Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Ketika Mudik Berujung Pelik

Mudik tak selamanya menjadi ritual pengobat kerinduan. Bagi Aida dan Firman, perjalanan mudik yang seharusnya sederhana dapat menyimpang tiba-tiba. 
 

19 September 2020 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Ibnu Jamil dan Putri Ayudya dalam Mudik. Youtube Lifelike Picture

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SESUATU akan meledak dalam perjalanan itu. Isyaratnya sudah terbaca sejak menit pertama Aida (Putri Ayudya) dan Firman (Ibnu Jamil) memulai trip bermobil mereka untuk mudik Lebaran. Pertemuan mereka segera diisi dengan suara meninggi dan kegusaran. Di antara riuh rendah jalanan, siaran reportase mudik dari radio, dan nasi Padang area peristirahatan yang dikunyah ogah-ogahan, pasangan suami-istri itu hanya mengulur waktu hingga pecah ketegangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Namun, sebelum urusan mereka berdua tertumpahkan, Aida, yang sedang memegang setir, menabrak seorang pesepeda motor. Bersama-sama, mereka harus lebih dulu membereskan persoalan yang membelokkan rute perjalanan ke sebuah desa. Di sana, mereka dituntut bertanggung jawab kepada Santi (Asmara Abigail)—istri korban—dan kerabat lain. Sesaat, kenahasan itu tampak menjadi peluang yang membuat Aida dan Firman kembali mendekat.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Asmara Abigail dalam Mudik produksi Lifelike Picture yang ditayangkan Mola TV. Youtube Lifelike Picture

Bukankah ini ramuan film perjalanan pada umumnya? Sebuah film yang mengikuti perjalanan berkendara satu atau beberapa karakter. Di dalamnya biasa muncul aral tak terduga, perubahan tujuan tiba-tiba, lalu ditutup resolusi ketika mereka yang berjalan bersama menjadi makin kenal dan akrab. Setidaknya beberapa film perjalanan yang langsung muncul di ingatan, seperti Thelma & Louise (Ridley Scott, 1991), Le Grand Voyage (Ismaël Ferroukhi, 2004), atau Little Miss Sunshine (Jonathan Dayton dan Valerie Faris, 2006), memakai formula demikian. Begitu juga karya yang lebih dekat, seperti Eliana, Eliana (Riri Riza, 2002) dan Mencari Hilal (Ismail Basbeth, 2015). Tentu rumus itu diterapkan dengan kreasi penceritaan masing-masing. 

Dalam Mudik, yang dicoba dibuat berbeda oleh sutradara Adriyanto Dewo adalah menjadikan ketidaknyamanan berjalan dengan seseorang yang justru hendak dihindari merambat hingga ke luar layar. Meski terus bergerak, Aida dan Firman hanya terkungkung dalam ruang terbatas di mobil. Kebersamaan di dalam ruang sempit itu tak diisi obrolan seru, hanya kesunyian canggung dan sesuatu yang jelas tertahan. Waktu berjalan lambat hingga membuat frustrasi. Menontonnya memaksa kita turut mengalami kejemuan yang menyesakkan. Tak ada kehangatan atau penghiburan seperti yang dapat kita temukan saat menonton film panjang Adriyanto sebelumnya, Tabula Rasa (2014).

Putri Ayudya dan Asmara Abigail dalam Mudik. Youtube Lifelike Picture

Pilihan ini mengingatkan pada film pendek Natalan (Tata Sidharta, 2015) tentang perjalanan pulang Resnu dan istrinya untuk merayakan Natal bersama keluarga. Ada konflik nyata di antara pasangan itu sepanjang jalan, tapi diwujudkan dengan diam sedingin es alih-alih bertengkar. Namun, karena film ini pendek saja, perjalanan itu tak menjadi fokus utama agar pukulan yang disiapkan di akhir lebih terasa.

Mudik punya lebih banyak kesempatan untuk mengeksplorasi rute jalan dan suasananya. Kamera Adriyanto mendekati kemacetan, bus yang menyeruduk pembatas jalan, dan, terutama, wajah-wajah renyuk dan lelah para pejalan yang sesekali menepi untuk menunaikan salat berjemaah dan makan. Perjalanan mudik yang nyaris selalu bersinonim dengan kekariban keluarga itu dapat dibangun bukan hanya sebagai tempelan, tapi juga salah satu elemen pengembangan karakter Aida. Terkadang dia menatap lama pemandangan keakraban ibu dan anak di luar jendela, meski pengungkapan alasannya baru terjadi belakangan.

Perubahan dinamika muncul seusai kecelakaan. Makin banyak karakter dan cabang cerita baru dikenalkan. Momen ini adalah kesempatan menarik napas setelah muak melihat Aida dan Firman berdiam-diaman. Di bagian ini dimasukkan senggolan-senggolan pada problem yang kita maklumi bersama, seperti polisi yang tak memberikan solusi, uang “damai” untuk mengubur tragedi, juga kerabat karib yang merubung hanya jika melihat celah untuk mendapat untung.

Mudik

Berdiri di tengah pusaran masalah itu adalah dua karakter perempuan, Aida dan Santi. Meski jelas berbeda latar belakang—Aida adalah perempuan mandiri dari kota dan Santi adalah ibu muda dari kampung yang ditinggalkan suami—toh mereka punya posisi sama sebagai obyek penghakiman karena keperempuanan mereka. Ada penghakiman “ringan”, seperti: “Mengapa, kok, istrinya yang menyetir mobil?” Ada pula yang lebih pelik, seperti penghakiman atas perempuan yang menjanda atau perempuan yang tak mampu memiliki anak. Putri Ayudya dan Asmara Abigail dengan baik membalikkan penghakiman itu untuk membuat karakter masing-masing menonjol.

Pola tidak memberikan jawaban di awal atas pertanyaan-pertanyaan yang muncul dalam cerita tetap dipertahankan hingga ujung perjalanan. Maka rasa frustrasi akan terus menemani kita hingga hampir selesai cerita karena rombongan pejalan itu tampak tak ada niat untuk saling terbuka. Baik Aida dan Firman maupun Santi dan Agus (Yoga Pratama), yang belakangan menjadi anggota tambahan dalam perjalanan itu, menyimpan bom yang dapat meledak sewaktu-waktu.

Satu yang mengganjal: ada yang tak tersambung antara iming-iming konsep film perjalanan dan Aida sebagai tokoh utama. Merujuk pada sinopsis, trip mudik ini disebut memaksa Aida mengambil keputusan yang akan mengubah masa depan hidupnya. Nyatanya, puncak konflik Aida dan Firman serta keputusan pada akhir cerita semestinya dapat juga terjadi sekalipun perjalanan itu tak ada. Jika ada yang mendapat dampak langsung dari pengalaman berjalan itu, Santi-lah orangnya. Tapi, agar adil, bolehlah disimpulkan bahwa ‘mudik’ tersebut menjadi kendaraan bagi Aida, Firman, dan Santi untuk ‘pulang’ kepada hasrat dan harapan masing-masing. 

MOYANG KASIH DEWI MERDEKA

Mudik

Sutradara: Adriyanto Dewo
Skenario: Adriyanto Dewo
Pemain: Putri Ayudya, Ibnu Jamil, Asmara Abigail
Produksi: Lifelike Pictures

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Moyang Kasih Dewi Merdeka

Moyang Kasih Dewi Merdeka

Bergabung dengan Tempo pada 2014, ia mulai berfokus menulis ulasan seni dan sinema setahun kemudian. Lulusan Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara ini pernah belajar tentang demokrasi dan pluralisme agama di Temple University, Philadelphia, pada 2013. Menerima beasiswa Chevening 2018 untuk belajar program master Social History of Art di University of Leeds, Inggris. Aktif di komunitas Indonesian Data Journalism Network.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus