Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di halaman akun Facebook-nya, pada Ahad malam pekan lalu, Michael Moore menuliskan pesan berupa seruan bagi para elector college dari kubu Republiken: "Jika Anda memilih suara hati Anda pada tengah hari [nanti] dan negara bagian Anda mendenda Anda karenanya, saya akan membayar denda itu. Saya tak ingin melihat Anda dihukum karena melakukan sesuatu yang benar."
Tawaran untuk membantu membayar denda itu berkaitan dengan ajakan Moore agar para elector, yang dijadwalkan bersidang keesokan harinya, mengesahkan Donald J. Trump sebagai Presiden Amerika Serikat atau sebaliknya, mendengar suara mayoritas rakyat. Sutradara sukses film dokumenter, penulis, dan aktivis yang digambarkan berpandangan kiri ini menunjukkan "mayoritas rakyat Amerika telah membuat jelas pada 8 November bahwa mereka tak ingin Donald Trump menjadi presiden".
Perhitungan suara pemilihan umum pada 8 November itu memang menunjukkan, secara nasional, total perolehan suara Trump, yang merupakan calon Partai Republik, berada di bawah Hillary Clinton, pesaingnya dari Partai Demokrat. Menurut hasil perhitungan, Trump mengumpulkan 62,955 juta (atau 46,2 persen) suara, sementara Clinton memperoleh 65,788 juta (48,3 persen) suara. Tapi kemenangan Trump, sesuai dengan konstitusi Amerika, ditentukan bukan berdasarkan jumlah suara yang memilihnya, melainkan banyaknya electoral college, semacam wakil pemilih, yang dikumpulkannya berdasarkan suara pemilih di setiap negara bagian. Jumlah electoral college berbeda-beda di tiap negara bagian, "harga"-nya tergantung besaran populasinya.
Menurut Moore, dengan mendengar suara mayoritas rakyat, para elector sesungguhnya "hanya mengikuti kehendak rakyat" dan hal itu "tak pernah menjadi kejahatan dalam demokrasi".
Pernyataan bahwa mengikuti suara rakyat bukanlah kejahatan tampaknya sengaja dikemukakan di situ. Dan bukan tak ada alasannya. Di sejumlah negara bagian, pilihan seperti yang disarankan Moore dianggap sebagai pelanggaran hukum dan diancam denda, sampai US$ 1.000 (sekitar Rp 13,3 juta). Moore berkeyakinan membayarkan denda itu merupakan "hak hukum yang bisa saya lakukan".
Menetapkan kandidat yang kalah dalam perebutan jumlah electoral college terbanyak sebagai presiden pun sebetulnya merupakan hak elector. Dalam kolomnya di The Washington Post pada 24 November lalu, Lawrence Lessig menegaskan konstitusi tak menyatakan apa pun yang bertujuan membatasi kebebasan elector, apakah akan menyetujui pilihan rakyat atau sebaliknya. Politikus yang ikut berebut tiket calon presiden dari Partai Demokrat ini menulis: "Mereka adalah pengadil bagi warga negara, bukan gerigi yang memutar roda."
Menyeru para pengadil Republiken sebetulnya merupakan bagian dari perlawanan Moore terhadap Trump. Pendukung Bernie Sanders di masa pemilihan pendahuluan Partai Demokrat yang sejak dini meramalkan kemenangan Trump ini sedang berupaya menggalang gerakan. Yang hendak dia lakukan adalah sekurang-kurangnya merintangi acara dan pesta pelantikan pada 20 Januari nanti.
Moore berpendapat, Trump sama sekali tak pantas menjadi Presiden Amerika. Salah satu argumennya, yang berkaitan dengan kompetensi, adalah ketidaksediaan Trump menghadiri setiap briefing keamanan nasional sejak dia memenangi pemilu. Menurut Moore, dalam tugas memastikan keselamatan rakyat, sebagai presiden, Trump semestinya menghadiri pertemuan itu untuk mempelajari potensi ancaman apa saja yang ada. Ketidakacuhan yang keterlaluan terhadap tugas itu, kata pria 62 tahun ini, "bakal membuat banyak orang tak bersalah terbunuh".
Dia memberi contoh bagaimana abainya George W. Bush terhadap materi briefing keamanan nasional telah menjadikan Amerika tak bisa mengelakkan serangan teror pada 11 September 2001. Dia bercerita, pada pagi 6 Agustus 2001, saat Bush sedang berlibur panjang di rancanya di Texas, staf Gedung Putih urusan hukum menyerahkan bahan briefing tersebut. Bush hanya melihat sekejap, menyisihkannya, lalu pergi memancing. Briefing itu berjudul "Bin Ladin Bertekad Menyerang Amerika dari Dalam". Di halaman paling muka disebutkan bagaimana serangan itu akan dilakukan: dengan pesawat terbang.
Moore mengingatkan bahwa Bush adalah presiden seperti Trump: dia juga kalah dari jumlah total perolehan suara rakyat—bahwa mayoritas rakyat tak menginginkannya. Tapi putusan Mahkamah Agung, yang mengadili perselisihan hasil penghitungan suara pemilu pada 2000 di Negara Bagian Florida, memenangkannya dan menjadikannya presiden.
Perihal aksi protesnya, Moore menyatakan melalui e-mail yang dikirimkannya ke sejumlah media, jika Trump memang datang untuk menjalani pengambilan sumpah, "saya akan ada di sana membantu memimpin protes nasional". Dia juga menjanjikan akan "mengganggu tanpa kekerasan pelantikan orang yang tak satu pihak pun kecuali para electoral college untuk memilihnya". "Dan saya akan melakukan sesuatu sendiri sebagai warga swasta (kegiatan yang tak akan saya ungkapkan sekarang)," katanya.
Rencana protes besar-besaran itu sudah tersiar luas. Ada yang bahkan menyebutnya sebagai "kakek dari semua protes". Menurut laporan U.S. News & World Report dua pekan lalu, setidaknya ada dua protes besar pada hari pelantikan: aksi yang satu akan digelar secara damai di sepanjang rute pawai pelantikan dan yang satu lagi diselenggarakan oleh unsur-unsur "radikal" yang disebut-sebut bertujuan "menghentikan pertunjukan"—melumpuhkan Washington, DC; New York; dan kota-kota lain.
Legba Carrefour, seorang anarkis yang menjadi petugas hubungan masyarakat dari DisruptJ20, penyelenggara protes yang radikal, mengatakan rencana kelompoknya adalah menghentikan pelantikan. "Kami terang-terangan soal itu. Kami mencoba menciptakan kelumpuhan di seluruh kota hingga ke tingkat yang saya kira tak pernah dilihat sebelumnya di DC. Kami berusaha menutup setiap pergerakan masuk ke kota dan setiap pos pemeriksaan di sekitar rute pawai pelantikan."
Demonstrasi yang akan dipusatkan di McPherson Square, di pusat kota Washington, itu didasari keyakinan bahwa kemenangan Trump adalah stempel bagi kebangkrutan demokrasi perwakilan. Penyelenggara DisruptJ20 berpendapat, proses demokrasi tak bisa digunakan sebagai dalih untuk berdiam diri. Partai Demokrat, atau partai dan politikus lain, disebutkan hanya menawarkan versi yang lebih lembek dari hal yang sama. "Jika mau ada perubahan positif dalam masyarakat," demikian pernyataan resmi DisruptJ20, "kita harus mewujudkannya sendiri, bersama, melalui aksi langsung".
Moore, yang menyertakan tautan ke website DisruptJ20 dalam salah satu pesannya, bisa dimasukkan ke kelompok yang sama. Dan tak ada satu hal pun yang menyurutkan tekadnya, termasuk hasil sidang electoral college yang mengesahkan kemenangan Trump. Dia berkeras, sampai tengah hari pada 20 Januari, Trump belum menjadi presiden. Karena itu, dia menyatakan akan terus berjuang dan "berharap menemukan jalan legal, tanpa kekerasan, untuk menghentikan kegilaan ini".
Dia memang masih menyembunyikan tindakan lain yang akan dilakukannya, tapi di e-mail mengenai apa yang akan terjadi setelah pelantikan dia menulis: "Saya berharap Republiken meminta sidang pada Sabtu, 21 Januari, dan memulai proses legislasi, menyetujui rancangan undang-undang menjadi undang-undang dengan pemungutan suara, dan dengan segera mengirimkannya ke Pennsylvania Avenue agar ditandatangani Trump. Bencana tak terelakkan ini menuntut siapa pun terlibat sekarang—semua harus terlibat! Ini bukan latihan!"
Purwanto Setiadi (The Guardian, The Hollywood Reporter, The Independent, U.S. News & World Report, The Washington Post)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo