Lebih baik mati terhormat sebagai patriot daripada mati
kelaparan atau jadi pengemis di kamp pengungsi.
-- Pangeran Norodom Sihanouk.
KATA-KATA itu diucapkannya ketika masih berada di Beijing
sebelum berangkat menuju Paris dalam rangka perlawatannya
mencari dukungan bagi penyelesaian konflik Kambodia. Buat
Sihanouk tentu saja banyak kemungkinan yang bisa dipilihnya.
Tapi bagi jutaan rakyat Kambodia yang sedang menghadapi
ketidakpastian, persoalannya pasti lain.
Sekitar setengah juta rakyat Kambodia kini jadi pengungsi di
dekat perbatasan dengan Muangthai. Mereka menempati pondok
darurat, dengan barang bungkusan yang siap diangkat kalau
terjadi pertempuran. Sementara itu 200 ribu rakyat Kambodia
lainnya jadi pengungsi di wilayah Muangthai, yang menantikan
belas kasihan dari bantuan internasional. Buat mereka pasti
tidak ada pilihan kecuali mati kelaparan, terserang penyakit
atau tertembus peluru.
Begitupun kehendak rakyat memang selalu berbeda dengan tuntutan
pemimpin. Ribuan orang Kambodia yang bermaksud menyeberang ke
Muangthai telah dihalang-halangi. Karena pemimpin mengatakan
tenaga mereka dibutuhkan untuk berjuang melawan Vietnam. Ini
terjadi ketika tentara Muangthai memerintahkan agar mereka
segera pindah ke kamp Khao I Dang, 12 km dari perbatasan.
Ketika rakyat membutuhkan makanan, pemimpin mereka lebih
membutuhkan senjata. "Senjata, senjata, itulah yang kami
butuhkan," kata Son Sann, bekas perdana menteri pada masa
Pemerintahan Sihanouk. Sekarang memimpin Front Nasional
Pembebasan Khmer (FNLPK), Son Sann, 68 tahun, meninggalkan
Paris akhir Agustus lalu. Dalam suatu jumpa pers di markasnya di
Sok Sann, dekat perbatasan Muangthai, dia secara tegas
mengatakan bahwa kelompok gerilyanya tak akan bergabung dengan
Khmer Merah dalam melawan Vietnam.
Konflik Kambodia ini tampaknya masih akan berlangsung lama.
Walaupun Jabatan perdana menteri Pemerintah Demokratik Kambodia
berpindah tangan dari Pol Pot kepada Khieu Samphan, tanda bagi
suatu penyelesaian belum tampak.
Sebelumnya Pol Pot pernah menyerukan suatu kerjasama dengan
semua kekuatan yang melawan Vietnam. Dalam suatu jumpa pers --
yang disponsori oleh Lembaga Persahabatan KambodiaJepang yang
pro Beijing, di markas bekas Khmer Merah bulan lalu -- Pol Pot
bahkan menghimbau Sihanouk dan Lon Nol untuk bekerjasama. Namun
kemungkinan kerjasama mereka itu masih belum tampak.
Pol Pot dalam usia mendekati 50 tahun itu rupanya tak begitu
khawatir mengenai suplai senjata bagi pasukannya. Kepada
wartawan dia berkata, "dari segi bantuan militer kami aman,
terutama dari Cina." Mengenai ditariknya pengakuan diplomatik
Inggris terhadap rezimnya, Pol Pot mengatakan ia tak melihat itu
sebagai sesuatu yang akan menurunkan semangat berjuang.
DI markas-besarnya di pegunungan Cardamon, Pol Pot menjamu para
wartawan dengan makanan yang cukup berlimpah. Seorang pengantar
menguraikan lewat tulisan di Bangkok Post bahwa untuk sarapan
pagi mereka menyediakan kopi, teh dan roti serta strawberry jam
-- makanan ala Barat. Sebelum memasuki wilayah markas-besar itu,
penjagaan terasa cukup ketat. Bahkan ranjau-ranjau yang terbuat
dari bambu dan masih primitif merupakan bagian yang mengawal
wilayah itu. Penulis yang tak menyebut namanya itu bercerita
bahwa "makanan yang kami jumpai di situ hampir tak ada bedanya
dengan makanan yang tersedia di New York."
Keadaan di markas-besar Pol Pot ini memang berbeda sekali dengan
di markas kelompok gerilya lainnya. Misalnya di markas Khmer
Serika yang dekat dengan perbatasan Muangthai, sebagian besar
penduduk yang di bawah kontrolnya berada dalam keadaan
kekurangan gizi yang luar biasa. Hampir setiap hari ada yang
mati di sana karena penyakit menular atau kelaparan. Hal yang
sama juga terlihat di bagian wilayah Kambodia lainnya.
Kesengsaraan rakyat Kambodia ini rupanya belum mengundang negara
besar untuk aktif memainkan peranan bagi suatu penyelesaian
politik. Bahkan Muangthai -- karena bertetangga dengan Kambodia
-- semakin terlibat dalam konflik di kawasan Indocina itu.
Selama 3. bulan terakhir ini pasukan Muangthai yang ada di dekat
perbatasan sudah dalam keadaan siaga penuh. Sumber militer
Muangthai mengungkapkan pekan lalu bahwa semua ini dipersiapkan
untuk menjaga kemungkinan invasi tentara Vietnam.
Pertemuan menlu ASIAN di Kuala Lumpur pertengahan Desember lalu
mencoba memainkan peranan. Sikap Hanoi maupun rezim Heng Samrin
malah semakin keras menghadapi aksi diplomasi ASEAN itu. Koran
militer Quan Doi Nhan Dan, menuduh ASEAN secara serius mengancam
perdamaian, stabilitas dan keamanan di kawasan Asia Tenggara.
"Ternyata negara ASEAN tidak tampil dengan kenetralannya," tulis
koran itu. Kemudian koran Partai Komunis Vietnam, Nhan Dan,
secara tegas mengatakan bahwa apa yang disebut kenetralan
Muangthai adalah palsu.
Memang sukar untuk mengharapkan kenetralan Muangthai. Karena
secara langsung wilayahnya menjadi tempat penampungan para
pengungsi. Bantuan internasional untuk rakyat Kambodia
disalurkan melalui Muangthai. Dan tentu saja timbul rasa tidak
senang di pihak Vietnam dan rezim Heng Samrin. Sebab sebagian
dari bantuan itu tentu saja mengalir kepada pasukan gerilya
Khmer Merah.
Keterlibatan Muangthai kadang-kadang terasa berlebihan, terutama
dalam usahanya memberi saluran buat Cina membantu rezim Pol Pot.
Bahkan berbagai kunjungan wartawan ke wilayah yang dikuasai Pol
Pot ataupun kelompok gerilya lainnya juga diatur dari Bangkok.
Hal ini membuat Vietnam berang. Dan amarahnya bertambah lagi
karena Muangthai bersama negara ASEAN lainnya tetap ingin
mengakui rezim Demokratik Kambodia yang oleh Vietnam dan
sekutunya Heng Samrin diberi julukan pemerintah yang brutal.
Menlu Muangthai Upadit Pachariyangkun menegaskan lagi pekan lalu
bahwa ASEAN tetap mempertahankan pengakuannya atas rezim
Demokratik Kambodia, walaupun Pol Pot telah digantikan oleh
Khieu Samphan. Tentang Khieu Samphan sebagai perdana menteri,
"ini hanya permainan sandiwara kuno, dengan menggantikan orang
tapi perannya tetap sama," demikian kantor berita resmi rezim
Heng Samrin, SPK.
DARI Beijing PM Hua Guofeng mengulang kembali dukungan Cina pada
gerilyawan Khmer Merah Dalam pesannya kepada Khieu Samphan, Hua
menyatakan bahwa perlawanan Khmer Merah terhadap tentara Vietnam
akan membantu memelihara perdamaian dan stabilitas di wilayah
ini.
Tapi melihat makin kepepetnya rezim Demokratik Kambodia ini,
Cina rupanya mencari alternatif lain. Sihanouk yang berada di
Paris mengungkapkan bahwa Cina juga akan mensuplai senjata dan
amunisi kepada kelompok. gerilya non-komunis. Bantuan Cina yang
tanpa memandang ideologi ini, menurut Sihanouk, sudah mulai
disalurkan kepada gerilya Khmer Serei yang dipimpin Son Sann.
Tindakan ini tentu akan makin memeriahkan pertarungan sesama
bangsa Kambodia.
Harapan Cina dari para kelompok gerilya itu cuma satu, yaitu
terusirnya tentara Vietnam dari Kambodia. Suatu ilusi memang.
Mereka sesama kelompok gerilya itu tidak mau bersatu. "Musuh
nomor satu kami adalah Vietnam, dan musuh nomor dua adalah
rezim Pol Pot yang haus darah itu," kata Son Sann.
Son Sann juga kecewa terhadap Sihanouk. Menurut ceritanya,
Sihanouk tak mau diajak untuk memimpin langsung Front Nasional
Pembebasan Khmer. "Kami memahami bahwa dia ingin tetap berada di
atas semua golongan dan barangkali sebagai wasit," kata Son
Sann. Tapi dari Paris, Sihanouk menuduh Son Sann telah menjual
diri (lihat Pejuang dari Rue de Berri). Kepada siapa dia menjual
diri tak jelas. Cuma Hanoi menuduh Son Sann sebagai agen CIA dan
menuduh kelompoknya sebagai boneka Beijing.
Di Beijing, Duta Besat Demokratik Kambodia untuk RRC, Pich
Cheang, telah menghimbau AS dan negara Barat lainnya untuk
mendukung perjuangan rakyat Kambodia melawan Vietnam. "Kalau
Vietnam terus dibiarkan, negara ASEAN akan menjadi target kedua
agresinya," kata Pich Cheang.
MEMANG para pemimpln negara ASEAN khawatir. Tapi perkembangan
ekonomi Vietnam kini semakin memburuk. Seperti dilaporkan oleh
Le Phan Ngi, Wakil PM Vietnam, pada Majelis Nasional pekan lalu
bahwa target pembangunan ekonominya taRun ini tak tercapai.
Maka bayangan akan adanya ancaman tcrhadap seluruh kawasan ini
mungkin terlalu dilebih-lebihkan.
Soviet konon sudah menekan Vietnam supaya membatasi diri. Hal
ini diungkapkan oleh sumber diplomatik negara ASEAN yang bertemu
dengan pejabat Soviet yang sedang berkunjung ke Muangthai.
Bangkok Post memberitakan bahwa akibat tekanan Soviet ini diduga
Vietnam tidak akan melancarkan serbuan besar-besaran terhadap
gerilya Khmer Merah. Semula serangannya diduga akan berlangsung
pada awal Januari ini. Bila ini terjadi, secara tak langsung
tentara Muangthai yang sedang siaga penuh di sepanjang
perbatasan akan terlihat.
Ketika PM Kriangsak Chamanan melakukan inspeksi ke perbatasan
Kamis lalu, sudah kelihatan tanda-tanda tentang adanya jaminan
Soviet itu. Sumber Komando Tertinggi Militer Muangthai
mengatakan kemudian bahwa tak akan ada serbuan militer
besar-besaran dari Vietnam. Ini melegakan buat sementara.
Begitupun tragedi bangsa Kambodia ini belum selesai. Ada
himbauan dari Sihanouk agar diselenggarakan suatu pemilihan umum
yang diawasi PBB untuk menyelesaikan konflik itu. Himbauan itu
enak kedengarannya tapi juga melawan suatu realita. Mungkinkah
Heng Samrin dan Vietnam mau begitu saja menyerahkan wilayah
kekuasaannya melalui suatu pemilihan umum? Mungkin itu hanya
sebuah ilusi Sihanouk.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini