EMPAT tahun yang lalu Mikhail Gorabchev menanam perestroika dan glasnost, kini ia menuai aksi pemogokan dan perang antaretnis. Tak heran jika, Ahad pekan ini, orang nomor satu di Kremlin ini tampak sangat lelah dan - tak seperti biasanya - sulit mencari kata-kata tepat menjawab wawancara di televisi Moskow yang diliput secara nasional. Dalam wawancara itu, belum lagi 24 jam, Gorbachev mengulang permintaannya kepada buruh tambang batu bara di Donbas, Ukraina, agar segera mengakhiri aksi mogok mereka. Gorbachev memang pantas puyeng. Berbeda dengan buruh tambang batu bara di Siberia yang mogok pada 11 Juli silam dan yang Sabtu pekan lalu sudah kembali bekerja, para buruh di Ukraina tak tergiur oleh janji Kremlin mengabulkan daftar panjang tuntutan--antara lain pemerintah harap segera memasok bahan makanan dan barang-barang kebutuhan sehari-hari, kenaikan upah US$ 5() per bulan, pemberian bonus US$ 100, pemberian hak otonomi ekonomi yang lebih besar kepada buruh, termasuk diikutsertakannya mereka dalam mengatur tambang dan pabrik. Buruh Ukraina tampaknya ingin jaminan pemenuhan janji yang lebih kuat. Mereka menuntut bertemu sendiri dengan Gorbachev. Kata A. Kostenko, salah seorang pemimpin panitia mogok di Donbas, "Sewaktu aksi mogok musim dingin lalu, pemerintah juga segera menjanjikan pemenuhan tuntutan. Tapi sampai kini semua tak berwujud." Tampaknya, penampilan Gorbachev paling akhir di TV cukup memberi kesan baik. Presiden Uni Soviet itu sejauh ini tak sekali pun menyalahkan aksi pemogokan para buruh tambang batu bara itu. Bahkan, beberapa kali ia memuji para pemogok "telah melemparkan pertanyaan dengan tepat sekali." Tapi itulah politik. Menurut sejumlah pengamat, sikap lunak pemimpin Kremlin disebabkan ia melihat kesempatan bagus untuk menendang penghalang program perestroika-nya. Yakni tuntutan para buruh agar pemerintah lokal - maksudnya birokrat - dan pejabat partai tidak lagi terlalu banyak campur tangan dan mengambil keuntungan dari industri batu bara. Tuntutan ini memberi kesempatan bagi Gorbachev untuk menyingkirkan para pejabat menengah partai dari kelompok konservatif, yang masih kuat bercokol di daerah-daerah industri itu. Karena itu, harapan Gorbachev agar "revolusi dari bawah " dapat membantu "revolusi dari atas"-nya dapat terwujud. Bisa jadi pendapat para pengamat itu benar. Mengingat media Uni Soviet secara gamblang mellyiarkall terus-menerus aksi mogok itu. Harian Komsomolskaya Pravda, misalnya, pekan lalu menuliskan laporan nasib buruk tambang-tambang batu bara. Disebutkan lima tambang di Mezdurechnesk, dalam lima bulan terakhir meraih laba US$ 46 juta, tapi cuma US$ 3,4 juta yang bisa digunakan untuk kebutuhan lokal. Harian tersebut juga mengungkapkan soal rawannya keselamatan kerja. Dalam tempo sembilan tahun, tulisnya, sudah 10.000 buruh tambang batu bara tewas karena kecelakaan dalam perut bumi. Jumlah ini, konon, sama dengan korban jiwa di pihak pasukan Soviet selama perang Afghanistan dalam periode yang sama. Tapi memberi angin terlalu banyak kepada para pemogok juga bisa membahayakan. Para buruh sektor lain bisa iri hati. Gorbachev sendiri sudah mengungkapkan kekhawatirannya bakal adanya aksi mogok oleh buruh kereta api mulai 1 Agustus bulan depan. Soalnya, bukan hanya para buruh tambang batu bara yang menghadapi kesulitan hidup. Kosongnya toko-toko makanan hampir merata di seantero Uni Soviet. Bahkan jika dibandingkan dengan upah rata-rata buruh di Uni Soviet yang hanya 220 rubel per bulan, gaji para buruh tambang batu bara yang 500 rubel sudah terhitung besar. Buruh tambang batu bara selama im dikenal sebagai "buruh elite", bisa jadi karena produksi batu bara dianggap vital dalam industri Uni Soviet. Dampak semua itu adalah, kini para buruh tambang batu bara tampaknya mulai sadar akan kekuatan mereka. Bahkan mereka mulai menyamakan aksi mereka dengan gerakan serikat buruh bebas Solidari tas di Polandia. "Solidaritas juga memulai dengan tuntutan ekonomi, baru kemudian tuntutan politik," kata Gennady Mikhailets. Gennady, salah seorang dari 26 panitia aksi mogok, di Kuzbas, Siberia - salah satu pemogokan awal dua pekan silam. Sementara itu, kesulitan ekonomi tak cuma membuat buruh mogok, tapi juga kerusuhan etnis berdarah. Di Negara Bagian Georgia, baku hantam antara etnis Abkhazia, yang minoritas, dan warga Georgia, yang mayoritas, yang dimulai Sabtu dua pekan silam, sejauh ini sudah menelan korban 21 jiwa. Hingga saat ini, kerusuhan itu masih belum dapat dipadamkan kendati 4.000 pasukan pemerintah sudah diterjunkan dan UU Darurat sudah diberlakukan di wilayah yang sedang bergolak itu. Kedua pihak yang bermusuhan - yang bersenjata tajam, kebanyakan senapan berburu - bersikap beringas dan liar. Mereka menyerang kantor-kantor polisi dan merampas sejumlah besar senjata, bahkan juga senjata otomatis. Karena itulah, sulit bagi petugas keamanan membekuk para perusuh. Inilah kerusuhan etnis terakhir dari rangkaian bentrokan berdarah antaretnis, yang belakangan sering melanda Uni Soviet. Tak seperti halnya aksi mogok para buruh, dalam kerusuhan antaretnis ini Mikhail Gorbachev tak pernah terdengar memujinya. Ia pun rupanya mengalami kesulitan mendamaikan mereka.Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini