Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hantu Gulen, Teror di Galeri Seni

Seorang polisi membunuh Duta Besar Rusia. Banyak teori berseliweran mengenai "otak" pembunuhan ini. Termasuk tudingan kepada Gulen, tokoh oposisi yang tinggal di pengasingan di Amerika.

26 Desember 2016 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kematian menghampirinya dari belakang. Kalimat penutup belum sempat diucapkannya ketika wajah duta besar yang tengah menyampaikan pengantar pameran foto "Rusia di Mata Orang Turki" itu tiba-tiba kecut. Ia seperti menahan sakit yang amat-sangat, sebelum tubuhnya terkapar dengan tangan terentang. Peluru pertama mungkin menembus salah satu paru-paru Duta Besar Andrey Karlov, kendati sesudah itu masih ada delapan peluru ditembakkan ke badannya yang lebar, sekadar memastikan kematiannya, Senin malam pekan lalu.

"Jangan lupa Suriah..., jangan lupa Aleppo...," kata penembaknya. Mengambil alih panggung, si penembak, Mevlut Mert Altintas, seorang polisi antihuru-hara berusia 22 tahun yang sedang tak bertugas, lantas mengucapkan takbir beberapa kali. Menurut keterangan kepolisian, Altintas yang berjas-dasi gelap layaknya petugas keamanan itu cepat menyusul korbannya: ia menemui ajal di tempat yang sama di tangan petugas keamanan. Ya, Altintas mati muda, dan meninggalkan pesan jelas: Rusia harus membayar mahal atas segala mudarat yang ditimbulkannya terhadap warga Aleppo, Suriah.

Sayang sekali, amarah dan pengorbanan Altintas tak serta-merta bisa membendung serbuan pesawat tempur Rusia ke kantong-kantong pemberontak di Aleppo timur, sekaligus membuat puluhan ribu warga kota itu menjadi pengungsi.

Aleppo yang tragis dan genting telah kembali ke tangan pasukan pemerintah Suriah. Sekitar 4.000 penduduk sipil yang sebelumnya terperangkap dalam beku udara musim dingin di kantong-kantong pemberontak perlahan meninggalkan kota. Sedangkan puluhan ribuan lainnya dalam barisan panjang para pengungsi—termasuk orang tua, anak-anak, dan perempuan hamil—yang harus melalui beberapa pos penjagaan ketat sebelum sampai di kamp pengungsi.

Kematian dan teror Altintas memang tak menyulut perubahan. Bersama Presiden Rusia Vladimir Putin, Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan mengartikan pengorbanan Altintas tak lebih dari "provokasi" yang hendak mengganggu-merenggangkan hubungan Turki-Rusia yang menghangat lagi dalam beberapa bulan terakhir. Dalam pembicaraan telepon, mereka sepakat mengutuk kejadian itu, menginvestigasi hingga jelas biang keladi "teror yang tercela" itu, sambil menegaskan bahwa kekerasan di galeri seni tersebut justru akan memperkuat komitmen normalisasi hubungan dua tetangga itu.

Seakan-akan memproklamasikan kedekatan baru Rusia-Turki, Moskow kemudian mengundang Menteri Luar Negeri Turki Mevlut Cavusoglu dalam pertemuan khusus di antara negara yang mendukung Presiden Bashar al-Assad di Moskow, tiga hari setelah teror itu. Pertemuan para menteri luar negeri Iran, Suriah, dan Rusia yang membahas masalah terbaru konflik Suriah. Adakah Turki akan menjadi bagian baru dari poros Moskow-Damaskus-Teheran?

Sejak pertempuran pasukan pemerintah Suriah melawan pemberontak menghebat akhir-akhir ini, hubungan Moskow-Ankara panas-dingin alias tak stabil. Sama-sama terlibat dalam konflik di Suriah, masing-masing mempertahankan kepentingan sendiri di medan Suriah. Sehari sebelum pembunuhan Karlov, sekelompok warga berunjuk rasa di gedung Konsulat Jenderal Rusia di Istanbul untuk menentang dukungan Rusia atas pasukan pemerintah Suriah. Sebagai diplomat kawakan, Andrey Karlov merupakan tokoh yang senantiasa berjasa "mendinginkan" ketegangan-ketegangan ini.

l l l

Teror Mevlut Altintas boleh jadi tak membawa perubahan. Tapi, sejak tubuh Andrey Karlov ambruk di lantai galeri seni itu, secara otomatis mesin politik kalangan pro-Erdogan bergerak mengarahkan telunjuknya ke tokoh oposisi Fethullah Gulen. Serangan pertama berasal dari kicauan Wali Kota Ankara Melih Gokcek di akun Twitter-nya, yang menduga keterkaitan teror itu dengan Organisasi Teroris Gulen (FETO)—sebutan Turki untuk para pengikut Gulen. "Umpan" sang wali kota ini cepat disambut para politikus dan media pro-pemerintah—meski hingga akhir pekan lalu belum ada pernyataan resmi pemerintah Turki mengenai "otak" pembunuhan.

Kani Torun, anggota parlemen Turki dari Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) yang berkuasa, mengemukakan pendapat menarik. Tak menemukan hubungan Altintas dengan kelompok-kelompok dalam pertempuran di Suriah, ia langsung menarik kesimpulan sederhana. "Dengan demikian, satu-satunya kemungkinan pelaku serangan ini adalah FETO. Mereka sangat aktif di kepolisian. Meskipun kelompok ini banyak disingkirkan dari kepolisian, kami yakin mereka bisa melakukan serangan bom bunuh diri seperti ini," ujarnya.

Sementara itu, seorang pejabat keamanan Turki menuding penjaga keamanan Gulenis sengaja membiarkan Altintas masuk ke galeri seni, bahkan mendekati korbannya, menunggu saat yang tepat sebelum menghunus revolvernya. Dan semua ini, seperti diberitakan surat kabar Daily Sabah, bergulir sesuai dengan rencana besar, termasuk pilihan hari dan jam untuk mengeksekusi korban. Pejabat Turki tersebut juga mengungkapkan bahwa pelaku telah mengambil libur pada 15-17 Juli lalu dan melontarkan teori tentang kemungkinan keterlibatan Altintas dalam kudeta yang gagal pada 15 Juli lalu.

Gulen, kawan yang kini menjadi lawan Presiden Recep Tayyip Erdogan, tinggal dalam pengasingan di Pennsylvania, Amerika Serikat, sejak 1990. Gulen menampik semua tudingan mengenai keterkaitannya dengan Altintas dan mendalangi kudeta militer yang menyebabkan ratusan orang tewas pada Juli lalu itu. Tudingan ini menjadi pijakan bagi pemerintah Erdogan untuk melancarkan pembersihan besar-besaran atau degulenisasi di tubuh kepolisian Turki sejak itu. Jika diperlukan, pemerintah telah membuktikan, "Hantu Gulen" dapat dihidupkan buat menghabisi para penentang.

Namun Rusia tampaknya keberatan jika pembunuhan Andrey Karlov digunakan untuk konsumsi politik dalam negeri Turki. "Kita harus menunggu hasil kerja kelompok investigasi. Tak boleh bergegas menyimpulkan sampai investigasi dapat mengidentifikasi siapa di belakang pembunuhan duta besar kita," kata Dimitri Preskov, juru bicara Kremlin.

Idrus F. Shahab (CNN, BBC, Al Jazeera, dan The New York Times)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus