Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Tanah milik siapa?

Ada kecenderungan, lahan tak lagi berfungsi sosial melainkan sebagai komoditi jualbeli. pemukiman di perkotaan tergusur demi superblok. ada baiknya bank tanah didukung semua pihak

2 Oktober 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

LEBIH dari seabad yang silam, persisnya di tahun 1885, seorang kepala suku Indian yang tercerabut dari lokasi huniannya semula bersurat kepada presiden Amerika Serikat Franklin Pierce: ''Bagaimana Anda bisa memperjualbelikan kehangatan lahan, desir angin, kesegaran udara, beningnya air, dan gemerisik dedaunan? Kita adalah bagian dari bumi, dan bumi itu juga bagian dari kita. Ide komersialisasi lahan itu sangat aneh bagi kami.'' Pemikiran kepala suku yang sederhana itu mirip dengan sikap orang Jawa yang tercermin dari pepatah-petitih warisan nenek moyang: ''sakdumuk bathuk saknyari bumi dilabuhi toh pati''. Artinya, demi harga diri dan sejengkal lahan, kalau perlu nyawa dipertaruhkan. Bila dilacak lebih jauh, Hippocrates pun 2.600 tahun yang lalu sudah mewaspadai adanya keterpautan yang kental sekali antara kesehatan dan kesejahteraan manusia dengan lahan dan lingkungan yang dihuninya turun-temurun. Lahan lebih dilihat sebagai common property atau socialized property, mengutamakan kepentingan bersama ketimbang interes pribadi. Pemanfaatan lahan selalu berlandaskan prinsip kebersamaan dan kekerabatan, sesuai dengan pola dan struktur kemasyarakatan yang berlaku, tidak lantas dikomersialisasikan. Dewasa ini, tampak sekali kecenderungan memperlakukan lahan tidak lagi sebagai aset yang memiliki fungsi sosial, melainkan sekadar sebagai komoditi yang diperjualbelikan dengan bebas. Sejarah yang bopeng pun berulang. Dulu yang tergusur penduduk asli Indian, sekarang penduduk kampung metropolitan yang jadi korban. Permukiman kampung yang padat pada lokasi yang strategis di pusat kota satu demi satu lenyap berguguran, beralih rupa menjadi superblok yang mewah. Penduduknya lantas ''bergerilya'' mencari lahan-lahan perkotaan yang tersisa. Pergulatan yang tak seimbang antara kaum berpunya yang serakah (the greedy) dan kaum papa yang kesrakat (the needy) berlangsung semakin dahsyat. Sungguh sangat ironis dan memilukan hati. Pada saat pemerintah tertatih-tatih menggalang dana dan daya untuk pembangunan RSS (kependekan dari rumah sangat sederhana, yang acap dipelesetkan menjadi rumah sangat sengsara), pada saat itu pula pihak swasta justru meraup keuntungan komersial yang fantastis dengan membangun apartemen atau condominium mewah. Bahkan sebelum bangunannya jadi, unit condo bergengsi yang bertarif ratusan juta rupiah itu sudah laku terjual. Padahal konon ada yang belum mendapatkan IMB (izin mendirikan bangunan) dan ada pula yang jelas-jelas tidak sesuai dengan planning kotanya. Siapa yang tidak risau menyimak tendensi para perencana pembangunan yang seyogianya berpegang pada kaidah perencanaan yang baik dan benar dalam membentuk kota (to form), tanpa segan-segan meluncurkan profesinya sekadar membebek (to conform) pada kepentingan penanam modal yang mati rasa. Dalam salah satu tulisannya tentang perubahan konsep pemilikan dan tata guna lahan untuk abad ke-21, terbit tahun 1992, Profesor Isaac Ofori dari Land Reform Training Institute melontarkan pula keprihatinannya bahwa ''the person who owns the private property can enjoy the powers of use, non-use, misuse, and even abuse''. Memang kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang memegang hak pemilikan lahan seolah bisa berbuat hampir apa saja yang diinginkannya pada lahan itu. Termasuk mengebor lahan dengan kedalaman tak terbatas untuk menyedot air, menggali tanah dan menimba mineral yang berdampak negatif pada lingkungan sekitarnya. Perlu disegarkan kembali pesan bijak yang terkandung dalam diktum Latin kuno: ''Sic utere tuo, ut alienum non laedus'' -- ''Gunakan milikmu sebatas tidak merugikan orang lain.'' Tekad dan upaya pemerintah merintis konsolidasi lahan, land pooling, dan land banking, agar bisa dilakukan penataan lahan sesuai dengan rencana, layak didukung segenap pihak. Barangkali kita bisa belajar dari negara jiran kita Singapura, yang berhasil menata kotanya tanpa banyak kesulitan karena 80% lahan dimiliki oleh pemerintah. Di Hong Kong bahkan konon seluruh lahan berada di tangan pemerintah. Dengan demikian, bisa dihindari adanya spekulasi dan komersialisasi lahan, yang hanya menguntungkan beberapa gelintir orang tertentu. Kalau toh sudah telanjur ribuan hektare lahan perkotaan dimiliki perseorangan atau swasta, pemerintah tetap masih memiliki kekuatan yang cukup perkasa untuk mengatur agar penggunaannya betul-betul diarahkan demi kemaslahatan segenap lapisan masyarakat tak semata-mata untuk menebalkan kocek si pemilik lahan belaka. Konsep pembangunan perumahan berpola 1:3:6 (developer yang membangun satu perumahan mewah diharuskan membangun 3 rumah kelas menengah dan 6 rumah tipe kecil) merupakan contoh yang layak diteladani. Mirip konsep magersari atau ngidung pada perumahan tradisional di Yogyakarta dan Surakarta, yang menyiratkan adanya niat luhur untuk meneteskan ke bawah sebagian kekayaan kaum berpunya, untuk bisa ikut dinikmati kaum papa. Saya jadi ingat anekdot tentang ''politik sapi''. Di negara kapitalis, bila orang punya dua ekor sapi, yang seekor dijual untuk kemudian dibelikan sapi jantan, agar bisa beranak pinak. Di negara komunis, kedua ekor sapi itu akan disita oleh pemerintah, dan pemilik semula hanya akan mendapat pembagian susunya. Pada era pemerintahan Nazi di Jerman, terkisah si pemilik sapi ditembak mati, dan kedua ekor sapi menjadi pemilik negara. Bagaimana dengan ''politik sapi'' di Indonesia? Kata orang, berlandaskan kaidah nebu sauyun atau tebu satu rumpun, senasib sepenanggungan, pemilik sapi akan memilih salah seekor sapi yang lebih kecil, untuk kemudian diberikan dengan ikhlas kepada tetangganya. Perkara lahan perkotaan mestilah selalu ditilik pemanfaatannya demi kesejahteraan masyarakat, dengan penekanan pada kandungan fungsi sosialnya. *) Penulis adalah guru besar arsitektur Fakultas Teknik Undip, dan Ketua Ikatan Ahli Perencanaan Cabang Jawa Tengah

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus