KE Peking, dunia memandang dengan penuh harapan akan
kebijaksanaan moderat-pragmatis Triumvirat Hua Huo-feng, Teng
Hsiao-ping dan Yeh Chien-Sing. Tapi di tengah optimi sme muncul
satu ganjalan yang barangkali akan kembali menghantui hubungan
negara-negara Asia Tenggara dengan terutama - Peking. Ini
bersumber pada salah satu pidalo Menteri Luar Negeri Eluang Hua
belum lama berselang. Di situ antara lain disinggung sikap baru
negeri itu dalam masalah perantauan Cina. Huang mengemukakan,
RRC akan memperbolehkan para hoakiao mengunjungi tanah leluhur
mereka dan bertemu dengan sanak keluarga di daratan Cina.
Pengawal Merah
Keterangan itu tak lama kemudian disusul dengan suatu tulisan
dalam Harian Rakyat Peking, yang bisa dianggap sebagai
penjelasannya. Artikel ditulis oleh Liao Cheng-chih, veteran
ahli masalah hoakiao. Dari 1959 Liao menjabat sebagai Kepala
Komisi Masalah-Masalah Cina Perantauan, sampai ia digulingkan
dari kedudukan itu oleh Pengawal Merah selama Revolusi
Kebudayaan berlangsung.Akhir-akhir ini ia direhabilitasi dan
memperoleh kembali kedudukan lamanya.
Tulisan Liao antara lain: "Orang keturunan Cina di luar negeri
boleh datang ke RRC kalau mereka ingin bertemu dengan sanak
keluarganya. Sebaliknya kami pun akan memperbolehkan warga
negara kami berkunjung ke luar negeri untuk bertemu dengan
keluarganya. Kamipun akan menyediakan fasilitas bagi para
hoakiao yang berkunjung ke RRC baik sebagai turis, menyaksikan
hari-hari nasional kami, maupun untuk keperluan lain. Sehubungan
dengan itu kami akan mempermudah prosedur izin masuk dan
meninggalkan RRC."
Sementara itu laporan yang diterima di Hongkong mengatakan bahwa
kebijaksanaan baru Peking dalam masalah hoakiao ini telah
dijalankan. RRC telah mengundang rombongan-rombongan hoakiao
untuk mengadakan kunjungan ke sana. Malahan, menurut kabar
tersebut, RRC juga telah mengundang para kapitalis Cina
perantauan untuk menanamkan uangnya dengan janji keuntungan yang
sangat menarik.
Kalau ini benar, kemungkinan besar akan terjadi suatu
kebangkitan kembali dorongan hubungan psikologis, kebudayaan dan
emosionil antara hoakiao dengan negeri leluhur. Apalagi kalau
dibumbui pula dengan tawaran keuntungan dagang.
Himbauan Huang barangkali bisa dihubungkan dengan program
memajukan ekonomi, industrialisasi dan modernisasi yang sekarang
sedang dlgarap negeri itu. Golongan Cina perantauan tak pelak
lagi akan menjadi sumber keuangan maupun tenaga terdidik dalam
proyek ambisius tersebut.
Tapi di pihak lain, ajakan Huang mungkin pula akan menyebabkan
berbagai pemerintah di Asia Tenggara seera memasang kuda-kuda.
Dan mungkin langkah yang diambil mereka justru akan menyulitkan
posisi golongan minoritas Cina sendiri.
Bagaimana hubungannya dengan Indonesia? Masalah perantauan Cina
di negeri ini sama klasiknya dengan hubungan Jakarta-Peking dan
Jakarta-Taipei (TEMPO, 18 Pebruari, Laporan Utama). Tahun 1950,
tak lama setelah penyerahan kedaulatan kita dan terdesaknya
Pemerintah Cina Nasionalis ke Taiwan, baik Pemerintah Indonesia
maupun RRC mulai membicarakan pembukaan hubungan diplomatik.
Peking mendesak agar segera bisa membuka kedutaan besar di
Jakarta, dengan target merebut simpati golongan Hoakiao dari
pengaruh Cina Nasionalis yang telah berlangsung 20 tahun.
Bagi Jakarta, hubungan diplomatik dengan RRC penting untuk
membuktikan bahwa Indonesia menjalankan politik bebas aktif.
Tetapi hubungan yang terlalu rapat antara Peking dengan
masyarakat Cina di Indonesia justru merupakan ancaman bagi
hubungan kedua negara baik dalam bidang ekonomi mau pun
sekuriti. Karena perbedaan kepentingan itulah perundingan
mengenai pembukaan kantor-kantor konsulat berjalan dengan seret.
Dalam Orbit
Tapi akhirnya suatu kompromi dicapai juga. RRC boleh membuka
kantor di pulau-pulau utama di Indonesia (di Jakarta, Medan,
Banjarmasin, Makasar) sebelum April 1951.
Di bawah pimpinan Wang Jenshu duta besar pertama RRC di
Indonesia, Kedutaan Besar RRC tak menyia-nyiakan waktu untuk
segera mengadakan kegiatan propaganda di kalangan hoa-kiao, dan
membawa mereka ke dalam orbit kebijaksanaan dan program RRC.
Mereka mendaftar seluruh keluarga Cina dalam rangka pengumpulan
dana bagi segala kegiatan yang disponsori Kedutaan. Bahan
pelajaran pro-RRC dimasukkan ke sekolah sekolah Cina. Guru-
gurunya dibina agar pro-Peking, ditambah pula dengan
pembentukan perkum pulan-perkumpulan kemasyarakatan untuk
menyaingi perkumpulan pro-Taiwan.
Kemenangan besar direbut Peking ketika Bank of Cina - badan
finansial paling kuat di kalangan hoakiao di Indonesia --
melepaskan hubungan dengan Taipeh dan menyeberang ke Peking. Ini
di susun dengan tindakan sama oleh parakapitalis Cina di
Indonesia. Akibatnya secara ekonomis Kedutaan Besar RRC makin
kuat dan kegiatannya makin galak.
Tahun 1963 Jakarta dibuat kaget: ternyata sejumlah 600-700 ribu
orang Cina yang lahir di Indonesia, atau kurang lebih 40 persen,
menyatakan dirinya menolak kewarganegaraan Indonesia. Hampir 500
ribu lainnya memang dilahirkan di luar negeri, dan dengan
demikian harus dianggap warga negara RRC. Ini ditambah lagi
dengan keraguan atas kesetiaan kepada RI dari orang-orang
selebihnya yang tidak melakukan pilihan. Keadaan ini membuat
Indonesia khawatir dan mulai membatasi ruang gerak Kedutaan RRC.
Pemerintah Indonesia misalnya meneœur Duta besar RRC untuk tidak
mengucapkan pidato yang memusuhi Amerika. Personil Kedutaan pun
dibatasi jumlahnya.
Dalam Perjanjian Dwi Kewarganegaraan Indonesia-RC 1955,
dikatakan bahwa orang Cina yang punya hak buat memilih salah
satu kewarganegaraan diberi waktu selama dua tahun setelah
perjanjian ditanda tangani untuk melakukan pilihan. Mereka yang
tidak memilih, kewarganegaraannya ditentukan oleh
kewarganegaraan orangtua mereka.
Dengan perjanjian ini Indonesia berharap mendapat jan1inan,
karena di dalamnya ada pasal bahwa orang yang memegang
kewarganegaraan RRC akan mematuhi dan mendapat perlindungan
undang-undang Indonesia, asalkan "tidak turut campur dalam
kegiatan politik." Di pihak lain RRC mendapat jaminan bahwa
warganegaranya akan dilindungi baik hak miliknya maupun keamanan
fisiknya oleh hukum Indonesia.
Berdasarkan Hukum
Sebetulnya masih ada ketidaksamaan pendapat dalam menafsirkan
kata "hak dan kepentingan" yang tercantum dalam perjanjian. RRC
berpendapat: itu berarti seluruh hak dan kepentingan, termasuk
kepentingan ekonomi. Sedang pihak Indonesia mengartikannya
sebagai hak dan kepentingan berdasar hukum Indonesia. Jadi waktu
perjanjian ditandatangani, isyu kedudukan ekonomi golongan Cina
tidak dijelaskan, malahan dibiarkan kabur.
Cina baru sadar akan penafsiran Indonesia mengenai hal itu empat
tahun kemudian. Di tahun 1959 keluarlah PP 10 yang melarang
kegiatan para pedagang Cina asing di desa-desa. Ini diikuti
dengan tindakan-tindakan kekerasan yang diambil oleh beberapa
penguasa militer daerah terhadap orang Cina.
Peristiwa ini pun mencmpatkan RRC pada kedudukan sang sulit: ia
harus membela orang-orang yang berdasarkan undan-undang adalah
warganya. Tetapi kedudukan "kelas kapitalis" yang dipunyai
golongan Cina tersebut akan melunturkan prinsipnya sebagai
kekuatan pengganyang kapitalisme dan "pembela kaum buruh dan
tani."
Adapun kejadiannya, hubungan Jakarta-Peking meruncing kembali,
walaupun garis politik Indonesia waktu itu sudah mulai membelok
ke kiri. Peking nampaknya gagal membujuk Sukarno turun tangan
menyelesaikan masalah ini. Karenanya mereka harus mundur
selangkah, sebab pertentangan berlarut-larut mengenai masalah
ini akan menyebabkan kehancuran posisi RRC di Indonesia. Harap
dicatat, kepentingan RRC di Indonesia waktu itu selain merebut
simpati golongan hoakiao adalah: mendekati kaum komunis dan
memperlemah kedudukan "golongan kanan."
Sejalan dengan itu, mulai 10 Desember 1959, Radio Peking setiap
hari menyiarkan seruan yang mengajak hoakiao kembali "ke pelukan
hangat negeri leluhur," karena di sana telah teredia "kesempatan
terbaik untuk bekerja dan mengabdi demi pembangunan sosialis."
Pasar Gelap
Tindakan ini bukan semata-mata memanggil mereka pulang kampung.
Ada latar belakangnya. Dengan menarik sebagian orang Cina
pulang, Peking bermaksud "menghukum" Indonesia. Dan ini memang
terbukti. Ketika beberapa ribu orang Cina sedang bersiap
berlayar ke daratan Cina dan meninggalkan pekerjaan mereka
sebagai pedagang, ekonomi Indonesia mengalami pukulan yang cukup
berat. Golongan Cina lain yang takut terjadinya suatu pengusiran
besar-besaran atas diri mereka telah menjual baran konsumsi
yang mereka kuasai di pasar gelap, dan membeli valuta asing
untuk disimpan di bank-bank Singapura dan Hongkong. Terjadilah
inflasi dan kenaikan harga.
Sadar atas kemenangan moril ini RRC menawarkan
kompromi--walaupun menjelang tahun 1960 ada sekitar 40 ribu
keturunan Cina menunggu pengapalan ke RRC. Menjelang berakhirnya
perselisihan dengan Indonesia, jumlah mereka yang terdaftar
untuk pulang ke Cina berkisar sekitar 119 ribu orang--kebanyakan
tak punya keahlian lain kecuali berdagang. Karenanya mereka
takkan berguna dalam,"pembangunan sosialis." Ditambah lagi
dengan kenyataan bahwa sebagian besar mereka terdiri dari orang
tua dan setengah umur serta perbedaan sistim kemasyarakatan
mengakibatkan mereka tidak dapat menyesuaikan diri dengan
kehidupan RRC yang keras. Melihat kepincangan ini, Kedutaan RRC
buru-buru menghentikan pendaftaran orang-orang yang berniat
pulang ....
Suhu hubungan Jakarta-Peking sebetulnya makin panas waktu itu.
Tetapi keadaan ini ditolong dengan politik dalam dan luar negeri
Indonesia yang makin condong ke kiri menjelang terbentuknya
poros Jakarta-Peking-Hanoi-Pyongyang-Pnompenh. Sebelum 1960
berakhir, masalah . Cina perantauan ini sekali lagi masuk "peti
es."
Penganiayaan Fisik
Meletusnya Revolusi Kebudayaan di RRC dan pecahnya G30S/PKI di
Indonesia membawa satu episode baru yang penuh kepahitan bagi
golongan hoakiao di Indonesia. Kehancuran PKI menyebabkan
kerugian bagi masyarakat Cina, baik yang pro-Peking maupun yang
bukan. Di beberapa kota terjadi perusakan, pembakaran atas harta
kekayaan keturunan Cina dan penganiayaan fisik terhadap mereka.
Sentimen anti-Cina merambat ke seluruh wilayah tanah-air di mana
mereka sendiri dilahirkan turunan demi urunan. Sebetulnya
peristiwa ini tak lepas dari campur tangan Peking dalam urusan
rumah tangga Indonesia. Para pemimpin dan diplomat Cina di luar
negeri telah menganjurkan orang Cina setempat untuk turut
mengambil bagian dalam kegiatan Revolusi Kebudayaan, seperti
halnya "saudara-saudara sekandung mereka di RRC yang sedang
menjalankan ajaran-ajaran Mao Tse-tung." Ini tentu saja membuat
pemerintah dan rakyat setempat muak kepada keturunan Cina dan
rnengadakan tindakan kekerasan. Masa ini merupakan masa gelap.
Beberapa negara Asia Tenggara--antara lain Birma, Kamboja dan
Indonesia - terlanda kerusuhan anti Cina. Akibatnya adalah
pembekuan hubungan diplomatik Indonesia-RRC - yang sampai
sekarang belum tercairkan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini