Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Berita Tempo Plus

Mencari Rumusan Kebebasan, 1978

Rektor universitas dan institut negeri se-indonesia mengadakan raker. presiden menyebutkan pemerintah menjamin kebebasan mimbar akademis. kebebasan mimbar dibedakan dari kebebasan akademis. (nas)

25 Februari 1978 | 00.00 WIB

Mencari Rumusan Kebebasan, 1978
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
ADAKAH kebebasan mimbar di Indonesia - yang justru baru saja mulai pulih--sedang terancam? Di Bina Graha, Selasa 14 Pebruari pagi permasalahan tersebut tak kurang diangkat Presiden Soeharto ketika menerima para rektor universitas dan institut negeri seluruh Indonesia. Kepala Negara minta agar para rektor menegakkan kembali kebebasan mimbar akademis yang benar dan melindungi kampus dari penyalahgunaan. Presiden menilai bahwa bulan bulan terakhir ini sekelompok mahasiswa dan 'oknum-oknum tertentu' telah menyalah-gunakan kebebasan mimbar secara tidak bertanggungjawab. Sehingga perlu diadakan penertiban. Agar kampus kembali pada fungsi sejati: sebagai tempat yang punya fungsi bagi pembangunan bangsa. "Dalam rangka inilah harus difahami tindakan alat keamanan dan hukum terhadap sejumlah mahasiswa dan penertiban kehidupan kampus," kata Presiden. Kertas Kerja 5% Halaman Tapi Kepala Negara juga menyampaikan kabar gembira: Pemerintah tetap menjamin adanya kebebasan mimbar akademis. "Saya tidak perlu mengatakan di sini bahwa kebebasan mimbar akademis itu harus memenuhi syarat-syarat yang paling elementer: pendapat yang tersusun sistematis, logis, dan objektif," tambah Presiden. Para rektor menilai pidato Presiden itu sangat melegakan. Kelegaan itu memang tercermin dari suasana ramah-tamah pagi itu. Kepala Negara tampak banyak tersenyum. Serta mengobrol intim dengan pimpinan perguruan tinggi tersebut. Di Hotel Indonesia-Sheraton, tempat para rektor menginap dan mengikuti rapat kerja dari tanggal 14 s/d 17 Pebruari lalu, persoalan kebebasan mimbar akademis diangkat kembali dengan pembahasan kertas kerja yang disampaikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi. Sekalipun pokok persoalan yang diajukan cuma terangkum dalam 5« lembar kwarto tik, tapi cukup mengundang 28 universitas maupun institut untuk memberikan tanggapan. Kebebasan mimbar akademis, menurut rumusan yang disampaikan dalam kertas kerja tersebut, ialah "hak pengajar untuk mengajar atau melakukan penelitian." Juga "hak mahasiswa," tapi ini terbatas pada untuk belajar atau memilih pelajaran apa yang ia kehendaki tanpa ada campur tangan dari pihak lain yang tidak perlu atau tidak layak." Kertas kerja itu kemudian menurunkan contoh: "Seseorang pengajar memberi kuliah dengan mengemukakan masalah politik (policy) pemerintah, misalnya masalah penanaman modal asing yang dipandangnya justru merugikan masyarakat." Kebebasan mimbar akademis, menurut kertas kerja, menjamin ia berbuat demikian, asalkan pendapatnya didukung oleh "dasar-dasar yang bersifat ilmiah, ialah tersusun sistematis, logis dan dapat dibuktikan secara objektif." Bagaimana dengan hak mahasiswa di dalam batasan kebebasan mimbar akademis? "Kalau mahasiswa diakui pula mempunyai kebebasan mimbar akademis, maka itu hanya terbatas pada haknya untuk memilih dan mengikuti pelajaran dalam ilmu yang ia sukai." Oleh kertas kerja mahasiswa pada umumnya tidak dapat dikatakan punya otoritas dalam sesuatu cabang ilmu pengetahuan. Maka "kebebasan mimbar akademis bagi mahasiswa tampak dalam sistem perkuliahan yang selektif," namun dalam hal inipun juga "terbatas pada pemilihan ilmu-ilmu atau mata kuliah yang sudah ditetapkan lebih dahulu." Kertas kerja itu nampaknya menempatkan mahasiswa hanya sebagai pihak penerima ilmu. Yang kelak mungkin jadi problim ialah sejauh mana ia punya keleluasaan sebagai pencari ilmu, yang tidak cuma menerima, tapi juga mengadu argumentasi dan berfikiran sendiri. Itu jika ilmu pengetahuan diharapkan maju dan mahasiswa jadi lebih berwatak. Tapi kesepakatan mengenai rumusan mimbar akademis seperti tercantum dalam kertas kerja yang disampaikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi itu tarrpak belum ada kesesuaian. Tanggapan yang dituangkan oleh 28 perguruan tinggi masih banyak berupa pertanyaan yang menuntut pembahasan lebih lanjut. Dengan pengecualian dalam istilah. Selesai rapat rektor, Menteri P & K, Syarif Thayeb mengatakan bahwa yang dimaksud dengan kebebasan mimbar adalah kebebasan mimbar akademis. Ia merumuskan seperti berikut: "Kebebasan mimbar akademis melipui kebebasan berpendapat serta penyampaian ilmu pengetahuan dan teknologi, baik secara lisan maupun tertulis dalam berbagai forum yang lazim berlaku di perguruan tinggi." Akan landasannya adalah jiwa Pancasila, UUD '45, dan GBHN. Ia juga mengatakan bahwa penggunaan kebebasan mimbar akademis itu harus dilakukan dalam bentuk yang kreatif, konstruktif. bertanggungjawab,serta mengindallkall etika akademis, norma hukum, dan norma moral. "Kalau ini dilanggar, sudah perlu diambil tindakan," kata Thayeb tanpa menyebut lembaga mana yang berhak menilai adanya pelanggaran atau tidak dalam penggunaan kebebasan mimbar akademis itu: Departemen P & K, Rektor, atau Laksusda. Kekuatan Moral Tapi dalam keterangan lanjutan, Thayeb mengungkapkan bahwa diskusi di kampus diperbolehkan sejauh untuk kepentingan akademi. "Kita juga menginginkan mahasiswa mengeluarkan pendapat secara bebas," kata Thayeb. Ucapan ini tentu tak terlepas dari kehendak yang disampaikan Thayeb dalam pidato pembukaannya, 4 hari sebelumnya. Dalam pidato itu, ia menyebut: ".... fungsi dan peranan pendidikan tinggi terutama adalah dalam rangka modernisasi bangsa, menunta adanya kegesitan mahasiswa sebagai unsur pembaharu. Dan salal satu manifestasi kegesitan yang demikian ini adalah timbulnya gerakan-gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Ini memang kita inginkan." Menilai apakah mahasiswa masih kekuatan moral atau bukan agak sulit, memang. Thayeb bukan tak menyadarinya. "Yang pelik di dalam kenyataannya adalah menarik garis yang tegas, di batas mana gerakan mallasiswa sebagai kekuatan moral berhenti, dan di mana pula gerakan tersebut mulai jadi gerakan politik." kata Thayeb. Ketidak-pastian suatu pembatasan dalam penggunaan kebebasan mimbar akademis sering menimbulkan penafsiran keliru dari berbagai pihak, memang. Seperti kata Amiruddin, Rektor Universitas Hasanuddin, Ujung Pandang: "Satu kelompok bilang kebebasan mimbar (akhir-akhir ini) sudah di luar batas. Kelompok lain, bilang belum. Nah, mengenai batasan kebebasan mimbar saja belum kelihatan adanya kesepakatan." Tidak ada kesepakatan dalam aturan permainan sementara itu bisa menimbulkan peluang yang tidak sehat dalam penggunaan kebebasan mimbar. "Coba kalau hukum kita sudah berjalan baik di seluruh negeri. Orang tidak akan sembarangan mempergunakan kebebasan mimbar. Karena penggunaan yang salah bisa menyebabkan yang bersangkutan dituntut di muka pengadilan," ujar Rektor IPB, Achmad Satari. "Bahkan kampus sekalipun tidak berarti tempat yang lebih aman." Satari membedakan kebebasan mimbar (free speech) dengan kebebasan akademis (academic freedom). Menurut dia, yang sering menjadi persoalan kebebasan bentuk pertama. Sedangkan kebebasan akademis tidak ada persoalan sama sekali. Karena ruang lingkupnya yang kecil --terbatas dalam kekhususan profesi. Satari sendiri tidak berkeberatan kebebasan mimbar (free speech) masuk kampus, selama ada jaminan hukum. Bukan Parlemen Berbeda dengan jalan fikiran itu, dr. Prakoso, Rektor Universitas 11 Maret, Surakarta cenderung menjadikan kampus sebagai forum ilmiah semata. "Kalau mau bicara soal politik, serahkan saja pada organisasi ekstra seperti HMI atau lainnya," kata Prakoso. Garis pendapat yang sama keluar dari mulut Masroem, Pembantu Rektor Bidang Akademis Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. "Bebas bicara apa saja di kampus, itu sudah tidak benar. Karena kampus bukanlah parlemen. Bukankah sudah ada DPR untuk menampung semua itu." Kampus memang bukan parlemen. Tapi mungkin menyusupnya maki-maki kc dalam kampus lantaran lembaga Parlemen belum juga berfungsi secara memuaskan. Akibatnya orang cenderung cari forum ke kampus, di mana ada kebebasan. Kini masalahnya, siapa sajakah yang boleh memakai lembaga itu? "Orang luar boleh saja diundang asalkan seizin rektor dan sejauh tidak bertujuan kampanye politik," kata Ida Bagus Oka, Rektor Universitas Udayana, Bali. Lalu, siapakah yang menjadi wasit bahwa kebebasan mimbar itu tidak akan disalah-gunakan? "Pimpinan universitas," jawab Amiruddin. Mudah-mudahan pimpinan universitas sendiri cukup punya wibawa dan wewenang suatu hal yang hanya bisa terjadi jika diikhtiarkan terus menerus - yang hasilnya pernah nampak beberapa kali selama Orde Baru ini.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus