ketimbang berbaur dalam kemajemukan. Keberadaan kaum ateis, sekuler, dan orang-orang yang berpikir merdeka atau freethinker diyakini telah menjerumuskan Bangladesh ke dalam kesesatan. Sedangkan pengikut Syiah, Ahmadiyah, dan guru sufi dianggap berdosa karena mereka mewakili wajah agama yang "tercemar". Mereka menginginkan Islam yang "murni"-dan "yang murni" itu tentu saja mereka sendiri. Terakhir, penganut Kristen, orang asing, pendeta Hindu, dan homoseksual merupakan virus asing di antara masyarakat Bangladesh yang Islami.

Di hadapan polisi unit kontraterorisme di Dhaka, menurut koran itu, akhirnya Saiful Islam buka mulut juga. Ada dua kelompok militan di balik rangkaian pembantaian itu. Mereka memilih sasaran dengan cermat, kalau bisa orang-orang yang pernah bikin tersinggung masyarakat fundamentalis Bangladesh. Dengan begitu, mereka sekaligus membangun dukungan dan solidaritas di kalangan orang berpikiran radikal.

Adalah kelompok Ansar al-Islam, kata Saiful Islam, yang mendorong rangkaian kekerasan itu. Inilah organisasi yang dipimpin ulama karismatik dan biasa menyiapkan rencana dengan matang. Grup ini memiliki 25 orang terlatih untuk melaksanakan "misi suci" di atas. Kedua, Jama'atul Mujahedeen Bangladesh, kelompok yang dilarang pada 2005 lantaran meledakkan 500 bom secara simultan di seantero negeri 11 tahun silam. Saiful Islam yakin, keduanya tak punya sangkut-paut dengan Al-Qaidah ataupun Negara Islam Irak dan Suriah (ISIS). "Sudah tugas kita untuk membunuh mereka," katanya.

* * * *

Tiga dasawarsa lebih Bangladesh di bawah pemerintahan militer yang bersimpati pada kelompok dan partai fundamentalis. Legasi ini tak pupus begitu saja ketika kemudian partai sekuler menang mutlak dalam pemilihan umum pada 2009. Di lingkungan masyarakat Bangladesh yang konservatif-religius, sekularisme tetap tidak bisa diterima.

Pemerintah sekuler yang berkuasa pun senantiasa berhati-hati menjaga sentimen ini. Mengambil jalan tengah, seraya mengutuk pembunuhan-pembunuhan itu sambil menekankan agar kalangan sekuler tidak mengkritik Islam, dan mengingatkan kelompok homoseksual bahwa berhubungan seks yang "tidak alami" merupakan pelanggaran kriminal.

"Politik telah berubah menjadi pertarungan kelompok-kelompok Islam lawan sekuler," kata Abdur Rashid, purnawirawan mayor jenderal dan Direktur Eksekutif Institut Studi Konflik, Hukum, dan Pembangunan di Dhaka. "Karena itu pemerintah sangat berhati-hati," katanya.

Di mata Saiful Islam, perkembangan ini tak akan terjadi jika Gerakan Shahbag yang dimotori sekelompok blogger tak muncul pada 2013. Sebuah gerakan protes yang menyerukan dihentikannya politik agama dan ditegakkannya hukum terhadap para penjahat perang di masa Perang Kemerdekaan 1971. Seperti halnya Peristiwa 1965 di Indonesia, bagi kelompok-kelompok radikal, kasus-kasus di masa perang kemerdekaan tidak boleh disentuh. Empat dari lima tokoh terpidana yang lantas dieksekusi bulan lalu adalah pemimpin partai Islam terbesar, Jamaat-e-Islami.

Gerakan dan partai Islam kembali mengisi ruang publik di bawah pemerintahan sekuler kini. Keberadaan mereka langsung terasa ketika seorang eksekutor dikirim untuk menghabisi seorang blogger yang menulis banyak artikel kritis terhadap Islam pada Februari 2013. Diilhami khotbah ulama Jasim Uddin Rahmani, sejumlah mahasiswa North South University mengunjungi tempat tinggal blogger yang dikenal dengan nama samaran Thaba Baba itu, lalu mengakhiri hidupnya. Sesuai dengan fatwa sang ulama, pada suatu malam Thaba Baba dibunuh mahasiswa yang juga anggota Ansar-al-Islam di luar tempat tinggalnya.

Dalam pengakuannya di pengadilan, salah seorang mahasiswa itu bercerita bagaimana mereka menemukan foto Thaba Baba di Facebook, kemudian mencocokkannya dengan wajah-wajah aktivis yang muncul dalam protes Gerakan Shahbag. Mereka menemukan Ahmed Rajib Haider, seorang arsitek berusia 31 tahun, sebagai Thaba Baba. Dua kali golok mahasiswa tersebut menghantam bagian belakang leher sang arsitek, sebelum akhirnya ia jatuh tertelungkup dan tak pernah bangun lagi.

Ansar al-Islam tak mau disalahkan begitu saja sebagai pembunuh. Kelompok ini, melalui jaringan sosialnya yang kuat, mulai menerbitkan tulisan-tulisan blogger Thaba Baba, seraya memposisikan diri sebagai pembela Islam terhadap si ateis, ketimbang pembunuh. Dua kali tulisan-tulisan Thaba Baba diterbitkan di media nasional, dan akibatnya pun luar biasa: sebagian masyarakat yang tadinya bersimpati kepada Gerakan Shahbag kini memusuhinya. Beberapa bulan kemudian dua blogger lagi dibunuh. Kali ini polisi cepat meringkus beberapa mahasiswa yang terlibat dalam eksekusi mengerikan itu. Mahasiswa yang juga anggota Ansar-al-Islam itu tak diketahui di mana rimbanya, tapi polisi menangkap ulama yang mengilhami tindakan tersebut.

* * * *

Menurut Saiful Islam, serangkaian penangkapan setelah pembantaian itu berhasil menghentikan Ansar al-Islam sepanjang 2013-2014. Namun, setahun berselang, sel-sel kelompok radikal ini bangkit lagi, dan rangkaian pembunuhan itu kembali menghantui masyarakat. Pada Februari tahun lalu, sel-sel Ansar menyerang Avijit Roy, 42 tahun, karyawan di perusahaan bioteknologi Amerika Serikat. Ia menjadi sasaran Ansar al-Islam karena menulis beberapa buku mengenai sains, agama, dan homoseksualitas, di samping juga mendirikan Mukto-Mona, sebuah situs kumpulan freethinker.

Dari pengakuan sejumlah anggotanya yang ditahan, didapat keterangan bahwa Ansar al-Islam telah mengubah taktik. Terkesan oleh demonstrasi brutal para pelajar madrasah pada 2013, mereka pun tak lagi merekrut mahasiswa untuk melaksanakan misi sucinya. Mereka menggunakan siswa madrasah yang fanatik untuk mengeksekusi korbannya. Indoktrinasi dan pelatihan terhadap para eksekutor baru ini, kata Saiful Islam, juga dilakukan lebih serius dan sistematis. Langsung dari tempat eksekusi, seorang senior menunjukkan cara mengayunkan golok. Adapun pistol digunakan untuk menakut-nakuti massa yang mengetahui kejadian itu.

Kelompok radikal lain, Jama'atul Mujahedeen Bangladesh, beroperasi di utara negeri dan sama sekali tak ada hubungan dengan Ansar, serta tidak seprofesional rekannya. Mereka melatih 50 sampai 100 siswa madrasah untuk menjadi eksekutor. Mereka dibagi ke dalam sel-sel kecil, masing-masing beranggotakan lima orang.

Namun Jama'atul Mujahedeen kemudian menciptakan sebuah blunder besar tatkala menghabisi lawan-lawannya. Dukungan publik merosot karena korbannya adalah tokoh-tokoh yang disukai masyarakat. Termasuk seorang dokter yang mengabdikan ilmunya secara gratis bagi masyarakat desa, dan seorang guru bahasa Inggris yang tak pernah berkata buruk tentang Islam. Sekarang Jama'atul Mujahedeen lebih dipandang sebagai musuh publik ketimbang pembela Islam.

Idrus F. Shahab (The New York Times, BBC, The Guardian)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus