Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Himbauan huang hua

Menurut menlu rrc huang hua para hoakiao boleh berkunjung ke cina. hubungan diplomatik indonesia-cina dimulai tahun 1951, berakhir dengan meletusnya g30s/pki dan revolusi kebudayaan di rrc. (ln)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KE Peking, dunia memandang dengan penuh harapan akan kebijaksanaan moderat-pragmatis Triumvirat Hua Huo-feng, Teng Hsiao-ping dan Yeh Chien-Sing. Tapi di tengah optimi sme muncul satu ganjalan yang barangkali akan kembali menghantui hubungan negara-negara Asia Tenggara dengan terutama - Peking. Ini bersumber pada salah satu pidalo Menteri Luar Negeri Eluang Hua belum lama berselang. Di situ antara lain disinggung sikap baru negeri itu dalam masalah perantauan Cina. Huang mengemukakan, RRC akan memperbolehkan para hoakiao mengunjungi tanah leluhur mereka dan bertemu dengan sanak keluarga di daratan Cina. Pengawal Merah Keterangan itu tak lama kemudian disusul dengan suatu tulisan dalam Harian Rakyat Peking, yang bisa dianggap sebagai penjelasannya. Artikel ditulis oleh Liao Cheng-chih, veteran ahli masalah hoakiao. Dari 1959 Liao menjabat sebagai Kepala Komisi Masalah-Masalah Cina Perantauan, sampai ia digulingkan dari kedudukan itu oleh Pengawal Merah selama Revolusi Kebudayaan berlangsung.Akhir-akhir ini ia direhabilitasi dan memperoleh kembali kedudukan lamanya. Tulisan Liao antara lain: "Orang keturunan Cina di luar negeri boleh datang ke RRC kalau mereka ingin bertemu dengan sanak keluarganya. Sebaliknya kami pun akan memperbolehkan warga negara kami berkunjung ke luar negeri untuk bertemu dengan keluarganya. Kamipun akan menyediakan fasilitas bagi para hoakiao yang berkunjung ke RRC baik sebagai turis, menyaksikan hari-hari nasional kami, maupun untuk keperluan lain. Sehubungan dengan itu kami akan mempermudah prosedur izin masuk dan meninggalkan RRC." Sementara itu laporan yang diterima di Hongkong mengatakan bahwa kebijaksanaan baru Peking dalam masalah hoakiao ini telah dijalankan. RRC telah mengundang rombongan-rombongan hoakiao untuk mengadakan kunjungan ke sana. Malahan, menurut kabar tersebut, RRC juga telah mengundang para kapitalis Cina perantauan untuk menanamkan uangnya dengan janji keuntungan yang sangat menarik. Kalau ini benar, kemungkinan besar akan terjadi suatu kebangkitan kembali dorongan hubungan psikologis, kebudayaan dan emosionil antara hoakiao dengan negeri leluhur. Apalagi kalau dibumbui pula dengan tawaran keuntungan dagang. Himbauan Huang barangkali bisa dihubungkan dengan program memajukan ekonomi, industrialisasi dan modernisasi yang sekarang sedang dlgarap negeri itu. Golongan Cina perantauan tak pelak lagi akan menjadi sumber keuangan maupun tenaga terdidik dalam proyek ambisius tersebut. Tapi di pihak lain, ajakan Huang mungkin pula akan menyebabkan berbagai pemerintah di Asia Tenggara seera memasang kuda-kuda. Dan mungkin langkah yang diambil mereka justru akan menyulitkan posisi golongan minoritas Cina sendiri. Bagaimana hubungannya dengan Indonesia? Masalah perantauan Cina di negeri ini sama klasiknya dengan hubungan Jakarta-Peking dan Jakarta-Taipei (TEMPO, 18 Pebruari, Laporan Utama). Tahun 1950, tak lama setelah penyerahan kedaulatan kita dan terdesaknya Pemerintah Cina Nasionalis ke Taiwan, baik Pemerintah Indonesia maupun RRC mulai membicarakan pembukaan hubungan diplomatik. Peking mendesak agar segera bisa membuka kedutaan besar di Jakarta, dengan target merebut simpati golongan Hoakiao dari pengaruh Cina Nasionalis yang telah berlangsung 20 tahun. Bagi Jakarta, hubungan diplomatik dengan RRC penting untuk membuktikan bahwa Indonesia menjalankan politik bebas aktif. Tetapi hubungan yang terlalu rapat antara Peking dengan masyarakat Cina di Indonesia justru merupakan ancaman bagi hubungan kedua negara baik dalam bidang ekonomi mau pun sekuriti. Karena perbedaan kepentingan itulah perundingan mengenai pembukaan kantor-kantor konsulat berjalan dengan seret. Dalam Orbit Tapi akhirnya suatu kompromi dicapai juga. RRC boleh membuka kantor di pulau-pulau utama di Indonesia (di Jakarta, Medan, Banjarmasin, Makasar) sebelum April 1951. Di bawah pimpinan Wang Jenshu duta besar pertama RRC di Indonesia, Kedutaan Besar RRC tak menyia-nyiakan waktu untuk segera mengadakan kegiatan propaganda di kalangan hoa-kiao, dan membawa mereka ke dalam orbit kebijaksanaan dan program RRC. Mereka mendaftar seluruh keluarga Cina dalam rangka pengumpulan dana bagi segala kegiatan yang disponsori Kedutaan. Bahan pelajaran pro-RRC dimasukkan ke sekolah sekolah Cina. Guru- gurunya dibina agar pro-Peking, ditambah pula dengan pembentukan perkum pulan-perkumpulan kemasyarakatan untuk menyaingi perkumpulan pro-Taiwan. Kemenangan besar direbut Peking ketika Bank of Cina - badan finansial paling kuat di kalangan hoakiao di Indonesia -- melepaskan hubungan dengan Taipeh dan menyeberang ke Peking. Ini di susun dengan tindakan sama oleh parakapitalis Cina di Indonesia. Akibatnya secara ekonomis Kedutaan Besar RRC makin kuat dan kegiatannya makin galak. Tahun 1963 Jakarta dibuat kaget: ternyata sejumlah 600-700 ribu orang Cina yang lahir di Indonesia, atau kurang lebih 40 persen, menyatakan dirinya menolak kewarganegaraan Indonesia. Hampir 500 ribu lainnya memang dilahirkan di luar negeri, dan dengan demikian harus dianggap warga negara RRC. Ini ditambah lagi dengan keraguan atas kesetiaan kepada RI dari orang-orang selebihnya yang tidak melakukan pilihan. Keadaan ini membuat Indonesia khawatir dan mulai membatasi ruang gerak Kedutaan RRC. Pemerintah Indonesia misalnya meneœur Duta besar RRC untuk tidak mengucapkan pidato yang memusuhi Amerika. Personil Kedutaan pun dibatasi jumlahnya. Dalam Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Indonesia-RC 1955, dikatakan bahwa orang Cina yang punya hak buat memilih salah satu kewarganegaraan diberi waktu selama dua tahun setelah perjanjian ditanda tangani untuk melakukan pilihan. Mereka yang tidak memilih, kewarganegaraannya ditentukan oleh kewarganegaraan orangtua mereka. Dengan perjanjian ini Indonesia berharap mendapat jan1inan, karena di dalamnya ada pasal bahwa orang yang memegang kewarganegaraan RRC akan mematuhi dan mendapat perlindungan undang-undang Indonesia, asalkan "tidak turut campur dalam kegiatan politik." Di pihak lain RRC mendapat jaminan bahwa warganegaranya akan dilindungi baik hak miliknya maupun keamanan fisiknya oleh hukum Indonesia. Berdasarkan Hukum Sebetulnya masih ada ketidaksamaan pendapat dalam menafsirkan kata "hak dan kepentingan" yang tercantum dalam perjanjian. RRC berpendapat: itu berarti seluruh hak dan kepentingan, termasuk kepentingan ekonomi. Sedang pihak Indonesia mengartikannya sebagai hak dan kepentingan berdasar hukum Indonesia. Jadi waktu perjanjian ditandatangani, isyu kedudukan ekonomi golongan Cina tidak dijelaskan, malahan dibiarkan kabur. Cina baru sadar akan penafsiran Indonesia mengenai hal itu empat tahun kemudian. Di tahun 1959 keluarlah PP 10 yang melarang kegiatan para pedagang Cina asing di desa-desa. Ini diikuti dengan tindakan-tindakan kekerasan yang diambil oleh beberapa penguasa militer daerah terhadap orang Cina. Peristiwa ini pun mencmpatkan RRC pada kedudukan sang sulit: ia harus membela orang-orang yang berdasarkan undan-undang adalah warganya. Tetapi kedudukan "kelas kapitalis" yang dipunyai golongan Cina tersebut akan melunturkan prinsipnya sebagai kekuatan pengganyang kapitalisme dan "pembela kaum buruh dan tani." Adapun kejadiannya, hubungan Jakarta-Peking meruncing kembali, walaupun garis politik Indonesia waktu itu sudah mulai membelok ke kiri. Peking nampaknya gagal membujuk Sukarno turun tangan menyelesaikan masalah ini. Karenanya mereka harus mundur selangkah, sebab pertentangan berlarut-larut mengenai masalah ini akan menyebabkan kehancuran posisi RRC di Indonesia. Harap dicatat, kepentingan RRC di Indonesia waktu itu selain merebut simpati golongan hoakiao adalah: mendekati kaum komunis dan memperlemah kedudukan "golongan kanan." Sejalan dengan itu, mulai 10 Desember 1959, Radio Peking setiap hari menyiarkan seruan yang mengajak hoakiao kembali "ke pelukan hangat negeri leluhur," karena di sana telah teredia "kesempatan terbaik untuk bekerja dan mengabdi demi pembangunan sosialis." Pasar Gelap Tindakan ini bukan semata-mata memanggil mereka pulang kampung. Ada latar belakangnya. Dengan menarik sebagian orang Cina pulang, Peking bermaksud "menghukum" Indonesia. Dan ini memang terbukti. Ketika beberapa ribu orang Cina sedang bersiap berlayar ke daratan Cina dan meninggalkan pekerjaan mereka sebagai pedagang, ekonomi Indonesia mengalami pukulan yang cukup berat. Golongan Cina lain yang takut terjadinya suatu pengusiran besar-besaran atas diri mereka telah menjual baran konsumsi yang mereka kuasai di pasar gelap, dan membeli valuta asing untuk disimpan di bank-bank Singapura dan Hongkong. Terjadilah inflasi dan kenaikan harga. Sadar atas kemenangan moril ini RRC menawarkan kompromi--walaupun menjelang tahun 1960 ada sekitar 40 ribu keturunan Cina menunggu pengapalan ke RRC. Menjelang berakhirnya perselisihan dengan Indonesia, jumlah mereka yang terdaftar untuk pulang ke Cina berkisar sekitar 119 ribu orang--kebanyakan tak punya keahlian lain kecuali berdagang. Karenanya mereka takkan berguna dalam,"pembangunan sosialis." Ditambah lagi dengan kenyataan bahwa sebagian besar mereka terdiri dari orang tua dan setengah umur serta perbedaan sistim kemasyarakatan mengakibatkan mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan kehidupan RRC yang keras. Melihat kepincangan ini, Kedutaan RRC buru-buru menghentikan pendaftaran orang-orang yang berniat pulang .... Suhu hubungan Jakarta-Peking sebetulnya makin panas waktu itu. Tetapi keadaan ini ditolong dengan politik dalam dan luar negeri Indonesia yang makin condong ke kiri menjelang terbentuknya poros Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang-Pnompenh. Sebelum 1960 berakhir, masalah . Cina perantauan ini sekali lagi masuk "peti es." Penganiayaan Fisik Meletusnya Revolusi Kebudayaan di RRC dan pecahnya G30S/PKI di Indonesia membawa satu episode baru yang penuh kepahitan bagi golongan hoakiao di Indonesia. Kehancuran PKI menyebabkan kerugian bagi masyarakat Cina, baik yang pro-Peking maupun yang bukan. Di beberapa kota terjadi perusakan, pembakaran atas harta kekayaan keturunan Cina dan penganiayaan fisik terhadap mereka. Sentimen anti-Cina merambat ke seluruh wilayah tanah-air di mana mereka sendiri dilahirkan turunan demi urunan. Sebetulnya peristiwa ini tak lepas dari campur tangan Peking dalam urusan rumah tangga Indonesia. Para pemimpin dan diplomat Cina di luar negeri telah menganjurkan orang Cina setempat untuk turut mengambil bagian dalam kegiatan Revolusi Kebudayaan, seperti halnya "saudara-saudara sekandung mereka di RRC yang sedang menjalankan ajaran-ajaran Mao Tse-tung." Ini tentu saja membuat pemerintah dan rakyat setempat muak kepada keturunan Cina dan rnengadakan tindakan kekerasan. Masa ini merupakan masa gelap. Beberapa negara Asia Tenggara--antara lain Birma, Kamboja dan Indonesia - terlanda kerusuhan anti Cina. Akibatnya adalah pembekuan hubungan diplomatik Indonesia-RRC - yang sampai sekarang belum tercairkan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus