SIANG-malam berpuluh pesawat Uni Soviet pekan lalu mendarat di
Kabul. Tanpa mencoba berahasia, kapal terbang jenis AN-22 ini
menurunkan ratusan pasukan. Juga kendaraan dan peralatan tempur.
Di bandar udara sipil itu orang-orang Afghanistan dengan mulut
tertutup memandangi para tamu dari Soviet itu.
Perang besar? Sejak April 1973, sejak Afghanistan dikuasai
dengan kekerasan oleh pemerintahan Marxis yang dideking Soviet
darah seakan-akan tak mau stop di negeri itu. Orang-orang Islam
di pedalaman menolak rezim yang "tak bertuhan" yang bertahta di
Kabul, dan di pedalaman berkecamuk pemberontakan. Lebih dari
separuh wilayah Afghanistan (terdiri dari 28 provinsi)
terjangkit.
Pasukan pemerintah kewalahan. Dalam jumlah 80.000 dan
diperlengkapi dengan senjata Soviet -- seringkali dibantu
angkatan udara -- mereka toh seperti terjepit. Gerilyawan
Muslim, di antara penduduk yang 21 juta itu, berhasil
menimbulkan banyak kerugian. Pemerintah menuduh mereka dibantu
AS, RRC, Iran atau Pakistan. Apakah pekan lalu datangnya pasukan
Soviet adalah untuk memperkuat perlawanan terhadap pemberontak?
Mungkin demikian. Tapi juga agaknya tak cuma itu. Sebab
tiba-tiba dua hari setelah Natal, kantor berita resmi Iran,
Pars, yang biasanya ramai dengan masalah konflik Iran-AS,
tiba-tiba menyiarkan sesuatu yang lain. Di sana dikutip siaran
Radio Kabul Presiden Afghanistan, Hafizullah Amin, telah
digulingkan. Dan ditembak mati.
Jadinya sudah tiga presiden secara berturut-turut didongkel dan
dibunuh di negeri itu dalam waktu satu setengah tahun saja.
Mula-mula Presiden Daud. Ia presiden pertama, setelah
menggulingkan Raja Zahir -- iparnya sendiri -- ketika baginda
berkunjung ke Italia Juli 1973. Daud dengan begitu memulai
bentuk negara jadi republik -- tapi ternyata juga memulai cara
yang keras untuk mengganti pimpinan. April 1978, ia sendiri
digulingkan oleh dua perwira yang dulu membantunya memakzulkan
raja. Setelah kalah dalam pertempuran sengit, Daud dibunuh.
Dan dalam waktu cepat Afghanistan jadi satu rezim
Marxis-Leninis. Muncul Noor Mohammad Taraki, dari dalam penjara,
tokoh partai Khalq (Massa) yang sebenarnya adalah nama baru bagi
Partai Komunis Afghanistan yang didirikannya di tahun 1965. Ia
memimpin pemerintahan. Orang No. 2 yang nampak mendampinginya
waktu itu adalah seorang sarjana hukum yang tak begitu dikenal,
Babrak Karmal.
Dalam perkembangan setelah itu nama Karmal tak disebut-sebut.
Yang jadi berita dari Kabul ialah ketika Taraki memaksakan
"pembaharuan"-nya ke seluruh wilayah Afghanistan. Negeri ini
beratus tahun pedalamannya dipimpin oleh kaum mullah dan 80%
rakyat buta huruf. Kini rakyat berontak. Partai Khalq memang tak
punya basis luas, juga rezim Taraki. Ketika para pemberontak
yang dielu-elukan rakyat sebagai mujahiddin itu melakukan aksi
tali putus-putusnya, Taraki makin tergantung kepada Soviet.
Taraki sendiri menyebut ada 900 penasihat Soviet beradi di
Afghanistan, meskipun jumlah sebenarnya konon sampai 3.000.
Selama setahun, 29 persetujuan telah diteken dengan Kremlin.
Bantuan Soviet ditaksir mencapai AS$ 10 juta. Dan ketika Taraki
pun dengan bangga berkunjung ke negeri pelindungnya, ia
disambut peluk oleh Brezhnev -- meskipun ia belum dipanggil
"kawan".
Maka mengejutkan ketika September 1979, belum lama setelah
kembali dari Moskow, ia digulingkan. Dalam satu kudeta Taraki
kabarnya dibunuh. Siaran resmi Kabul mengatakan Taraki sakit,
tapi kemudian ia jelas mati. Lalu, gambarnya sebagai "Pemimpin
Besar" dicopot di mana-mana. Muncul Hafizullah Amin.
Amin, 50-an tahun, dilukiskan sebagai orang keras dalam
menghadapi pemberontakan. "Ia titisan Josef Stalin," kata
seorang yang mengenalnya, menyamakan presiden baru itu dengan
pemimpin Soviet yang di tahun 30-an terkenal kejam terhadap para
musuh politiknya. Tapi tak pasti benar dia disukai Kremlin. Ia
menggulingkan Taraki ketik baru saja Taraki dipeluk Brezhnev.
Dan pernah dikabarkan, dua kali pihak Soviet menasihati Taraki
agar mengurangi kekuasaan Amin, yang waktu itu perdana menteri.
Tapi terlambat.
Perundingan
Namun siapa menyangka -- dari luar -- bahwa tiga bulan
berikutnya Soviet mendukung satu kudeta terhadap Amin dan nama
Babrak Karmal tiba-tiba muncul kembali?
Karmal, menjelang 50-an tahun, berwajah tampan. Ia bukan orang
separtai Taraki atau Amin. Ia datang dari Partai Parcham
(Bendera), partai Marxis lain yang kemudian dipersatukan dengan
Khalq, atas petunjuk Soviet. Persatuan itu tak mengelakkan
Karmal dari konflik baru dengan Amin. Ia dan kawan-kawannya
digeser.
Karmal sendiri dikabarkan meninggalkan Kabul dan tinggal di
Cekoslowakia. Mungkin ia baru datang kembali ke Kabul bersama
pasukan Soviet yang masuk ke Afghanistan pekan lalu -- serta
melenyapkan lawan politiknya.
Ada petunjuk bahwa garis keras Amin pada akhirnya tak direstui
Kremlin dan kini suatu koreksi disiapkan. Dalam pernyataannya
setelah kudeta, seraya menuduh Amin sebagai "kaki-tangan
Amerika", Karmal menjanjikan "perundingan" dengan kaum ulama
yang memimpin pemberontakan. Tapi reaksi para gerilyawan Muslim
tetap: mereka tak percaya kepada pemcrintahan Kabul yang
"atheis" dan dilindungi Soviet itu.
Mungkin pertempuran lebih sengit tak dapat dielakkan, setelah
pasukan dari Kremlin terlibat di Afghanistan. Sumber Amerika,
yang tentu saja memanfaatkan ini guna memojokkan Soviet di mata
dunia, menaksir kehadiran Soviet ini yang terbesar sejak
penyerbuan ke Cekoslowakia tahun 1968.
Akan berhasilkah Soviet dan Karmal? Dalam hal campur tangan
begini Soviet nampaknya lebih beruntung ketimbang AS. Setidaknya
sampai akhir pekan lalu Ayatullah Khomeini atau negeri Islam
lain belum menyatakan kutukannya kepada musuh mujahiddin di
Afghanistan itu. Juga tak ada demonstrasi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini