SEORANG diri, tanpa istri atau pengawal, Hamengku Buwono IX
Minggu siang lalu tiba di Yogyakarta. Seperti bukan orang resmi,
dengan hem batik lengan pendek. Tapi di Pelabuhan udara
Adisucipto, nampak para penjemputnya penting, antara lain Paku
Alam VIII, Sekwilda Soemidjan dan Walikota Soegiarto. Setelah
itu Sultan menaiki mobil dinas gubernur AB 1, Toyota Crown 2600,
sesuatu yang telah bertahun-tahun tak dilakukannya.
Sri Sultan Hamengku Buwono IX, 71 tahun, memang telah kembali ke
Yogyakarta. Banyak yang menantikan saat itu. Achmad Mutlib, 58
tahun, penjual rokok di Stasiun Tugu, berkata yakni: "Beliau
raja di sini. Bila Sri Sultan sendiri yang memerintah, pasti
kepentingan rakyat akan lebih diperhatikan. Yogyakarta pasti
akan lebih tenteram."
Abdul Malik, wakil ketua Fraksi PPP di DPRD DIY, juga berharap.
Menurut anggapannya, mekanisme pemerintahan -- khususnya
pengambilan keputusan -- di DIY sekarang macet. Penyebabnya
antara lain suasana yang menyebabkan bawahan rikuh atau pakewuh
(sungkan) terhadap atasan. Di Yogyakarta, ABRI juga kurang bisa
berbuat banyak seperti di daerah lain karena segan berhadapan
dengan pamor keraton. "Jalan keluarnya adalah kembalinya Sri
Sultan. Beliau bisa jadi dinamisator," ujarnya.
DIY lahir sejak Mei 1946. Dengan UU No. 3 tahun 1950,
pembentukan daerah istimewa ini dipertegas, dengan Hamengku
Buwono IX sebagai kepala daerah dan Paku Alam VIII sebagai
wakilnya. Namun kemudian hampir seluruh waktu Sultan disita
tugasnya di Jakarta. "Setelah Sri Sultan diangkat sebagai
menteri negara dalam Kabinet Syahrir III, bulan Oktober 1946,
praktis saya mewakili untuk memimpin Daerah Istimewa Yogyakarta
sehari-hari," tulis Paku Alam VIII dalam buku Tahta Untuk
Rakyat.
Dan jabatan Sultan di Jakarta terus bertumpuk: sebagai menteri
dalam berbagai kabinet, Menteri Ekuin, ketua KONI ketua Kwartir
Gerakan Nasional Pramuka dan juga wakil presiden 1973-1978.
Selama menjadi wakil presiden, praktis Sultan nonaktif memimpin
DIY. Setelah tak lagi memangku jabatan tersebut, DPRD DIY secara
resmi pernah memintanya untuk aktif kembali sebagai gubernur.
Baru sekarang ini permintaan tersebut dipenuhi.
Tapi secara resmi pengertian "aktif kembali" tak dipakai.
"Beliau tidak pernah ingin tidak aktif. Selama ini Sri Sultan
tetap kepala daerah," bantah Paku Alam VIII.
Sultan sendiri kemudian juga membantah. Ini diucapkannya Senin
pagi lalu di depan sekitar 500 pejabat Pemerintah Daerah DIY
sampai tingkat lurah di Gedung Wilis, Kepatihan, Yogyakarta.
"Rupanya ada salah paham. Kedatangan saya untuk mengadakan rapat
dengan para pejabat di sini dikatakan sebagai akan aktif kembali
dalam pemerintahan daerah. Sebetulnya saya belum pernah tidak
aktif. Jadi rapat yang sekarang diadakan ini kejadian biasa,
bukan sesuatu yang istimewa."
Selama ini memang masalah penting selalu dikonsultasikan dengan
Sultan di Jakarta, lewat telepon atau kurir. Hanya, sejak pekan
ini Sultan memutuskan untuk terjun langsung, itu pun dengan
batas-batas. "Beliau akan aktif dua bulan sekali, itu pun hanya
dua hari di Yogyakarta," kata KGPH (Kanjeng Gusti Pangeran
Haryo) Mangkubumi, S.H., 37 tahun, putra tertua Sultan.
Kepala Hubungan Masyarakat & Protokol DIY, Sudomo Sunaryo,
menjelaskan: Sultan sebelumnya telah berpesan untuk menyiapkan
materi yang memang memerlukan kehadirannya. Untuk itu, 20 Juni
lalu, dibentuk Satuan Tugas Pembantu Gubernur dan Wakil
Gubernur. Satuan Tugas ini beranggotakan enam orang, di
antaranya Mangkubumi, KPH Probokusumo (putra tertua Paku Alam
VIII) dan Sudomo Sunaryo. Tujuannya: mencari masalah yang
berbobot, untuk disampaikan kepada Sultan.
Satuan Tugas ini telah tujuh kali mengadakan rapat. Salah satu
materi yang dianggap penting adalah masalah agraria. "Banyak
status tanah di DIY ini yang belum diketahui atau dimengerti.
Yang tahu persis adalah Sri Sultan," kata Sudomo.
Ikut sertanya Mangkubumi dan Probokusumo dalam satuan tugas
tersebut menimbulkan dugaan: keduanya dipersiapkan untuk
menganti kedudukan ayah mereka. Artinya, Mangkubumi sebagai
calon Hamengku Buwono X dan Probokusumo sebagai calon Paku Alam
IX.
Persoalan tentang perlunya regenerasi di Keraton Yogya memang
tetap ramai dibicarakan. Bekas Walikota Yogyakarta, yang kini
menjabat Ketua Tim Hukum Keraton Yogyakarta, Soedarisman
Purwokusumo, menganggap ada dua persoalan dalam regenerasi ini:
pengganti raja di keraton dan pengganti gubernur. "Apakah
pengganti raja itu otomatis jadi gubernur dan pengganti Paku
Alam juga wakil gubernur, itu yang menjadi masalah sekarang."
Menurut penglihatan Soedarisman, Sultan dan Paku Alam
menghendaki salah seorang putranya menggantikan kedudukan
mereka, sebagai raja dan gubernur serta wakil gubernur. Ia juga
melihat Mangkubumi dipersiapkan Sultan sebagai penggantinya. "Ia
(Mangkubumi) sudah diberi pendidikan politik: semula anggota
DPRD DIY. Sekarang menjadi anggoa DPR Pusat dan pimpinan Golkar
DIY," kata Soedarisman. Dan Mangkubumi, sarjana hukum UGM
lulusan 1982 itu harus membuktikan bahwa ia mampu.
Hamengku Buwono IX memberikan gelar Mangkubumi kepada putranya
tertua, Herjuno Darpito, pada 1974. Dalam buku Tahta Untuk
Rakyat, Sultan pernah menjelaskan gelar Mangkubumi merupakan
langkah pertama pencalonan putra mahkota. "Tapi apaah ia
benar-benar akan menjadi putra mahkota, masih tergantung
penilaian."
Menurut Soedarisman, seandainya Mangkubumi mampu jadi Hamengku
Buwono X, belum juga jelas apakah ia juga akan jadi gubernur
DIY. Jabatan Sultan Hamengku Buwono IX sebagai gubernur DIY
berlangsung hingga ia wafat. Menurut peraturan, seorang
gubernur dicalonkan oleh DPRD. Adakah DPRD DIY nanti akan
berani mencalonkan seseorang dari luar keraton, kata
Soedarisman, "saya belum bisa menjajakinya."
Mangkubumi sendiri menganggap perbincangan tentang
pencalonannya sebagai putra mahkota "tidak menguntungkan"
dirinya. "Bagaimanapun ada orang yang senang, ada yang tidak.
Kalau begitu saya yang jadi 'sasaran tembak'," katanya. Menurut
dia, apakah nanti akan ada Sultan yang kesepuluh, belum
diketahui. "Zamannya mungkin dianggap sudah lain. Itu semua
terserah Sri Sultan," tuturnya.
Sesuai dengan sifatnya yang hanya suka berbicara seperlunya,
pendapat Hamengku Buwono IX tentang masalah penggantinya ini
tidak diungkapkannya. Namun peluang untuk meneruskan dinastinya
agaknya terbuka. Ini ditopang antara lain oleh sikap DPRD DIY
yang nampaknya ingin mempertahankan sifat "istimewa" Yogyakarta.
Salah satu keputusannya pada 1979 antara lain menyebutkan, "DPRD
tetap menghendaki agar DIY dipertahankan sebagai daerah
istimewa." Ini bisa diartikan, kepala daerahnya dipegang seorang
raja.
Bagaimanapun, soal calon Hamengku Buwono X adalah masalah masa
depan. Dan Sultan yang tampak dalam usianya yang 71 tahun itu,
rupanya lebih suka memperhatikan masalah yang lebih mendesak:
bagaimana menggerakkan aparat pemerintah daerah. Dalam pidato
tanpa teksnya pada para pejabat, berkali-kali Sultan menekankan
perlunya para aparat lebih aktif dan mempunyai inisiatif.
"Janganlah takut dan ragu-ragu mengambil inisiatif. Jika ada
kesalahan, akuilah kesalahan itu dan perbaikilah secepat
mungkin," katanya.
Selain pentingnya inisiatif, Sultan juga menekankan agar aparat
membuang rasa rikuh. "Penyakit rikuh ini menghambat. Dalam
pemerintahan, kita tidak boleh mempunyai sikap rikuh untuk
mengemukakan sesuatu yang sulit atau pahit. Jika sesuau yang
sulit atau pahit itu mengenai masyarakat keseluruhan, rasa rikuh
itu akan merugikan kita," ujar Sultan.
Apakah gemblengan Sultan itu akan bisa mendobrak kemandekan
aparat Pemerintah Daerah DIY, masih harus ditunggu. Menurut
rencana, Sultan hanya dua hari di Yogya ia akan kembali ke
Yogyakarta pertengahan November mendatang, buat memimpin rapat
Muspida yang serupa. Tempatnya akan bergilir, di tiap kabupaten
disertai peninjauan ke desa. Ada yang baru, tapi memang dari
keraton tua di Jawa Tengah itu tak usah ditunggu sesuatu yang
mengagetkan.
Bagaimanapun juga, kehadiran Sri Sultan secara lebih nampak
umumnya dinilai penting untuk masyarakat Yogya yang selama ini
agak jauh dari aparat pemerintah daerah yang ada. Ada kesan,
bahwa birokrasi tak cukup kuat menghadapi pertumbuhan wilayah --
terutama perekonomian di kota yang sangat pesat, sampai hampir
13% di tahun 1981-1982, sementara 40% penduduk masih di bawah
garis kemiskinan.
Kelemahan aparat ini juga dapat dilihat dari biaya rutin yang
selalu tekor, sementara subsidi pemerintah pusat menurun dari Rp
2,5 milyar menjadi Rp 1,5 milyar. Dalam hal seperti itulah
agaknya Mangkubumi mengatakan, kondisi Yogya kini menuntut
kehadiran Sri Sultan.
Sultan, kata sejarawan Sartono Kartodirdjo, selalu menyebabkan
rasa ering ke bawah -- rasa patuh karena hormat. Ia bisa mengisi
apa yang akhir-akhir ini di Yogya terasa kurang.
Pada akhirnya tugas mengisi itu tentu harus dipenuhi juga oleh
penggantinya. Dan sementara regenerasi mulai disebut calon
Hamengku Buwono X sedang dalam, untuk mengutip istilah di
keraton, "periode penjajakan".
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini