Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Harga sebuah perdamaian

Uu otonomi tamil disahkan parlemen. hampir sepertiga dari wilayah sri lanka resmi dan sah menjadi wilayah bangsa tamil. gerilyawan macan tamil belum puas. mahasiswa, oposisi dan umat budha protes.

21 November 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JAM malam masih diberlakukan di Jaffna, tetapi 200 ribu pengungsi sudah kembali ke rumah-rumah mereka. Seiring dengan itu UU otonomi Tamil telah disahkan parlemen Kamis malam pekan lalu. Dengan demikian, wilayah timur dan utara, atau hampir sepertiga dari wilayah Sri Lanka (65.610 km2), resmi dan sah menjadi wilayah bangsa Tamil (13% dari 16 juta penduduk). Secara teoretis, dengan pemberian otonomi itu lumerlah alasan gerilyawan Tamil untuk meneruskan perjuangan mereka. Tetapi harga untuk menebus perdamaian ini tidak murah. India telah mengerahkan tak kurang dari 20.000 pasukannya, 240 orang di antaranya tewas di tangan gerilyawan Macan Tamil. Sampai hari-hari ini pun Macan Tamil (LTTE) masih belum berhenti menumpahkan darah -- bahkan membantai sesama Tamil dari golongan lain. Pekan lalu, pada hari otonomi disahkan, sebuah ranjau meledak di lunas sebuah bis di Cheddikulam, Distrik Mannar. Yang terbunuh 25 penumpang, semuanya Tamil. Di Kolombo, Presiden Jayewardene tidak hanya mesti ngotot mengarahkan United National Party -- yang berkuasa -- untuk mendapatkan dua pertiga suara dalam parlemen, sehingga RUU otonomi Tamil itu diterima. Ia, mau tak mau, mesti pula menghadapi oposisi dan sejumlah aksi protes yang meledak, bersama bom mobil, berakibat 32 orang tewas, 106 cedera. Aksi mahasiswa telah membakar patung Jayewardene, sementara jaringan listrik dipotong, dan jalur kereta api dibongkar. Barisan rahib Budha ikut bergabung dengan mahasiswa, konon karena yakin, orang-orang Tamil dengan Hindu sebagai agama mereka -- merupakan ancaman bagi umat Budha Sri Lanka. Pemerintah menuduh kelompok Marxis Janatha Vimukthi Peramuna (JVP, Barisan Pembebasan Rakyat), yang beranggota sekitar 100 ribu dan resminya sudah dilarang, sebagai biang keladi segala kericuhan itu. Mereka tergolong kelompok Sinhala garis keras. Senada dengan suara demonstran, ketua partai oposisi Freedom Party Anura Bandaranaike menuduh bahwa Jayewardene telah sekadar menjadi pion India dan menggadaikan negeri ini ke Rajiv Gandhi. "Maka, atas nama kepentingan rakyat, kewajiban moral pemerintah adalah menyelenggarakan referendum." Serentak dengan itu, tebusan lain yang harus dibayar Jayewardene adalah mundurnya Menteri Pertanian Gamani Jayasuriya dari kabinet, sekaligus dari keanggotaannya di parlemen. M.C. dari kantor berita

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus