Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
ARASH Shirmohamadi galau bukan buatan. Sudah sembilan bulan pria asal Iran ini tidak bisa menemui buah hatinya, Yusra. Mereka terpisah lautan sejauh 4.000 kilometer. Arash tinggal di Nauru, sebuah negara mungil di tengah Pasifik, serta berstatus sebagai pengungsi dan berharap dapat bermukim di Amerika Serikat. Sementara itu, istrinya, Mariam, pengungsi asal Somalia, dan Yusra ada di Sydney, Australia.
"Dulu saya tak diizinkan menemani istri saya saat kelahiran anak kami. Kini saya diminta meninggalkan mereka," kata Arash kepada The Guardian, Selasa dua pekan lalu. Pada Agustus 2016, dokter menerbangkan Mariam, yang tengah mengandung Yusra, ke Sydney karena rumah sakit di Nauru tak bisa menangani kondisi kesehatan Mariam.
Yusra lahir tanpa sang ayah, tapi Badan Perbatasan Australia kemudian memberi Arash dua opsi bila ingin bermigrasi ke Amerika Serikat. Pria 32 tahun itu dapat menjadi "lajang" dengan berpisah dari keluarganya dan melepas hak asuh Yusra. Atau dia tetap bersama istri dan anaknya, lalu mencoba mengajukan permohonan bermukim di Amerika dengan tanpa jaminan diterima. "Ini pilihan yang kejam. Saya belum pernah memeluk putri saya dan menatap matanya," ujar Arash.
Pada November 2016, Presiden Barack Obama setuju untuk membawa 1.250 pengungsi dan pencari suaka dari pusat detensi Australia di Nauru dan Pulau Manus di Papua Nugini. Tapi sejauh ini Amerika memilih menerima yang lajang daripada yang berkeluarga.
Arash tiba di perairan Australia pada 2013. Dia menjadi manusia perahu, terombang-ambing di laut saat pemerintah Kevin Rudd memberlakukan larangan bagi pendatang untuk menginjakkan kaki di Australia. Arash lari dari persekusi karena menganut Baha’i. Di tanah airnya, Iran, negeri berpenduduk mayoritas Syiah, pemeluk Baha’i dicap murtad.
Batal menggapai Australia, Arash terempas ke Nauru. Pemerintah Australia mengalihkan ribuan pengungsi dan pencari suaka ke tempat penampungan di Nauru dan Pulau Manus. "Ada lebih dari seribu pengungsi dan pencari suaka di Nauru," kata Presiden Nauru Baron Divavesi Waqa kepada Tempo, Sabtu pekan lalu, di sela lawatan perdananya di Jakarta.
Di Nauru, Arash termasuk dalam 900 pengungsi dan 124 pencari suaka. Mereka umumnya dari Iran, Pakistan, Sri Lanka, Bangladesh, dan India. Menurut Waqa, para pendatang itu mengikuti program detensi imigrasi yang dikelola Nauru dan Australia sejak 2012. "Mereka bisa tinggal selama lima tahun dengan masa perpanjangan lima tahun. Setelah itu harus mencari negara ketiga," ujarnya. "Mereka tak bisa di Nauru selamanya."
Sejak lima tahun lalu, kebijakan imigrasi Australia panen kecaman. "Perserikatan Bangsa-Bangsa dan kelompok hak asasi manusia menyoroti penganiayaan dan pengabaian terhadap pengungsi dan pencari suaka," begitu diberitakan Aljazeera. Negeri Kanguru menggelontorkan Rp 51 triliun untuk mendanai program detensi di Nauru dan Manus.
Pada April 2016, Mahkamah Agung Papua Nugini memutuskan bahwa pusat detensi pengungsi di Manus ilegal dan melanggar hak asasi manusia. Fasilitas yang menampung sekitar 600 pengungsi itu secara resmi ditutup pada 31 Oktober lalu. Namun hingga kini pengosongan pusat detensi belum tuntas karena banyak pengungsi enggan dipindahkan.
Tapi Presiden Waqa menegaskan tidak akan menutup pusat detensi di negerinya. "Mereka tinggal bersama kami, penduduk Nauru. Mereka orang-orang yang nasibnya tidak beruntung."
Di Nauru, para pendatang mendapat hak dan peluang yang sama seperti warga lokal. Mereka bisa mencari nafkah, kuliah, hingga mendapat rumah dan layanan kesehatan. Bahkan peluang untuk bekerja di pemerintahan juga terbuka lebar. "Banyak dari mereka jadi petugas keamanan di kantor pemerintah dan parlemen," ucap Waqa.
Arash Shirmohamadi sempat mencicip kebaikan pemerintah Nauru. Di negeri itu, ia bertemu dengan pujaan hatinya, Mariam, dan menikahinya pada Maret 2016. Namun kebahagiaan itu perlahan sirna. Arash tak hanya terpisah dari keluarganya. Di era Donald Trump, yang alergi imigran, peluang pembuat program komputer ini untuk bermukim di Amerika kian redup. Hingga akhir November lalu, Negeri Abang Sam baru menerima 70 pengungsi dari Nauru.
Mahardika Satria Hadi (the Australian, Sbs News, Smh)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo