Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BANYAK pejabat sekarang yang hamil dan melahirkan banyak mobil mewah, hamil dan melahirkan banyak rumah...."
Kutipan ceramah itu digunakan jaksa untuk menjerat Andi Mappetahang Fatwa. Fatwa melantangkannya di sebuah masjid di Jakarta Barat, Mei 1984. Ada sederet khotbah lain, misalnya saat mubalig asal Bone, Sulawesi Selatan, itu menyamakan Orde Baru dengan sistem kekuasaan raja Jawa. Pada akhir 1985, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memvonis Fatwa 18 tahun penjara dari tuntutan kurungan seumur hidup. Tuduhannya berat: melakukan kejahatan subversi.
Tiga hari setelah Tragedi Tanjung Priok, Petisi 50 mengeluarkan "Lembaran Putih Peristiwa Tanjung Priok 1984". Ini adalah insiden penembakan di depan kantor tentara di Tanjung Priok, Jakarta Utara, yang menewaskan lebih dari 100 pengunjuk rasa pada 12 September 1984.
Pernyataan Petisi 50 itu dianggap memojokkan pemerintah. Kelompok oposisi Soeharto itu terdiri atas sederet tokoh, termasuk Ali Sadikin (mantan Gubernur DKI Jakarta), Hoegeng Iman Santoso (bekas Kepala Kepolisian RI), H.R. Dharsono (mantan Panglima Siliwangi), dan Syafruddin Prawiranegara (eks tokoh Masyumi). Fatwa, bawahan Ali Sadikin di pemerintah DKI, menjabat sekretaris kelompok itu. Pengadilan menudingnya sebagai konseptor lembaran itu. "Intinya, imbauan kepada pemerintah agar mencari fakta tentang jumlah korban dalam Peristiwa Tanjung Priok," kata Fatwa kepada Tempo kala itu di pengadilan.
Meski keluar-masuk tahanan, hukuman 18 tahun penjara itulah yang membuat Fatwa lebih moderat. "Saya belajar beretika politik di penjara," katanya, seperti dimuat blog Fatwa Center. Dia meyakini kebenaran ucapan Jawaharlal Nehru bahwa menjadi tahanan merupakan pendidikan politik tertinggi. Di Lembaga Pemasyarakatan Cipinang, Jakarta, Fatwa bergaul secara lintas politik, ideologi, dan latar belakang, termasuk dengan tokoh Partai Komunis Indonesia, partai yang dia tentang habis-habisan sejak 1960-an. Fatwa mendapati mereka mengusung tinggi etika politik. Soal etika, menurut Fatwa, mereka lebih bagus daripada para politikus instan yang tiba-tiba muncul.
Dari balik terali besi, Fatwa kerap bersurat kepada pejabat, seperti Menteri Sekretaris Negara Moerdiono dan Menteri Kehakiman Ismail Saleh. Seperti ditulis Tempo edisi 24 Juli 1993, isi surat tersebut antara lain memuji sukses pemerintah Orde Baru mengegolkan Undang-Undang Peradilan Agama dan meningkatkan kuota jemaah haji. Fatwa Center menuliskan dia juga menyurati Presiden Soeharto dan mendapat balasan kartu Lebaran. Total suratnya dari penjara mencapai 5.000 pucuk.
Korespondensi itu sedikit banyak membantunya mendapat keringanan hukuman. Pada 1993, Fatwa bisa keluar dari penjara, bahkan ngantor di sebuah penerbitan, sebagai tahanan luar. Dia bebas pada 1998, setelah Soeharto tumbang, lantaran mendapat amnesti dari Presiden Bacharuddin JusufHabibie. Dua belas tahun di belakang jeruji membuatnya keder akan Jakarta. Saat menyetir sendiri di Rawamangun, Jakarta Timur, dia nyasar sampai tengah malam. Ayah lima anak ini baru bisa pulang setelah menelepon rumah dan dijemput.
Saat reformasi, Fatwa ikut mendirikan Partai Amanat Nasional bersama Amien Rais dan sederet tokoh lain. Partai itu mengantarkannya menjadi Wakil Ketua Dewan Perwakilan Rakyat 1999-2004 dan Wakil Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat 2004-2009. Alumnus Cipinang ini betah di Senayan. Dia kembali maju sebagai wakil DKI Jakarta di Dewan Perwakilan Daerah pada Pemilihan Umum 2009 dan 2014. "Jika ingin melakukan perjuangan, masuklah ke dunia politik," kata Jafar Hafsah, politikus Partai Demokrat, mengutip pesan Fatwa. "Berpolitik adalah satu jalan yang baik bagi orang-orang yang mempunyai ideologi baik."
Kamis pagi pekan lalu, Fatwa berpulang pada usia 78 tahun karena kanker hati. Dari rumah duka, jenazah disemayamkan di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, yang menjadi kediaman keduanya dalam 18 tahun terakhir. Penerima Bintang Mahaputra ini dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta Selatan.
Reza Maulana, Satria Dewi Anjaswari
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo