Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Hong kong dari cina ke cina

Menjelang berakhirnya koloni inggris di hong kong, timbul keresahan dan para pengusaha bersiap-siap memindahkan modal mereka, sejarah hong kong sebagai koloni inggris. (ln)

13 Agustus 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HAMPIR tidak diragukan lagi bendera Inggris, Union Jack akan diturunkan dari semua tiang bendera di Hong Kong pada tanggal 1 Juli 1997. Sebagi gantinya akan berkibar Hung Qi (baca: Hung Ji) bendera merah RRC. Pada hari itu Hong Kong, yang semula koloni Inggris, akan berpindah kiblat ke Beijing. Pulau batu yang dahulu miskin dan tandus itu, kini menjadi sebagai wilayah termahal di dunia (harga tanah tertinggi: HK$ 42.800 per m2: sewa tanah tertinggi: HK$ 321 per m2) dengan ribuan pencakar langit berdesakan di seantero penjuru, seusai perjanjian, harus dikembalikan Inggris kepada yang empunya. Dalam tempo kurang dari satu abad, Hong Kong telah menobatkan dirinya sebagai pusat modal ketiga terkuat di dunia, sesudah New York dan London. Pelabuhan bebasnya yang mementalkan pulau itu ke tingkat ekonominya yang sekarang, telah menjelma jadi titik teramai lalu lintas laut di belahan bumi Selatan -- tiap hari 10.000 kapal barang berseliweran di antara-ribuan jung-jung Cina. Perkembangan pesat dan menakjubkan dari Hong Kong bahkan sampai mengilhami Bapak Nasionalisme Cina Dr. Sun Yat Sen dengan gagasan-gagasan revolusioner. Selang beberapa dekade kemudian, penguasa RRC melihat lain. Di hadapan Majelis Umum PBB, 1971, mereka menyuarakan tuntutan. Katanya: "Hong Kong dan Makao adalah bagian dari wilayah Cina, karena itu penyelesaiannya merupakan urusan dalam negeri Cina pula. Untuk itu akan dicarikan jalan keluar yang pantas, apabila kondisinya telah matang." Kapan? Beijing ternyata lebih sibuk memperjuangkan Taiwan dan repot dengan berbagai urusan "revolusi dan pembangunan dalam negeri". Hong Kong seperti terlupakan sampai Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher dalam kunjungannya ke Cina September 1982, mengingatkan perjanjian sewa Hong Kong yang sudah akan berakhir dalam waktu 15 tahun. Sebenarnya, sesuai bunyi perjanjian Nanking, Hong Kong yang luasnya 32 mil persegi itu, abadi (in perpetuity) menjadi milik Inggris. Tapi keabadian itu tidak ada gunanya, karena begitu hak sewa New Territories yang dipegang Inggris habis (juga pada 1 Juli 1997), Hong Kong kontan kehilangan 90% dari seluruh luas tanahnya, berikut lapangan udara, sumber air minum, separuh jalur bawah tanah, dan sebagian besar wilayah perumahan. Dalam kata lain, tidak ada gunanya bagi Inggris mempertahankan Hong Kong lebih lama. "Kami akan pergi, begitu batas waktunya lewat," tutur Thatcher di hadapan para pemuka RRC di Beijing. Ini sesuai dengan tekad Inggris untuk melepaskan seluruh koloninya secara bertahap. Bukankah kolonialisme itu sudah terlalu kuno? Akan halnya Falkland tentu berbeda, karena pulau itu "ditemukan" Inggris, bukan disewa. Tapi ramai-ramai isu Hong Kong bukanlah bermula dari niat baik PM Inggris itu. Juga bukan karena tuntutan Cina. Hatta, tiba-tiba disadari bahwa kontrak-kontrak dagang, sewa-menyewa tanah, dan penanaman modal umumnya berlaku di sana dalam kurun waktu 15 tahun. Dari sinilah ketahuan, bahwa tahun 1997, sudah kurang dari 15 tahun. Dan sejak itu gelombang keresahan muncul tak tertahankan. Sebelum perundingan pertama RRC-Inggris berlangsung awal Juli silam, orang kaya Hong Kong sudah lebih dulu memindahkan modal mereka ke AS, Eropa Barat, dan Jepang. Sementara mereka memang masih beroperasi dari pulau itu, tapi sewaktu-waktu bisa saja angkat kaki. Memang, belum terjadi eksodus menyolok, ke AS, Kanada, ataupun Australia, namun paspor dan pelbagai surat-surat penting lainnya sudah disiapkan. Juga surat bukti kewarganegaraan. Nasib Hong Kong ternyata dipandang sangat serius, hingga dianggap perlu melakukan poll pendapat umum. Hasilnya: 95% memilih kelangsungan status quo di bawah Inggris. Secara pribadi, para pengusaha bersikap lebih kritis, sebagian besar kaum intelektual memandang RRC dengan curiga, sedangkan rakyat kecil (50% dari 5,5 juta penduduk Hong Kong) pasrah menunggu. Tercemplung dalam situasi yang serba tidak menentu, bidang ekonomi segera terkena bencana. Nilai HK$ merosot terhadap US$, kegiatan perdagangan berkurang. Pasar modal mengalami kelesuan yang berulang sejak tahun silam, nilai saham rata-rata turun 21%. Harga tanah untuk industri anjlok 40%-80%, sewa gedung 20%-30%. Tingkat pertumbuhan ekonomi cuma mencatat 4% (1982), dibanding 11% (1981). Penambahan investasi hanya 2% (1982) dibandingkan 13% (1981). Seorang pengusaha yang dilanda prihatin sampai berkata: "Hong Kong menanggung beban ganda: ekonomis dan politis." Beijing, yang sangat berkepentingan dengan kemakmuran Hong Kong, tentu tidak senang melihat segala kemerosotan itu. Menyambut perundingan pertama tentang Hong Kong, di Beijing, Deng Xiaoping, orang kuat Cina berpesan: "Cina tidak mengirim pejabatnya ke Hong Kong. Kota itu berhak mempunyai badan-badan hukum dan legislatifnya sendiri, yang tentu saja harus serasi dengan UUD Cina." Pernyataan Deng itu didukung konstitusi RRC yang baru, yang meski tidak khusus menyebut Hong Kong, ada mencantumkan kata-kata "daerah administrasi khusus dibolehkan, jika dipandang perlu." Di Hong Kong, ucapan Deng ditafsirkan sebagai kesediaan RRC menerima sebuah Pemerintah Hong Kong yang otonom dengan kekuasaan lokal yang luas. Apalagi, kepada tamunya, Deng belum lama ini menegaskan: "Hong Kong bisa saja diperintah oleh penduduk koloni itu dan ia tidak mesti seorang keturunan Cina." Sampai di mana kebenaran kata-kata Deng bisa dipegang? Apakah itu sekadar menenteramkan atau menyamarkan usaha-usaha RRC yang terus dilancarkan kini? Nampaknya, dugaan terakhir ini yang betul. Tahun lalu, Bank of China, membeli sebidang tanah paling strategis di bilangan Victoria, Hong Kong. Ini semata-mata untuk menetralisasi kecurigaan penduduk yang waktu itu sedang parah-parahnya dihinggapi wabah cemas. Kejutan lain adalah peresmian Industri Cemerlang Abadi, yang menurut direkturnya Wang Guangying, akan bertugas mengimpor teknologi Barat untuk modernisasi Cina. Wang, adik mendiang Presiden RRC Liu Shaoqi berkantor di lantai lima Pusat Perdagangan Timur Jauh, di Hong Kong. Masyarakat setempat menilainya sebagai bagian strategi RRC menyambut kembalinya koloni itu ke pangkuan ibu pertiwi. Tapi yang lebih penting adalah pengangkatan Xu Jiatun, ketua PKC Provinsi Jiansu, sebagai kepala Kantor Berita Cina di Hong Kong merangkap sebagai konsulat tidak resmi RRC. Kantor ini sejak lama mewakili berbagai kepentingan RRC, juga berfungsi -- mengeluarkan visa untuk mereka yang berkunjung ke daratan Cina. Mengapa Xu ? Kuat dugaan, supaya persiapan Beijing menyambut Hong Kong bisa diatur rapi. Bukankah di hadapan satu diskusi, Xu pernah berkata: "Sebelum dan sesudah pemulihan kedaulatan Cina atas Hong Kong, tindakan-tindakan yang mustahak akan diambil, terutama dalam upaya mempertahankan kemakmurannya." Sementara seorang pejabat Beijing sudah tidak enggan lagi bicara soal kemakmuran, sejumlah pengusaha Hong Kong yang khusus diundang ke RRC, justru semakin waspada. "Jika Cina berniat menguasai Hong Kong tahun 1997 kelak, koloni itu tak ayal, akan kehilangan kekayaannya dalam waktu singkat," begitu komentar salah seorang dari mereka. Tapi kekhawatiran itu dengan cepat ditangkis Deng. "Tidak cuma perasaan, tapi pundi-pundi penduduk Hong Kong juga akan dijaga baik-baik," katanya. Pastilah Beijing tergiur akan potensi modal Hong Kong, tapi apakah sikap yang sama juga terwakili dalam perundingan, itu masih tanda tanya. Setelah berunding dua kali di Beijing, awal dan akhir Juli, menurut PM Zhao Ziyang, perundingan sudab harus selesai paling lambat dalam tempo dua tahun. Delegasi Hong Kong dipimpin Duta Besar Inggris di Beijing, Sir Percy Craddock, sementara delegasi RRC dipimpin Wakil Menteri Luar Negeri Yao Guang. Perundingan disebutkan "bermanfaat dan konstruktif", sedangkan London kabarnya akan mengeluarkan pengumuman, pada saat yang tepat. Sikap hatihati ini dipertahankan kedua pihak, satu hal yang mengesankan betapa pentingnya stabilitas ekonomi Hong Kong di mata mereka. Kericuhan memang tidak dapat dihindarkan, di saat Gubernur Hong Kong Sir Edward Youde menamakan dirinva "wakil rakyat Hong Kong" kepada wartawan yang mengerumuninya di Beijing. Pernyataan ini langsung dikoreksi menteri luar negeri Cina. "Tuan Youde hanya berhak mewakili Pemerintah Inggris," katanya. RRC memang terlalu peka mendengar istilah kedaulatan. Sebab kasus Hong Kong ini berkaitan erat dengan citra kedaulatan negara itu di mata dunia. Seorang pengamat di Indonesia berpendapat sama. Dia juga yakin, kembalinya koloni itu ke bawah naungan RRC bukan saja mengukuhkan keabsahan rejim Deng, juga membuktikan sekaligus pada dunia bahwa soal-soal bekas jajahan tidak terkecuali Taiwan, bisa diselesaikan secara damai oleh RRC. Sejauh yang menyangkut Hong Kong, sikap Beijing sudah tidak bisa ditawar. Bukankah ada tiga sasaran: modernisasi, kembalinya Taiwan, dan pulihnya kedaulatan Cina atas Hongkong merupakan tugas besar sebelum negara itu memasuki ambang abad ke-21?. Jadi, koloni itu harus kembali dan Pemerintah Inggris mesti angkat kaki. Tapi perumusan untuk itu semua, masih harus dirundingkan. Spekulasi tak ayal berkembang. Di Hong Kong silang-siur pendapat mengesankan penduduknya tidak terlalu mengunggulkan penguasa Inggris. Tapi lebih mempertahankan sistem ekonomi yang ada, sistem kapitalis, yang kabarnya hampir-hampir murni. Di sini harta apa pun bisa disimpan atau ditransfer dengan sangat mudah, sedangkan pajak pendapatan tertinggi cuma 15%. Tidak salah jika Ketua Kamar Dagang Hong Kong, Jimmy Mc Gregor berkata: "Hong Kong adalah pangkalan kapitalis terakhir di dunia." Dalam iklim seperti itu, salahkah jika banyak pengusaha Hong Kong curiga pada itikad baik Beijing? "Pejabat sama (maksudnya : RRC) percaya bahwa kita bisa hidup di bawah administrasi komunis, tapi dengan sistem ekonomi kapitalis. Mereka jelas tidak mengerti apa yang mereka katakan. "Suratkabar Financial Times di London yang baru saja bubar itu, malah berani berkata, "Orang-orang Cina itu mestinya mengaku saja tidak sanggup mengelola Hong Kong. Kalau itu mereka lakukan, Hong Kong bukan lagi Hong Kong namanya." Ketua Far East Stock Exchange, Ronald Li meragukan, apakah Beijing bisa memberlakukan sistem politik dan hukum yang bisa dipercaya. Direktur Unisouth & South Textiles, Liu Hon-tong, memastikan, "Pikiran komunis akan menghancurkan sistem di Hong Kong. Tapi jika kebebasan individu dan kelancaran gerak modal bisa dipertahankan di sini, siapa yang penguasa tidaklah jadi soal benar." Maksudnya: Inggris boleh, Cina pun boleh. Sementara itu Alex Woo, direktur Central Textiles, tidak yakin bahwa konsep negara sejahtera yang dianut Inggris bisa diterima di Hong Kong. Sedangkan sistem komunis pasti akan ditolak. "Kalau mau sejak dulu saja kami menyeberang perbatasan," ucapnya ringan. Namun, ada juga kelompok yang cenderung memihak Beijing. Kelompok dengan nama Meeting Point itu belum lama ini bikin geger Hong Kong. Terdiri dari para cendekiawan muda, mereka mengunggulkan pemisahan kekuasaan yang sayang tidak jelas: 'RRC, menangani urusan luar negeri dan pertahanan, Hong Kong urusan dalam negeri. Seorang walikota diangkat lewat pemilihan, sebuah dewan kota bertugas membuat laporan tahunan ke Beijing. "Tapi bagaimana persisnya nanti hubungan Hong Kong, RRC, itulah yang luput dari konsep mereka. Apa pun gagasan masing-masing pihak, yang pasti semua itu tidak bisa dilepaskan dari posisi Hong Kong yang unik. Posisi yang bisa dimanfaatkan oleh penduduknya sendiri, Pemerintah Inggris dan RRC. Sukar dijelaskan bagaimana koloni sempit berbatu-batu itu bisa memberi makan 5,5 juta jiwa 2 juta di antaranya adalah pelarian dari RRC. Sebagian mereka tertampung sebagai tenaga kerja murah, entah di pabrik mainan, plastik, rambut palsu, alat-alat elektronik, ataupun di industri film. Sebagian lagi, mencari sesuap nasi dalam cara-cara yang terkadang hampir-hampir mustahil. Tapi apa pun caranya, mereka tetap dapat bernapas dan berkembang biak. Bagi RRC, Hong Kong adalah sumber devisa utama: 40% seluruhnya. Lewat pulau ini, dahulu RRC, memasarkan barang-barang keluar. Kini, untuk membina empat wilayah ekonomi khususnya, Shenzen di antaranya, RRC bisa belajar banyak dari Hong Kong. Sedangkan bagi Inggris, koloni itu tetaplah partner dagangnya yang terkuat di Asia, meski ekspornya ke sana lebih kecil. Tiap tahun rata-rata Hong Kong mencatat US$ 100 juta untuk neraca perdagangan yang aktif dengan Inggris. Pasar Inggris memang belakangan banyak beralih ke Eropa, tapi perusahaannya masih banyak yang mangkal di sini. Perlu juga di catat, sepertiga dari penghasilan Hong Kong, mengalir ke dalam kas pemerintah "crown colony." Dalam iklim begitulah Hong Kong berkembang mulai dari pelabuhan bebas meningkat ke pusat perdagangan, melaju ke industri ringan (barang mainan, plastik, tekstil). Ketika Taiwan dan Korea Selatan muncul di pasaran tekstil, Hong Kong meloncat ke industri pakaian jadi yang mengutamakan mutu tinggi. Pengusaha muda di sana segera pula rnenciptakan produk-produk baru, misalnya, pesawat telepon yang disainnya genit dan pelbagai alat elektronik. Namun, investasi terbesar masih tertanam di bidang real-estate, asuransi, perbankan, perkapalan. Nama besar yang menonjol: Hong Kong & Shanghai Bank Corporation Hong Kong Land, Cheung Kong Holdings, Sun Hung Kai Properties, dan Carrian Group. Sebagai perusahaan konglomerat, model mereka sudah menjelajah ke AS, Eropa Barat, dan Jepang, belakangan ke negara-negara Asia Tenggara. Dalam situasi tidak menentu seperti sekarang, banyak pengusaha Hong Kong diam-diam menilai Singapura sebagai negeri paling ideal untuk investasi, meski rakyatnya belum tentu menyambut mereka dengan tangan terbuka. Indonesia sendiri mencatat investasi modal Hong Kong sebagai kedua terbesar, sesudah Jepang. Pada (periode 1967-1980) untuk wilayah Jawa Timur saja mereka menanamkan modal sebesar US$ 47,854 juta. Bagi pemilik modal besar seperti raja kapal Y.K. Pao, jelas tidak ada masalah. Dalam nada setengah berolok-olok, ia bahkan diramalkan akan menjadi gubernur Cina yang pertama di Hong Kong. Tapi bagi rakyat kecil bagaimana? Tidak syak lagi, dalam batin mereka tetap merasa diri Cina, tapi dalam sikap dan cara hidup, mereka kapitalistis. Untuk mereka yang terperangkap dalam dualisme seperti ini, Ronald Li menawarkan satu pemecahan, praktis. Supaya Beijing tidak kehilangan muka, katanya, Inggris mesti menyerahkan koloni Hong Kong kepada RRC sebelum 1997, tapi kemudian Cina menyewakannya kembali pada Inggris.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus