ADAKAH kebebasan mimbar di Indonesia - yang justru baru saja
mulai pulih--sedang terancam?
Di Bina Graha, Selasa 14 Pebruari pagi permasalahan tersebut tak
kurang diangkat Presiden Soeharto ketika menerima para rektor
universitas dan institut negeri seluruh Indonesia. Kepala Negara
minta agar para rektor menegakkan kembali kebebasan mimbar
akademis yang benar dan melindungi kampus dari penyalahgunaan.
Presiden menilai bahwa bulan bulan terakhir ini sekelompok
mahasiswa dan 'oknum-oknum tertentu' telah menyalah-gunakan
kebebasan mimbar secara tidak bertanggungjawab. Sehingga perlu
diadakan penertiban. Agar kampus kembali pada fungsi sejati:
sebagai tempat yang punya fungsi bagi pembangunan bangsa. "Dalam
rangka inilah harus difahami tindakan alat keamanan dan hukum
terhadap sejumlah mahasiswa dan penertiban kehidupan kampus,"
kata Presiden.
Kertas Kerja 5% Halaman
Tapi Kepala Negara juga menyampaikan kabar gembira: Pemerintah
tetap menjamin adanya kebebasan mimbar akademis. "Saya tidak
perlu mengatakan di sini bahwa kebebasan mimbar akademis itu
harus memenuhi syarat-syarat yang paling elementer: pendapat
yang tersusun sistematis, logis, dan objektif," tambah Presiden.
Para rektor menilai pidato Presiden itu sangat melegakan.
Kelegaan itu memang tercermin dari suasana ramah-tamah pagi itu.
Kepala Negara tampak banyak tersenyum. Serta mengobrol intim
dengan pimpinan perguruan tinggi tersebut.
Di Hotel Indonesia-Sheraton, tempat para rektor menginap dan
mengikuti rapat kerja dari tanggal 14 s/d 17 Pebruari lalu,
persoalan kebebasan mimbar akademis diangkat kembali dengan
pembahasan kertas kerja yang disampaikan Direktorat Jenderal
Pendidikan Tinggi. Sekalipun pokok persoalan yang diajukan cuma
terangkum dalam 5« lembar kwarto tik, tapi cukup mengundang 28
universitas maupun institut untuk memberikan tanggapan.
Kebebasan mimbar akademis, menurut rumusan yang disampaikan
dalam kertas kerja tersebut, ialah "hak pengajar untuk mengajar
atau melakukan penelitian." Juga "hak mahasiswa," tapi ini
terbatas pada untuk belajar atau memilih pelajaran apa yang ia
kehendaki tanpa ada campur tangan dari pihak lain yang tidak
perlu atau tidak layak."
Kertas kerja itu kemudian menurunkan contoh: "Seseorang pengajar
memberi kuliah dengan mengemukakan masalah politik (policy)
pemerintah, misalnya masalah penanaman modal asing yang
dipandangnya justru merugikan masyarakat." Kebebasan mimbar
akademis, menurut kertas kerja, menjamin ia berbuat demikian,
asalkan pendapatnya didukung oleh "dasar-dasar yang bersifat
ilmiah, ialah tersusun sistematis, logis dan dapat dibuktikan
secara objektif."
Bagaimana dengan hak mahasiswa di dalam batasan kebebasan mimbar
akademis? "Kalau mahasiswa diakui pula mempunyai kebebasan
mimbar akademis, maka itu hanya terbatas pada haknya untuk
memilih dan mengikuti pelajaran dalam ilmu yang ia sukai." Oleh
kertas kerja mahasiswa pada umumnya tidak dapat dikatakan punya
otoritas dalam sesuatu cabang ilmu pengetahuan. Maka "kebebasan
mimbar akademis bagi mahasiswa tampak dalam sistem perkuliahan
yang selektif," namun dalam hal inipun juga "terbatas pada
pemilihan ilmu-ilmu atau mata kuliah yang sudah ditetapkan lebih
dahulu."
Kertas kerja itu nampaknya menempatkan mahasiswa hanya sebagai
pihak penerima ilmu. Yang kelak mungkin jadi problim ialah
sejauh mana ia punya keleluasaan sebagai pencari ilmu, yang
tidak cuma menerima, tapi juga mengadu argumentasi dan
berfikiran sendiri. Itu jika ilmu pengetahuan diharapkan maju
dan mahasiswa jadi lebih berwatak. Tapi kesepakatan mengenai
rumusan mimbar akademis seperti tercantum dalam kertas kerja
yang disampaikan Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi itu
tarrpak belum ada kesesuaian. Tanggapan yang dituangkan oleh 28
perguruan tinggi masih banyak berupa pertanyaan yang menuntut
pembahasan lebih lanjut. Dengan pengecualian dalam istilah.
Selesai rapat rektor, Menteri P & K, Syarif Thayeb mengatakan
bahwa yang dimaksud dengan kebebasan mimbar adalah kebebasan
mimbar akademis. Ia merumuskan seperti berikut: "Kebebasan
mimbar akademis melipui kebebasan berpendapat serta penyampaian
ilmu pengetahuan dan teknologi, baik secara lisan maupun
tertulis dalam berbagai forum yang lazim berlaku di perguruan
tinggi." Akan landasannya adalah jiwa Pancasila, UUD '45, dan
GBHN.
Ia juga mengatakan bahwa penggunaan kebebasan mimbar akademis
itu harus dilakukan dalam bentuk yang kreatif, konstruktif.
bertanggungjawab,serta mengindallkall etika akademis, norma
hukum, dan norma moral. "Kalau ini dilanggar, sudah perlu
diambil tindakan," kata Thayeb tanpa menyebut lembaga mana yang
berhak menilai adanya pelanggaran atau tidak dalam penggunaan
kebebasan mimbar akademis itu: Departemen P & K, Rektor, atau
Laksusda.
Kekuatan Moral
Tapi dalam keterangan lanjutan, Thayeb mengungkapkan bahwa
diskusi di kampus diperbolehkan sejauh untuk kepentingan
akademi. "Kita juga menginginkan mahasiswa mengeluarkan pendapat
secara bebas," kata Thayeb.
Ucapan ini tentu tak terlepas dari kehendak yang disampaikan
Thayeb dalam pidato pembukaannya, 4 hari sebelumnya. Dalam
pidato itu, ia menyebut: ".... fungsi dan peranan pendidikan
tinggi terutama adalah dalam rangka modernisasi bangsa, menunta
adanya kegesitan mahasiswa sebagai unsur pembaharu. Dan salal
satu manifestasi kegesitan yang demikian ini adalah timbulnya
gerakan-gerakan mahasiswa sebagai kekuatan moral. Ini memang
kita inginkan."
Menilai apakah mahasiswa masih kekuatan moral atau bukan agak
sulit, memang. Thayeb bukan tak menyadarinya. "Yang pelik di
dalam kenyataannya adalah menarik garis yang tegas, di batas
mana gerakan mallasiswa sebagai kekuatan moral berhenti, dan di
mana pula gerakan tersebut mulai jadi gerakan politik." kata
Thayeb.
Ketidak-pastian suatu pembatasan dalam penggunaan kebebasan
mimbar akademis sering menimbulkan penafsiran keliru dari
berbagai pihak, memang.
Seperti kata Amiruddin, Rektor Universitas Hasanuddin, Ujung
Pandang: "Satu kelompok bilang kebebasan mimbar (akhir-akhir
ini) sudah di luar batas. Kelompok lain, bilang belum. Nah,
mengenai batasan kebebasan mimbar saja belum kelihatan adanya
kesepakatan."
Tidak ada kesepakatan dalam aturan permainan sementara itu bisa
menimbulkan peluang yang tidak sehat dalam penggunaan
kebebasan mimbar. "Coba kalau hukum kita sudah berjalan baik di
seluruh negeri. Orang tidak akan sembarangan mempergunakan
kebebasan mimbar. Karena penggunaan yang salah bisa menyebabkan
yang bersangkutan dituntut di muka pengadilan," ujar Rektor IPB,
Achmad Satari. "Bahkan kampus sekalipun tidak berarti tempat
yang lebih aman."
Satari membedakan kebebasan mimbar (free speech) dengan
kebebasan akademis (academic freedom). Menurut dia, yang sering
menjadi persoalan kebebasan bentuk pertama. Sedangkan kebebasan
akademis tidak ada persoalan sama sekali. Karena ruang
lingkupnya yang kecil --terbatas dalam kekhususan profesi.
Satari sendiri tidak berkeberatan kebebasan mimbar (free speech)
masuk kampus, selama ada jaminan hukum.
Bukan Parlemen
Berbeda dengan jalan fikiran itu, dr. Prakoso, Rektor
Universitas 11 Maret, Surakarta cenderung menjadikan kampus
sebagai forum ilmiah semata. "Kalau mau bicara soal politik,
serahkan saja pada organisasi ekstra seperti HMI atau lainnya,"
kata Prakoso.
Garis pendapat yang sama keluar dari mulut Masroem, Pembantu
Rektor Bidang Akademis Universitas Gajah Mada, Yogyakarta.
"Bebas bicara apa saja di kampus, itu sudah tidak benar. Karena
kampus bukanlah parlemen. Bukankah sudah ada DPR untuk menampung
semua itu."
Kampus memang bukan parlemen. Tapi mungkin menyusupnya maki-maki
kc dalam kampus lantaran lembaga Parlemen belum juga berfungsi
secara memuaskan. Akibatnya orang cenderung cari forum ke
kampus, di mana ada kebebasan. Kini masalahnya, siapa sajakah
yang boleh memakai lembaga itu? "Orang luar boleh saja diundang
asalkan seizin rektor dan sejauh tidak bertujuan kampanye
politik," kata Ida Bagus Oka, Rektor Universitas Udayana, Bali.
Lalu, siapakah yang menjadi wasit bahwa kebebasan mimbar itu
tidak akan disalah-gunakan? "Pimpinan universitas," jawab
Amiruddin. Mudah-mudahan pimpinan universitas sendiri cukup
punya wibawa dan wewenang suatu hal yang hanya bisa terjadi
jika diikhtiarkan terus menerus - yang hasilnya pernah nampak
beberapa kali selama Orde Baru ini.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini