SEKRETARIS Jenderal PBB Boutros Boutros Ghali hari-hari ini kebingungan. Sejak berakhirnya Perang Dingin, konflik bersenjata tampaknya menjamur di mana-mana. Perang saudara belum teratasi di Angola dan Haiti, kerusuhan meledak di Somalia, Bosnia, dan di kawasan Asia Tengah. Kini ada 33 pertikaian tersebar di seluruh dunia, dan semuanya membutuhkan penanganan PBB. Tetapi, sampai saat ini, hanya 15 kasus yang paling serius dapat diperhatikan badan dunia itu. ''PBB telah mencapai titik ketahanannya, sebab tuntutan para anggotanya bertambah banyak, tapi sumbangan mereka tidak masuk,'' kata Boutros Ghali pada pembukaan Sidang Umum PBB di New York pekan lalu. Kekhawatiran Boutros Ghali itu bisa dipahami. Guna menempatkan 80.000 pasukan di daerah-daerah pertempuran, ia membutuhkan dana sebesar US$ 3,6 miliar untuk tahun ini saja. Sementara itu, hanya 10 di antara 184 negara anggota PBB yang sudah menyetorkan sumbangan wajibnya. Untuk melengkapi misi- misi perdamaiannya, kini PBB menanggung ketekoran sekitar US$ 1,9 miliar. Dari jumlah itu, sebagian besar adalah tunggakan Amerika Serikat dan Rusia. Mungkin akibat kekurangan dana ini, operasi militer PBB, apakah itu di Bosnia, Somalia, atau Angola, sering dikritik tajam. ''Program perdamaian PBB sangat amatiran,'' kata Duta Besar Amerika untuk PBB, Madeleine Albright, di New York belum lama ini. ''Pasukan yang dikirim untuk mengawasi suasana kurang siap, kurang direncanakan, selalu direkrut secara terburu- buru,'' katanya. Kritik terhadap PBB itu ada benarnya. Kendati ada bagian khusus yang menangani operasi-operasi perdamaian, agaknya kurang ada kebijaksanaan yang tegas, khususnya tentang mandat, sistem merekrut tenaga, dan peraturan permainan atau rules of engagement yang harus dituruti pasukan PBB di lapangan. Faktor- faktor itulah yang menyebabkan misi PBB untuk menjamin perdamaian tampak bolong di sana-sini. Adalah kurang tegasnya mandat yang merupakan masalah terbesar di lapangan. Ketika perang masih terkait pada persaingan Barat- Timur, posisi PBB sebagai pendamai relatif mudah. Jika terjadi suatu konflik, Dewan Keamanan biasanya mengadakan sidang darurat. Hasilnya adalah gencatan senjata dan pengiriman pasukan PBB sebagai penengah antara kedua militer berlawanan. Ketika terjadi tembak-menembak antara tentara Mesir dan Israel, India dan Pakistan, serta Iran dan Irak, tugas pasukan PBB cukup mengamati situasi dan menjaga keamanan. Kini, pasukan PBB lebih berurusan dengan gerilyawan ketimbang dengan tentara reguler. Dengan kelompok Khmer Merah di Kamboja maupun dengan pengikut Jenderal Aidid di Somalia, tentara PBB hari-hari ini sering terjebak. Soalnya, mandat pasukan damai itu pada prinsipnya melarang mereka menyerang. Bahkan, di beberapa tempat, mereka sama sekali dilarang menggunakan senjata kecuali untuk membela diri. Di Kamboja, pasukan Garuda XII, yang bertugas di bawah Otorita Sementara PBB di Kamboja atau UNTAC, sering terjebak dalam suasana serbasulit. Beberapa bulan lalu, satu peleton Garuda XII-B di Provinsi Kompong Thom terjebak di tengah pertikaian antara gerilyawan Khmer Merah dan tentara pemerintah Phnom Penh. ''Karena tidak bisa menggunakan senjata, kami cuma bisa melambaikan bendera putih,'' kata Kapten Aan Suestiana bercerita kepada TEMPO. Untunglah, akhirnya ia berhasil menyetop tembakan itu, dan mereka lolos dari bahaya. Lain lagi pengalaman pasukan Bulgaria di Kamboja. Mereka santai saja ketika sejumlah anggota Khmer Merah memasuki kampnya di suatu malam. Dan tetap membiarkan senjata tergeletak di mana-mana. Dalam keadaan kurang siap siaga itu, entah mengapa, para gerilyawan yang dikenal ganas itu menembaki tentara Bulgaria yang sedang istirahat. Akibatnya, tujuh orang tewas dan beberapa luka. Keterbatasan untuk menggunakan senjata itulah yang tampaknya terjadi pada pasukan PBB di Bosnia, hingga mereka kadang harus mundur padahal di depan perlu ada yang ditolong. Upaya menerobos blokade tentara-tentara setempat, agar konvoi bantuan kemanusiaan untuk masyarakat terpencil terancam, gagal terus sebelum pasukan damai itu dibolehkan menembak dan menggunakan tank-tank. ''Masalahnya, PBB sendiri tidak memiliki kebijaksanaan yang tegas mengenai penggunaan senjata sehingga pasukan damai di lapangan merasa kurang pengarahan dalam melaksanakan tugasnya,'' kata Ernest Lefever. Ia anggota Pusat Ethics and Public Policy di Washington, D.C, yang mengamati masalah operasi perdamaian PBB. ''Malangnya, sementara ketergantungan pada PBB makin tinggi, kekuatan PBB itu sendiri tidak jelas,'' kata Lefever. Kekuatan mestinya bergantung pada kualitas pasukan. Namun, faktor itu tampaknya salah satu kelemahan besar setiap operasi militer PBB. Sebab, kriteria yang dibutuhkan untuk menjadi anggota pasukan PBB tidak jelas. Akibatnya, ada pemerintah yang mengirim tentaranya yang berprestasi tinggi, ada pula yang mengirim tentara tanpa seleksi. Akibatnya, terdapat perbedaan yang besar antara satu pasukan dan pasukan yang lain, padahal mereka harus bekerja sama. Bisa dibayangkan kekeliruan yang sering terjadi, bukan saja soal urusan sehari-hari, tapi sampai soal mendasar, misalnya bahasa. Kasus yang paling tragis melibatkan seorang staf UNTAC berbangsa Jepang di Kompong Thom, Kamboja. Di suatu pagi hari, ketika orang itu membawa kendaraannya di jalan yang sepi, ia mendadak dipaksa berhenti oleh suatu gerombolan bersenjata. Apa yang terjadi direkonstruksi berdasarkan pembicaraan lewat radio komunikasi di mobilnya. ''Orang itu minta tolong lewat radionya ketika ia sadar pencegatnya orang-orang jahat. Malangnya, pertolongan dari sekitarnya, baik dari markas pasukan Garuda maupun dari pengamat militer lainnya, datang terlambat, yakni setelah ia terbunuh. Saya duga, karena yang merima panggilan radio komunikasi itu kurang memahami bahasa Inggris,'' kata seorang pejabat militer UNTAC. Adapun masalah yang paling menghambat operasi di lapangan adalah soal kepemimpinan. Kesulitannya, tentara mana yang mau dipimpin oleh komandan dari negeri lain? Di Kamboja, misalnya, suatu grup pengamat militer yang terdiri dari orang Selandia Baru, Australia, dan Inggris memaksa melewati Sungai Stung. Padahal, sehari sebelumnya, oleh komandan Garuda XII-B, mereka dilarang karena daerah itu dianggap penuh gerilyawan Khmer Merah yang agak tak menyukai orang asing. Akibatnya, kelompok pengamat militer itu ditangkap dan disandera Khmer Merah. Ada pasukan yang, kendati ditugaskan untuk bernaung di bawah komando PBB, masih hanya mengikuti perintah markas besarnya di negerinya sendiri. Itulah yang terjadi di Somalia ketika tentara Pakistan minta bantuan pada pasukan Italia karena diserang pasukan Jenderal Aidid. Kabarnya, tentara Italia tidak bergerak, menunggu perintah dari Roma. Maka, 20 tentara Pakistan tewas. ''Tragedi seperti itu bisa dihindarkan jika kebijaksanaan PBB lebih jelas dan tegas,'' kata Brian Urquhart, mantan ketua bagian operasi perdamaian PBB. Dalam tulisannya yang berjudul Agenda for Peace, Boutros Boutros Ghali mengatakan perlunya suatu pasukan gerak cepat khusus PBB, yang siap sedia dikirim ke mana pun dalam waktu singkat. ''Bisa jadi itu suatu pasukan infanteri ringan berjumlah 5.000 orang yang dilatih dan diperlengkapi khusus. Direkrut dari berbagai negara, tapi pemimpinnya harus orang PBB,'' kata Urquhart. Usul agar misi perdamaian PBB ditinjau kembali juga dipertimbangkan oleh Australia. Namun, pada dasarnya, operasi perdamaian PBB akan berhasil jika pihak yang saling berperang itu sendiri menghendaki damai. Kata Loridon, bekas wakil komandan PBB di Kamboja, ''Pemeliharan damai oleh PBB bukan penegakan damai, (karena itu akan lebih) berhasil jika mereka diundang yang berkepentingan, seperti halnya di Kamboja.'' Yuli Ismartono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini