JAM malam masih diberlakukan di Jaffna, tetapi 200 ribu pengungsi sudah kembali ke rumah-rumah mereka. Seiring dengan itu UU otonomi Tamil telah disahkan parlemen Kamis malam pekan lalu. Dengan demikian, wilayah timur dan utara, atau hampir sepertiga dari wilayah Sri Lanka (65.610 km2), resmi dan sah menjadi wilayah bangsa Tamil (13% dari 16 juta penduduk). Secara teoretis, dengan pemberian otonomi itu lumerlah alasan gerilyawan Tamil untuk meneruskan perjuangan mereka. Tetapi harga untuk menebus perdamaian ini tidak murah. India telah mengerahkan tak kurang dari 20.000 pasukannya, 240 orang di antaranya tewas di tangan gerilyawan Macan Tamil. Sampai hari-hari ini pun Macan Tamil (LTTE) masih belum berhenti menumpahkan darah -- bahkan membantai sesama Tamil dari golongan lain. Pekan lalu, pada hari otonomi disahkan, sebuah ranjau meledak di lunas sebuah bis di Cheddikulam, Distrik Mannar. Yang terbunuh 25 penumpang, semuanya Tamil. Di Kolombo, Presiden Jayewardene tidak hanya mesti ngotot mengarahkan United National Party -- yang berkuasa -- untuk mendapatkan dua pertiga suara dalam parlemen, sehingga RUU otonomi Tamil itu diterima. Ia, mau tak mau, mesti pula menghadapi oposisi dan sejumlah aksi protes yang meledak, bersama bom mobil, berakibat 32 orang tewas, 106 cedera. Aksi mahasiswa telah membakar patung Jayewardene, sementara jaringan listrik dipotong, dan jalur kereta api dibongkar. Barisan rahib Budha ikut bergabung dengan mahasiswa, konon karena yakin, orang-orang Tamil dengan Hindu sebagai agama mereka -- merupakan ancaman bagi umat Budha Sri Lanka. Pemerintah menuduh kelompok Marxis Janatha Vimukthi Peramuna (JVP, Barisan Pembebasan Rakyat), yang beranggota sekitar 100 ribu dan resminya sudah dilarang, sebagai biang keladi segala kericuhan itu. Mereka tergolong kelompok Sinhala garis keras. Senada dengan suara demonstran, ketua partai oposisi Freedom Party Anura Bandaranaike menuduh bahwa Jayewardene telah sekadar menjadi pion India dan menggadaikan negeri ini ke Rajiv Gandhi. "Maka, atas nama kepentingan rakyat, kewajiban moral pemerintah adalah menyelenggarakan referendum." Serentak dengan itu, tebusan lain yang harus dibayar Jayewardene adalah mundurnya Menteri Pertanian Gamani Jayasuriya dari kabinet, sekaligus dari keanggotaannya di parlemen. M.C. dari kantor berita
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini