RUSUH di Pakistan masih berlanjut. Di Provinsi Sind, basis terbesar gerakan oposisi, huru-hara dalam skala kecil terus berlangsung. Ke kawasan rawan itulah Presiden Zia Ul Haq menuju, sepulang dari menunaikan ibadat haji, Sabtu pekan lalu. Tak ada kilatan lampu blitz dan kerumunan wartawan menyambut kedatangan presiden Pakistan itu di bandara Karachi, yang memang tertutup bagi wartawan itu. Zia, yang langsung terbang dari Jeddah ke Karachi, ibu kota Sind, mengadakan pertemuan dengan gubernur, menteri, dan pejabat militer untuk membahas situasi keamanan wilayah yang menjadi ajang kerusuhan antipemerintah paling buruk itu. Pada hari yang sama, para pendukung oposisi kembali melancarkan aksi kekerasan dengan membakar sejumlah gedung pemerintah, sebuah kantor pos, dan stasiun KA di tiga daerah di kawasan Sind itu. Kerusuhan cepat diatasi dengan adanya sistem keamanan amat ketat sehingga tidak terlalu meluas. Namun, sehari sebelumnya, Jumat 22 Agustus, dua orang tewas, ketika terjadi tembak-menembak antara pasukan patroli keamanan dan sekelompok demonstran yang mencoba memblokade jalan antara Kota Tando Adam dan Shahadadphur, 220 km timur laut Karachi. Jumlah itu menambah korban yang terbunuh menjadi 19 orang, dalam dua pekan aksi protes di seluruh pelosok Pakistan ini. Gelombang kerusuhan berdarah ini berawal ketika Perdana Menteri Muhammad Khan Junejo melarang segala bentuk kegiatan politik pada hari kemerdekaan Pakistan, 14 Agustus lalu. Pihak oposisi, yang tergabung dalam koalisi 10 partai oposisi Gerakan Pemulihan Demokrasi (MRD), dengan sengaja melanggarnya. Bentrokan pun terjadi. Di Lahore pada hari pertama aksi demonstrasi, tercatat empat orang korban tewas. Di Karachi, Benazir Bhutto, pemimpin Pakistan People's Party (PPP) unsur terkuat dalam MRD, dijebloskan dalam penjara pada hari itu juga, setelah sehari sebelumnya dilakukan penangkapan besar-besaran atas para tokoh oposisi lain. Kerusuhan meluas. Aksi protes menjalar di beberapa kota di Provinsi Sind, kubu utama Benazir. Sejumlah gedung pemerintah dibakar, stasiun KA dirusakkan, dan kantor polisi diserang. Korban terus berjatuhan. Pemerintah akhirnya mengirim pasukan tentara ke kawasan Sind. Ini untuk pertama kalinya tentara diminta bantuannya mengatasi kerusuhan sejak 1983, ketika MRD mengadakan aksi protes melawan pemerintah tangan besi Zia Ul Haq, di wilayah Sind, yang menewaskan ratusan orang. Dengan patroli keamanan yang ketat, gelombang besar aksi protes kali ini dapat ditekan. Para pengamat menduga, aksi massa dan sejumlah pembunuhan masih akan terus berlanjut secara sporadis pada minggu dan bulan mendatang, tapi tak akan mencapai skala besar seperti yang terjadi minggu-minggu sebelum ini. Pihak pemerintah pun sudah menyatakan berhasil menguasai keadaan di seluruh negeri, kecuali kawasan Sind. PM Junejo menjanjikan kegiatan politik akan berjalan normal lagi bila situasi telah pulih di seluruh negeri. Larangan demonstrasi telah dicabut di hampir seluruh wilayah Pakistan, kecuali Sind, Jumat pekan lalu. Sekitar 10 ribu orang melakukan demonstrasi tertib di Lahore, tanpa aksi kekerasan. Sejumlah pihak menganggap pembekuan kegiatan politik baru-baru ini sebagai pukulan besar atas program perbaikan citra demokratis pemerintahan Zia Ul Haq. Program itu mencakup: menyelenggarakan pemilihan anggota Dewan Nasional (tanpa unsur partai), mengangkat perdana menteri sipil dan mencabut undang-undang darurat. Semua ini telah terlaksana Desember 1985 setelah 8 tahun UU Darurat dicabut Mohamad Khan Junejo, yang terpilih sebagai perdana menteri. Ia berasal dari Partai Liga Muslimin (PML) yang kini mendominasi Dewan Nasional (parlemen) Pakistan. Bersama dengan partai ortodoks, Jamaate-Islami, PML merupakan pendukung Zia dalam Dewan Nasional yang anggotanya dipilih secara individu dalam pemilu nonpartai, Februari 1985. PML, yang kini menjadi partai pemerintah berkuasa ini, sebenarnya pecahan PML 1979 di bawah pimpinan Pir Pagara. Sedangkan PML di bawah Kawaja Chaerudin masuk dalam koalisi MRD. Meski memerintah dengan keras, Zia dianggap berhasil memajukan perekonomian negeri berpenduduk 92 juta jiwa ini. Pertumbuhan ekonomi Pakistan, dianggap cukup berperan bagi kestabilan politik akhir-akhir ini. Namun, citra buruk di mata AS akibat penahanan para tokoh oposisi itu dikhawatirkan akan mempengaruhi paket bantuan baru AS sebanyak US$ 4,2 milyar untuk masa 6 tahun, yang masih akan diperdebatkan bulan depan. Karena itulah pemerintah Islamabad dituntut untuk menyelesaikan kemelut ini secepatnya. Tapi sejumlah pengamat lain justru menafsirkan unjuk kekuasaan pemerintah Pakistan dalam gelombang kerusuhan baru-baru ini sebagai pukulan bagi Benazir. Penangkapan besar-besaran tokoh MRD dan tekanan kuat kehadiran tentara di wilayah Pakistan Selatan tampaknya berhasil memporakperandakan kubu oposisi, terutama pihak PPP. Sebelum ditangkap, Benazir pernah sesumbar bahwa partainya telah berhasil mengorganisasikan 150 ribu "merpati demokrasi" yang siap turun ke jalan melumpuhkan kota-kota utama untuk menuntut kejatuhan Zia. Benazir, 33, putri Mendiang PM Ali Bhutto, yang ditumbangkan Zia 1977, juga menyatakan para "merpati" telah disiapkan sedemikian rupa sehingga mereka akan mudah menyusun aksi massa, bahkan sekalipun jika para pemimpin teras PPP ditahan pemerintah. Impian Benazir tak menjadi kenyataan. Sejumlah aktivis PPP mengaku tak berdaya dengan gelombang penangkapan dan menemui kesulitan menyusun aksi protes dari tempat-tempat persembunyian mereka. Seorang pengamat di Karachi mengatakan, agitasi pihak oposisi masih amat prematur. "Nyata benar orang-orang Benazir tak siap. Juga unsur MRD lainnya tak siap mendukungnya. Benazir seharusnya menunggu enam bulan atau setahun lagi," katanya. Presiden Zia pun dalam wawancara dengan koran Arab News di Arab Saudi, menuduh Benazir terlalu cepat ingin menjadi presiden atau perdana menteri. Banyak pihak menganggap kegagalan gerakan oposisi selama ini disebabkan lemahnya organisasi MRD sendiri. Hal ini diakui sejumlah tokoh oposisi, di antaranya Mumtaz Ali Bhutto, sepupu Benazir, yang mengatakan MRD tak siap berjuang dalam skala nasional. "Situasinya tak tepat untuk memulai suatu gerakan, dan kami tak siap," kata Ashgar Khan, pemimpin partai Tehrik-I-Istiqlal, salah satu unsur MRD. SEPERTI beberapa pemimpin unsur partai lain dalam MRD, Ashgar Khan menyalahkan Benazir dan PPP, unsur terkuat MRD, yang menekan koalisi untuk kegiatan yang dianggap terlalu kepagian. MRD pada mulanya merencanakan kampanye pada 20 September mendatang, yang dijadikan batas waktu bagi Zia Ul Haq untuk menetapkan tanggal baru pemilihan umum yang diikuti unsur parpol -- tuntutan utama pihak oposisi selama ini. Kegagalan memunculkan massa oleh para pengamat dianggap meruntuhkan citra Benazir dan menimbulkan perpecahan meluas di kalangan oposisi. Partai pimpinan Ashgar Khan, misalnya, kini tengah mempertimbangkan untuk keluar dari MRD, yang telah berusia lima tahun itu. Selain itu, sikap saling mencurigai antara sesama pemimpin MRD makin membuat rapuh keutuhan gerakan oposisi ini. Para pemimpin MRD ini mengakui mereka memang membutuhkan PPP, tapi mereka tetap curiga Benazir memperalat mereka untuk memperoleh kekuasaan. Benazir telah berkali-kali menolak tuduhan itu. Para pemimpin MRD juga merasa resah dengan doktrin "Bhuttoisme" yang dianut PPP. Ini sejenis paham Sosialis Populis, yang pernah membuat kelas menengah dan tentara pada massa pemerintahan PM Ali Bhutto 1971-77 menjauhkan diri. Paham yang sering disebut-sebut Benazir dalam pidato-pidatonya selama ini, belakangan ini, diperdebatkan kembali maknanya. Sejumlah pengamat politik juga berpendapat, gagalnya gerakan Benazir antara lain karena ia tak mendapat dukungan kaum kelas menengah dan pemimpin agama. Benazir pun selama ini tak menyembunyikan perasaan sebalnya pada para mullah yang kolot, "Yang mendikte lubang hidung sebelah mana yang harus lebih dulu dibersihkan," katanya. Dengan kocar-kacirnya pihak oposisi, kedudukan pemerintah tampak semakin kuat. Itu terlihat pada sikap mereka. Di Islamabad Presiden Zia dan PM Junejo pekan lalu kembali menegaskan tak akan tunduk pada tuntutan oposisi untuk menyelenggarakan pemilu sebelum tahun 1990. PM Junejo Ahad lalu sibuk menghubungi para anggota parlemen Pakistan, tampaknya untuk mencari dukungan atas tindakannya membekukan kegiatan politik dan menahan ratusan tokoh oposisi dua pekan lalu. "Pemerintah percaya pada kegiatan politik bebas, tapi ini tak berarti memberi izin menghancurkan negara," ujar Junejo memberi alasan tindakannya. Tapi Junejo dan Zia harus bisa menyelesaikan masalah tahanan politik ini secepatnya jika ingin namanya tetap harum di kalangan internasional, sebagai pihak yang berhasil menghidupkan lagi iklim demokrasi di Pakistan. Farida Sendjaja
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini