Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hilang Sejarah Ditelan Tambang

Perusahaan tambang Rio Tinto menghancurkan situs sakral Aborigin di Australia. Demi 8 juta ton bijih besi.

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Juukan Gorge situs bersejarah suku aborigin yang rusak akibat aktivitas penambagan Rio Tinto, di Australia, Juni 2020./ Dokumentasi PKKP

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Poin penting

  • Perusahaan tambang Rio Tinto meledakkan gua sakral masyarakat Aborigin Australia.

  • Jejak peradaban masyarakat Aborigin Australia di kawasan itu berusia lebih dari 46 ribu tahun.

  • Penghancuran itu membuat tiga petinggi Rio Tinto diberhentikan.

HASIL tes asam deoksiribonukleat pada untaian jalinan rambut berusia 4.000 tahun yang ditemukan di gua Juukan Gorge menjadi bukti keberadaan nenek moyang orang-orang Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura di wilayah Pilbara, Australia Barat. Ribuan artefak batu dan kayu menunjukkan jejak kehidupan para penghuni pertama Australia di kawasan itu sejak 46 ribu tahun silam. Sejarah dan budaya pribumi Aborigin kini tercabik setelah situs sakral mereka itu dihancurkan Rio Tinto, perusahaan tambang besi terbesar di dunia.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Penghancuran cagar budaya Juukan Gorge pada Mei lalu itu menjadi bumerang bagi Rio Tinto. Seperti dilaporkan ABC News pada Jumat, 11 September lalu, Direktur Eksekutif Rio Tinto Jean-Sébastien Jacques, Direktur Chris Salisbury, dan Kepala Relasi Korporat Simone Niven akhirnya diberhentikan. Bonus senilai US$ 5 juta untuk mereka juga dicabut. “Apa yang terjadi di Juukan adalah sebuah kesalahan dan kami menjamin perusakan situs arkeologi dan budaya penting seperti itu tidak akan terulang lagi dalam operasi Rio Tinto," kata Direktur Utama Rio Tinto Simon Thompson.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

National Native Title Council (NNTC), organisasi pembela hak warga pribumi Australia, menilai keputusan memberhentikan dan mencabut pemberian bonus tiga petinggi itu belum cukup. Dalam pernyataan tertulisnya pada 11 September lalu, Direktur Eksekutif NNTC James Lowe mengatakan Rio Tinto harus mengubah kebijakan perusahaan untuk mendukung masyarakat melindungi situs warisan budaya mereka. “Kami meminta adanya peninjauan yang transparan dan independen terhadap Rio Tinto,” ucap Lowe.

Menurut Lowe, pemerintah Australia juga harus memperbaiki aturan dan manajemen pelindungan warisan budaya. Dia menilai Australia saat ini tidak memiliki undang-undang pelindungan warisan budaya yang kuat di tingkat hukum negara bagian hingga federal. “Interaksinya tidak efisien,” ujar Lowe.

Kasus perusakan ini berawal dari rencana Rio Tinto memperluas tambang besi Brockman 4 di Pilbara. Di kawasan itu terdapat gua Juukan Gorge, salah satu situs purba tertua di Australia Barat. Perusahaan meledakkan kawasan berbatu itu untuk membuka akses lebih besar ke stok bijih besi berkualitas tinggi. Jumlahnya diperkirakan mencapai 8 juta ton dan bernilai sekitar US$ 135 juta.

Rio Tinto sudah mengantongi izin untuk memperluas tambang di kawasan itu sejak 2013. Pasal 18 Undang-Undang Warisan Budaya Aborigin—regulasi lawas mengenai warisan budaya Aborigin di Australia Barat—memang tak melarang perusahaan itu menghancurkan situs masyarakat pribumi. Aturan yang dibuat pada 1972 itu sudah lama dikritik aktivis masyarakat adat dan lingkungan karena dinilai hanya menguntungkan pengusaha pertambangan.

Puutu Kunti Kurrama and Pinikura (PKKP), kelompok warga Aborigin dan pemilik tanah adat seluas 10 ribu kilometer persegi di Pilbara, sejak awal menentang rencana Rio Tinto menghancurkan lahan Juukan Gorge. Apalagi setahun setelah izin Rio Tinto terbit, para arkeolog menemukan banyak artefak, seperti perkakas batu dan tulang, serta benda-benda yang dinilai sakral oleh warga Aborigin di sana.

Rio Tinto bergeming. Pada 24 Mei lalu, tim peledak mengubah gua dan dinding batu Juukan Gorge menjadi puing-puing. Menurut Direktur PKKP Burchell Hayes, Juukan Gorge merupakan salah satu situs paling sakral bagi masyarakat Kurrama dan Pinikura di Pilbara. “Kami hanya ingin area itu dilindungi,” ucap Hayes kepada The Guardian.

Hancurnya situs Juukan Gorge membuat Rio Tinto dihujani kritik tajam dari kelompok masyarakat Aborigin dan aktivis lingkungan. Chris Salisbury akhirnya meminta maaf kepada masyarakat Aborigin. "Kami sangat menghargai warga Puutu Kunti Kurrama dan Pinikura," ujar Salisbury. "Kami akan meninjau ulang seluruh rencana di area Juukan Gorge.”

Tekanan terhadap Rio Tinto juga datang dari para investor. AustralianSuper, pemegang saham Rio Tinto, menuntut perusahaan itu bertanggung jawab atas kejadian di Pilbara. Direktur Kebijakan Lingkungan dan Sosial AustralianSuper Andrew Gray mengatakan penghancuran itu tidak dapat diterima. "Kami sudah beberapa kali membicarakan hal ini dengan anggota direksi Rio Tinto,” kata Andrew seperti dikutip Sydney Morning Herald.

PKKP menyatakan akan terus memantau Rio Tinto dalam upayanya membereskan dampak bencana di Juukan Gorge. Mereka juga akan berusaha menjaga situs warisan nenek moyang yang tersisa. PKKP akan memastikan tragedi seperti di Juukan Gorge tak bakal terjadi lagi. “Warga kami sangat berduka atas hancurnya situs ini dan kehilangan koneksi dengan nenek moyang dan tanah air kami," ujar perwakilan PKKP, John Asburton, seperti dilaporkan Reuters.

Perluasan tambang menjadi ancaman bagi keselamatan situs-situs bersejarah di Australia. Sebelum kasus Juukan Gorge, banyak lokasi penting lain yang hancur atau rusak. Salah satunya Burrup Peninsula, situs yang berisi banyak pahatan purba di batu dan diperkirakan berusia lebih dari 40 ribu tahun. Lokasi ini bahkan masuk daftar Warisan Dunia Organisasi Pendidikan, Ilmu Pengetahuan, dan Kebudayaan (UNESCO).

Situs lain yang juga rusak gara-gara aktivitas pertambangan adalah kawasan Spear Valley di Pilbara. Lokasi ini merupakan tempat penting bagi masyarakat Guruma Timur. Hasil penelitian arkeologi menunjukkan ada jejak peradaban dan seni batu berusia lebih dari 23 ribu tahun di sana. Di lokasi ini hendak dibangun jalur kereta yang menghubungkan tambang-tambang Eliwana dan Solomon milik pengusaha Andrew Forrest.

Ketua komite penyelidik kasus peledakan Juukan Gorge, Warren Entsch, menyatakan operator tambang seharusnya bisa melindungi situs dan warisan budaya masyarakat pribumi. Anggota parlemen Australia dari Queensland itu mengungkapkan, komite terus melakukan investigasi dan bakal memanggil para petinggi Rio Tinto meski mereka sudah tidak menjabat. "Ada banyak pertanyaan yang harus mereka jawab," tutur Entsch.

Perusahaan tambang dan rival Rio Tinto, BHP, juga akan menghadapi pemeriksaan di parlemen setelah mengantongi izin untuk menghancurkan situs budaya Aborigin di Pilbara. Perusahaan itu akan mengembangkan proyek tambang bijih besi South Flank senilai US$ 5 miliar.

Menteri Keuangan dan Urusan Warga Aborigin Australia Barat Ben Wyatt mengatakan peledakan situs di Pilbara adalah sebuah kesalahan fatal. Peraturan negara dinilai gagal melindungi hak dan warisan budaya masyarakat Aborigin. Wyatt juga sudah lama mengkritik aturan mengenai pelindungan situs bersejarah di Australia Barat yang sudah ketinggalan zaman. Dia juga menginisiasi usul peninjauan ulang Undang-Undang Warisan Budaya Aborigin.

Menurut Wyatt, Rio Tinto sama sekali tak memiliki pengalaman atau pemahaman yang baik mengenai masyarakat adat dan kawasan Pilbara. Kondisi ini ironis, mengingat 75 persen pemasukan perusahaan tambang itu berasal dari Pilbara. "Tak satu pun dari direkturnya yang memahami kelompok masyarakat Aborigin yang tinggal di sana. Ini sangat berisiko," ujar Wyatt, yang juga memiliki darah Yamatji, salah satu kelompok Aborigin di Australia Barat.

Sebelum Juukan Gorge dihancurkan, lebih dari 7.000 artefak sempat diselamatkan dari lokasi ini. Namun kondisi barang-barang itu tak jelas karena hanya diletakkan di dalam kontainer yang tidak sesuai dengan standar penyimpanan museum. Menurut Glynn Cochrane, arkeolog yang pernah bekerja untuk Rio Tinto selama dua dekade, belum ada kepastian soal tempat penyimpanan terakhir artefak-artefak itu. "Ini seperti meledakkan makam prajurit tak dikenal dan melupakan isinya," katanya.

GABRIEL WAHYU TITIYOGA (REUTERS, BBC, CNN, SIDNEY MORNING HERALD, ABC NEWS)
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Gabriel Wahyu Titiyoga

Gabriel Wahyu Titiyoga

Alumni Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Jakarta ini bergabung dengan Tempo sejak 2007. Menyelesaikan program magister di Universitas Federal Ural, Rusia, pada 2013. Penerima Anugerah Jurnalistik Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan 2014. Mengikuti Moscow Young Leaders' Forum 2015 dan DAAD Germany: Sea and Ocean Press Tour Program 2017.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus