PERDANA Menteri Jepang Morihiro Hosokawa tidak hanya mengumandangkan reformasi di dalam negerinya, tapi juga menawarkan hal yang sama kepada Sidang Majelis Umum PBB yang dimulai pekan lalu. Alternatif reformasi yang diucapkan oleh Hosokawa dalam pidatonya di New York itu terutama ditujukan untuk Dewan Keamanan. Tak sulit ditebak, Jepang memang sedang berusaha menjadi anggota tetap Dewan Keamanan. Memang sudah sepantasnya sekarang ini PBB melakukan pelbagai penyesuaian dengan perkembangan dunia, supaya tidak sekadar menjadi tumpuan hidup para birokrat yang lamban. Ketika perang dingin sudah usai dan pertumbuhan ekonomi di negara-negara yang bukan pemenang dalam Perang Dunia II (yakni Jepang dan Jerman) ternyata lebih berpengaruh terhadap dunia, susunan Dewan Keamanan pun sudah selayaknya diubah. Selama ini anggota tetap Dewan Keamanan terdiri dari negara yang unggul dalam Perang Dunia II, yakni Inggris, Prancis, Rusia, AS, dan ditambah satu negara lagi yang unggul dalam jumlah penduduk: RRC. Kelima negara ini memiliki hak veto yang tak dimiliki anggota lainnya, yakni 10 negara yang status anggotanya tak tetap, yang dipilih secara bergiliran untuk masa dua tahun. Perkembangan terakhir menunjukkan bahwa komposisi semacam itu dirasakan tidak adil. Prancis, Inggris, dan AS terlalu mendominasi keputusan. RRC lebih banyak menggunakan posisinya untuk urusan dalam negeri sendiri. Seiring dengan itu, Rusia, sebagai bekas Uni Soviet, tampaknya sudah tidak layak menempati posisi itu sebagai wakil blok Eropa Timur. Reformasi dalam PBB yang diusulkan oleh Hosokawa, antara lain, persyaratan anggota tetap diubah. Jepang, yang kalah dalam Perang Dunia II, merasa sudah waktunya duduk sebagai anggota tetap. Kenyataannya, para pemenang perang itu tidak berdaya mengatur keamanan dunia. Boleh dikatakan AS bahkan beberapa kali ikut memperkeruh situasi. Ketiga anggota tetap (AS, Inggris, dan Prancis) menghadapi problem keamanan suatu wilayah lebih banyak bergantung pada kepentingan mereka. Suatu hal yang menyebabkan banyak pihak mengkritik mereka menggunakan standar ganda. Contohnya, ketika mereka menghadapi masalah Irak (yang berkaitan dengan sumber minyak di Teluk Parsi), dan Somalia (yang tidak menggugah minat karena miskin). Kecuali itu, Jepang kini merupakan penyumbang dana terbesar sesudah AS pada PBB. Untuk urusan lembaga-lembaga bergengsi seperti Universitas PBB, contohnya, pemerintah Tokyo langsung bersedia menanggung dana pembangunannya sebesar US$ 100 juta, dan operasi sehari-hari (US$ 36 juta untuk tahun 1992). Jepang juga masih bersemangat memberikan tanah dan dananya kalau kantor Program Lingkungan PBB mau ditempatkan di negeri itu. Semua ongkos tersebut memang tak lepas dari upaya penebusan untuk mengibarkan citra baru Jepang, yang akhirnya bersedia minta maaf kepada para korbannya di masa Perang Dunia II. Skenario yang barangkali akan diterapkan: Jepang masuk, disusul Jerman, yang akan bergiliran dengan Prancis dan Inggris sebagai wakil Persatuan Eropa. Dan supaya lembaga itu tidak didominasi negara kaya (kelompok Utara), perlu pula tambahan kursi untuk wakil negara-negara Selatan. Siapa mereka, belum ada suaranya. Bisa jadi, negara-negara Selatan diwakili oleh negara ketua Gerakan Nonblok. Mohamad Cholid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini