ADA kejutan kecil yang tiba-tiba mengganggu ketenteraman Sultan Hassanal Bolkiah. Kedudukannya sebagai perdana menteri (sekaligus menteri pertahanan) mulai dipertanyakan. Sekjen Brunei National Democratic Party (BNDP), Abdul Latiff Chuchu, Kamis pekan lalu angkat suara di hadapan para wartawan di Malaysia. "Kami menyokong dan mencintai Sultan sebagai raja, tapi bukan sebagai perdana menteri," katanya. Maka, "Ia harus turun dari kedudukannya dalam politik, untuk memberi jalan bagi lajunya demokrasi, sesuai dengan janjinya pada hari proklamasi kemerdekaan." Menurut Chuchu dan Ketua BNDP Abdul Latif Hamid, 90% dari 230 ribu jiwa warga Brunei sudah letih di bawah pemerintahan otokrasi. Oleh karena itu, pihaknya akhir bulan lalu mengirim surat ke alamat Sultan, ang isinya menuntut pengunduran diri Sultan (sebagai perdana menteri). BNDP juga minta pemerintah mencabut UU Darurat yang sudah diberlakukan sejak 1962, setelah pemberontakan People's Party of Brunei yang kekiri-kirian. Demi demokrasi, BNDP minta agar pemilu segera diselenggarakan. "Jika pemerintah sampai akhir tahun ini tidak juga mengumumkan niatnya untuk sebuah pemilu, maka kami akan melakukan tekanan melalui jalur internasional," kata Latif Hamid. Kabarnya, partai oposisi BNDP sudah pula berkirim surat ke Komisi Hak Asasi Manusia PBB. Jika sekarang mereka buka mulut di Malaysia, tak lain karena koran satu-satunya di Brunei, Borneo Bulletin, terlalu diatur oleh keluarga kerajaan. Brunei, merdeka dari Inggris Januari 1984 menyediakan peluang bagi dua kelompok partai untuk tumbuh -- setelah People's Party tamat riwayatnya. Keduanya: BNDP (tercatat sejak Mei 1985) dan National United Party (PPKB sejak Februari tahun berikutnya). Peluang untuk tumbuh ada, karena Sultan Bolkiah bersikap lebih terbuka -- tidak seperti almarhum ayahnya Sir Muda Omar Ali Saifuddin, dulu Sementara BNDP bersikap radikal, PPKB cenderung mengaminkan apa pun kebijaksanaan pemerintah. BNDP memang menghendaki Brunei berkembang "sebagai monarki Melayu Muslim yang bebas dan demokratis". Suara puak yang dipimpin pengusaha itu mendesak pula agar pemerintah menaikkan jumlah kepemilikannya pada Brunei Shell Petroleum (BSP), dari 50% menjadi 70%. Lalu, gaji pegawai (sejumlah 31 ribu orang) di sektor umum, yang kurang dari US$ 2.857 per tahun, mereka minta ditinjau kembali. Yang ini tampaknya mengalami hambatan dengan sendirinya. Ekspor migas, 99% pemasok devisa, makin turun, dari US$ 4,69 milyar (1980) menjadi US$ 1,91 milyar tahun lalu. Atas semua tuntutan itu, Sultan Sir Muda Hassanal Bolkiah, seperti yang sudah-sudah, ternyata hanya diam membatu. Tak ada sambutan. Mohamad Cholid, dari kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini