Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ZAK Reynolds, 20 tahun, masih merasa galau. Sepekan menjelang referendum Brexit, pemuda asal London ini belum menjatuhkan pilihan. Ia mengaku bingung karena sikap berbeda orang tuanya. Ayahnya memilih "Ya", sedangkan ibunya mengatakan bakal mencoblos "Tidak". "Ada banyak propaganda," kata Reynolds.
Rasa bimbang juga menghampiri Sam Hemphill. Seperti Reynolds, mahasiswa teknik dari Swindon di barat daya Inggris ini ragu. "Saya merasa semua fakta dan angka dalam kampanye dimanipulasi. Saya jadi sulit memilih," ujarnya, seperti diberitakan harian The New York Times. Namun Hemphill, 24 tahun, mengatakan cenderung memilih Uni Eropa.
Bagi warga Inggris Raya, pekan ini bakal menjadi momen yang mendebarkan. Bukan hanya karena tim sepak bola kebanggaan mereka tengah berlaga di Piala Eropa di Prancis. Jutaan rakyat Inggris Raya, yang mencakup Inggris, Skotlandia, Wales, dan Irlandia Utara, juga bakal mengikuti referendum pada 23 Juni.
Tempat pemungutan suara akan dibuka sejak pukul 07.00. Selama 15 jam, penduduk Inggris Raya di atas usia 18 tahun dapat memilih. Warga Inggris di 53 negara persemakmuran, seperti Australia, Kanada, India, dan Afrika Selatan, juga bisa turut serta. Suara mereka akan menentukan nasib Inggris, apakah tetap bergabung dengan Uni Eropa atau Brexit, akronim dari British exit alias hengkang dari komunitas 28 negara di Benua Biru.
Untuk pertama kali dalam 41 tahun, rakyat Inggris kembali terbelah. Pada 1975, sebanyak 66 persen penduduk mantap mendukung keanggotaan Inggris dalam Komunitas Ekonomi Eropa--cikal-bakal Uni Eropa. Saat itu referendum digagas oleh perdana menteri dari Partai Buruh, Harold Wilson. Tapi pemimpin yang membawa Inggris pertama masuk Uni Eropa dua tahun sebelumnya adalah Edward Heath, pentolan Partai Konservatif.
Kali ini situasi berbalik. David Cameron, perdana menteri dari Partai Konservatif, menjadi penggagas jajak pendapat. Pria 49 tahun ini adalah pemimpin gerbong pro-Uni Eropa. Referendum adalah janji kampanye Cameron saat ia memenangi pemilihan umum tahun lalu. Sejak itu ia menyerukan kepada warga Inggris untuk menolak Brexit. "Suara Anda menentukan masa depan negara ini," ucapnya dalam wawancara dengan The Independent.
Cameron mengajukan sejumlah argumen. Menurut dia, skenario Brexit akan berdampak serius pada keamanan Inggris Raya. Terlebih Eropa tengah menghadapi krisis akibat pengungsi, yang memunculkan perdebatan ihwal ancaman terorisme. "Keamanan Inggris dan kawasan akan terancam jika kekuatan militer terbesar di Eropa (Inggris) keluar dari Uni Eropa," ujar Cameron dalam pidato pada 10 Mei lalu.
Sederet pemimpin negara besar bahkan telah mewanti-wanti Cameron. Amerika Serikat, misalnya, mengingatkan dampak Brexit terhadap mundurnya kerja sama perdagangan kedua negara. "Fokus kami saat ini adalah negosiasi dengan blok besar, Uni Eropa," kata Presiden Amerika Barack Obama. Kanselir Jerman Angela Merkel berkomentar senada: "Satu negara sendiri tidak akan dapat mencapai hasil yang baik seperti di Uni Eropa."
BAGI David Cameron, meyakinkan rakyat ternyata tidak mudah. Pro-kontra hingga pekan lalu masih dinamis. Namun, menurut sejumlah survei nasional, publik Inggris rupanya cenderung memilih Brexit. Koran The Independent, misalnya, mengacu pada hasil sigi lembaga ORB, menyebutkan 55 persen responden memilih keluar dari Uni Eropa. "Ini sangat menarik karena 12 bulan lalu kubu pro-Uni Eropa unggul."
Hasil survei BBC News juga senada. Sebanyak 49 persen responden ingin Inggris hengkang dari Uni Eropa. Dalam satu bulan, angka pendukung Brexit naik 7 poin. Sedangkan pro-Uni Eropa hanya 45 persen, naik 1 poin. Selisih angka lebih tipis ditunjukkan oleh sigi The Economist, yaitu 44 persen memilih Brexit versus 42 persen. "Dari responden yang menolak Brexit, mayoritas adalah kaum muda," begitu versi The Economist.
Kaum muda menjadi segmen pemilih yang gencar digarap dalam kampanye. Pew Research Center, dalam sigi pekan lalu, menyatakan 57 persen dari penduduk berusia 18-30 tahun ingin tetap di Eropa. Anak muda Inggris, menurut survei itu, umumnya nyaman dengan masyarakat multikultural. Mereka juga ingin menikmati kesempatan bekerja dan pelesiran di 28 negara Uni Eropa tanpa harus repot mengurus visa.
"Apakah kita terdaftar untuk memilih?" kata Priya Patel, seorang praktisi medis, bertanya kepada temannya di sela antrean di luar sebuah teater di London timur. Dengan cuek, perempuan 25 tahun ini menjawab ala kadarnya saat The New York Times bertanya ihwal pilihannya dalam referendum. "Oh, pasti," ujarnya, mendukung Inggris tetap di Uni Eropa.
Demografi calon pemilih menjadi hal krusial. Menurut data Komisi Pemilihan Inggris, sejak Mei lalu terdapat lebih dari 1,35 juta orang yang mendaftar untuk memilih secara online. Dari jumlah itu, 763.183 pemilih berusia di bawah 34 tahun. "Mereka yang paling mungkin untuk mendukung Inggris tetap di Uni Eropa," menurut The Independent.
Namun Scott Townsin, 26 tahun, seorang pengkampanye anti-Brexit, mengaku lebih sulit merangkul pemilih muda. Terlebih kaum muda Inggris cenderung tak acuh dengan politik. "Anda harus lebih keras (berkampanye), Anda harus bersaing dengan merek, teman-teman favorit, Instagram, Facebook, apa pun untuk mendapat perhatian mereka," tuturnya.
Berbeda dengan pemilih yang lebih tua. Mereka cenderung mengambil keputusan berdasarkan informasi dari media tradisional. Hanya 38 persen dari pemilih di atas 50 tahun yang mendukung Uni Eropa. "Semua uang kita dikirim ke Belgia, tapi mereka yang mengatur kita," kata Ashleigh Breedy, merujuk pada Brussels, ibu kota Belgia, tempat Komisi Uni Eropa berkantor.
Breedy, 34 tahun, seorang penjual bunga, menilai keanggotaan di Uni Eropa hanya akan mengebiri kedaulatan Inggris. "Apakah Belgia juga akan mendikte Ratu (Elizabeth II) tentang apa yang harus dilakukan?" ujarnya sembari mengisap rokok dan meneguk sekaleng Red Bull. "Jika memungkinkan untuk pergi, sebaiknya kita angkat kaki."
Menurut pendukung Brexit, Inggris selama ini lebih banyak menangguk mudarat. Itu sebabnya kampanye Brexit menyerukan kendali lebih besar terhadap arus pengungsi serta kedaulatan politik dan ekonomi nasional. "Saya ingin keluar dari kediktatoran Uni Eropa," kata Charlie Carline, 31 tahun, dalam pesan Facebook. Carline akan berada di Prancis pada hari referendum. Namun ia memastikan bakal memberikan suara via pos.
Wajar bila pemerintah Inggris panik. Seiring dengan meningkatnya dukungan terhadap Brexit, indeks pasar saham terus "tenggelam". Menteri Keuangan George Osborne sampai harus campur tangan. Ia memperingatkan Brexit bisa memicu kenaikan pajak dan pemotongan belanja negara. Selain itu, keluar dari Uni Eropa dapat berdampak pada pemangkasan dana subsidi sekolah, rumah sakit, dan tentara.
"Berhenti dari Uni Eropa akan memukul investasi, menyakiti keluarga, dan merugikan ekonomi Inggris," ujar Osborne pada Rabu pekan lalu. Menurut dia, Inggris berpotensi kehilangan 30 miliar pound sterling (sekitar Rp 568 triliun) bila hengkang dari Uni Eropa. "Saya harus bertanggung jawab menjaga stabilitas keuangan negara."
PECAH pendapat menjelang Brexit tak hanya melanda awam, seperti di keluarga Zak Reynolds. Elite politik di Inggris juga terbelah. Di parlemen, nyaris separuh dari anggota partai penguasa, Partai Konservatif, serta beberapa anggota partai oposisi, Partai Buruh dan Partai Uni Demokratik, mendukung Brexit. Di kabinet, lima menteri berbeda haluan dengan Perdana Menteri David Cameron.
Salah seorang menteri pro-Brexit adalah Michael Gove. Selain menjabat Menteri Kehakiman, ia tokoh di Partai Konservatif. Gove, 48 tahun, bersama mantan Wali Kota London Boris Johnson bahu-membahu melancarkan kampanye Brexit. Sebagai penganjur Brexit, kedua pentolan Partai Konservatif ini mendapat julukan "The Brexit Boys".
Dalam isu Brexit, Gove dikenal sebagai penentang utama Cameron. Lulusan Universitas Oxford ini mengawali karier sebagai jurnalis di beberapa media, seperti BBC dan The Times. "Dia memang selalu menjadi seorang Euroskeptik," kata Rosemary Righter, kepala penulis di The Times ketika Gove mulai bekerja pada 1996. Euroskeptik adalah istilah untuk para penentang Uni Eropa. Dalam kasus Inggris, pro-Brexit.
Kebencian Gove terhadap Uni Eropa terpupuk sejak 1970-an. Saat itu bisnis perikanan ayahnya runtuh. Keluarga Gove menyalahkan Uni Eropa, yang membentuk pasar tunggal bagi negara anggotanya, sebagai biang kerok. "Saya melihat kebanggaan ayah dan kakek saya dalam bisnis mereka lenyap," ujar Gove kepada BBC, seperti dikutip Politico.
Gove menambahkan, waktu itu ia masih anak sekolah. "Saya tidak tahu apa yang akan saya lakukan di masa depan. Tapi kejadian itu membekas di pikiran saya," tuturnya. Bahkan, dalam wawancara di Sky News, Gove mengutuk Uni Eropa sebagai "mesin penghancur pekerjaan" yang dijalankan oleh "para elite pencibir".
Masuknya Gove ke barisan pro-Brexit membuat David Cameron kecewa. Cameron dan Gove tidak hanya dikenal sebagai kawan dekat dan sekutu lama di politik. Gove adalah ayah baptis dari anak ragil Cameron, Ivan. Istri Cameron dan Gove juga berteman baik. Begitu pula anak mereka sering bermain bersama.
"Ia tidak terkejut, tapi kecewa. Cameron selama ini percaya Michael (Gove) tidak akan berkampanye untuk Brexit," kata seorang bekas ajudan di Downing Street 10--sebutan kantor Perdana Menteri Inggris. Namun keputusan Gove sejak Februari lalu itu disambut hangat oleh Rupert Murdoch. Taipan media Inggris ini saat itu mencuit di Twitter, "Sahabat selalu paham bahwa prinsip selalu melampaui hubungan personal."
Dukungan Murdoch juga dituangkan lewat salah satu media miliknya, The Sun. Harian dengan oplah terbesar di Inggris ini gencar berkampanye untuk Brexit. Dalam edisi Selasa, 14 Juni lalu, misalnya, The Sun memuat berita di halaman sampul berjudul "BeLEAVE in Britain". Kata "leave" merujuk pada gerakan Brexit, kebalikan dari kampanye "remain".
"The Sun mendesak semua orang untuk memilih 'leave'. Kita harus membebaskan diri dari diktator Brussels," demikian editorial The Sun. Di luar Uni Eropa, menurut harian dengan oplah 1,7 juta ini, Inggris akan lebih kaya, aman, dan bebas membentuk nasib sendiri, seperti Amerika, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan banyak negara demokrasi besar lain.
Langkah David Cameron makin berat karena ada Partai Kemerdekaan Inggris Raya (UKIP). Partai sayap kanan anti-imigran ini sejak awal menyerukan Brexit. Pada pemilu 2015, UKIP menangguk hampir 4 juta suara (13 persen). "Kita harus menantang strategi renegosiasi Perdana Menteri," ujar Ketua UKIP Nigel Farage, merujuk pada negosiasi Inggris dengan Uni Eropa, terutama dalam isu kedaulatan parlemen, biaya, dan kontrol perbatasan.
Mahardika Satria Hadi (The New York Times, The Independent, Politico, The Guardian, BBC News, The Telegraph, The Economist)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo